Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Top di Pulau Nias (Bagian 5)

24 Oktober 2020   22:55 Diperbarui: 24 Oktober 2020   23:00 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar afo (dok.pri) 

Belajar Memakan Afo

Selain simbi, salah satu sarana bagi orang Nias untuk menunjukkan rasa hormat kepada sesamanya ialah dengan menggunakan afo atau sirih yang sudah dikemas sedemikian rupa dan siap untuk dikunyah.

Bentuk dan isinya tidak jauh beda dengan yang ada di daerah atau masyarakat lain. Namun bagi masyarakat Nias, afo mendapat posisi penting dalam sebuah acara adat yang hingga saat ini masih dipertahankan.

 Jika kita pergi ke sebuah acara adat, maka kita akan menjumpai sebuah piring atau mangkok yang berisi afo di atas meja. Afo itu sudah siap untuk dikunyah atau dalam istilah mereka disebut dengan monganga.

Setiap orang yang datang ke pesta tersebut akan mengambilnya sambil menyalami para tuan pesta serta sibaya (pihak paman dari yang berpesta. Mereka memiliki posisi yang penting dan sangat dihormati).

Selain dalam sebuah acara adat, afo juga berperan penting dalam menjalin relasi sehari-hari. Saat kita berkunjung ke rumah tetangga atau keluarga maka tuan rumah akan mengeluarkan sebuah tempat penyimpanan afo yang dalam bahasa mereka disebut sebagai bola nafo. Bola nafo itu akan diletakkan di hadapan kita untuk kita ambil dan kita kunyah.

Itu mereka lakukan sebagai bentuk rasa hormat mereka kepada setiap tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Seperti keyakinan kita pada umumnya, mereka juga memandang tamu sebagai raja dan karenanya harus dihormati. Dan sebagai bentuk penghormatannya diberikanlah afo kepada mereka.

Selama menjalani TOP di Pulau Nias, saya belajar makan  afo atau monganga agar bisa menerima penghormatan yang mereka berikan kepada ku. Mereka mengatakan bahwa saat kita menerima dan memakan afo yang mereka tawarkan, itu pertanda bahwa kita pun menghormati mereka. Namun hal itu tidak menjadi suatu keharusan saat kita memang tidak bisa memakan afo karena alasan tertentu.

Saat pertama kali memakan afo, kepalaku langsung pening, tetapi saya selalu berusaha untuk menutupinya agar mereka tidak tersinggung. Itu terjadi saat saya diundang ke suatu acara syukuran.

Sepulang dari acara itu, saya bertanya kepada orang yang menemani saya waktu itu tentang penyebab kepalaku menjadi pusing saat monganga dalam acara tersebut. Lalu ia memberikan alasan bahwa itu terjadi karena saya memang belum terbiasa.

Selain itu, ia pun memberi saran kepadaku agar saat hendak makan afo, saya membuang biji pinang yang ada di dalam afo itu karena itulah yang membuang kepala pusing sampai saat saya sudah terbiasa untuk monganga.

Setelah mencoba saran yang diberikannya, maka perlahan-lahan saya mulai mampu menikmati bagaimana rasanya monganga itu. Kepalaku tidak lagi pusing dan saya merasa sangat bahagia saat itu karena dengan demikian saya berhasil menghormati mereka dengan mampu menerima tanda hormat yang mereka berikan kepadaku.

Refleksi Pribadi

Afo merupakan sarana khas bagi masyarakat Nias untuk menghormati sesamanya. Dengan afo tersebut mereka saling memberi dan menerima rasa hormat. Itulah pelajaran yang bisa kupahami dari afo tersebut, bahwa hidup manusia akan menjadi damai jika mereka mau saling menghormati. Tidak saja menuntut untuk dihormati tetapi juga mau menghormati.

Saat saya belajar memakan afo, sebenarnya saya sedang belajar untuk menghormati mereka. Saat itu saya yakin bahwa Tuhan pun sedang mengajari saya tentang cara menjalin relasi harmonis kepada sesama yang ada di sekitar ku.

Siapa pun mereka dan di mana pun kita berada, jika kita menunjukkan sikap hormat maka kita tidak akan mengalami kesulitan untuk berelasi dengan mereka. Bahkan, kita pun akan mudah menemukan keluarga dan sahabat baru pada saat itu. Itu jika kita telah mampu menghormati orang yang ada di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun