Suatu sore saya pergi kelilingi kota. Niatnya hanya untuk penyegaran sambil mencari sepatu olahraga biar rajin berolahraga. Tidak seperti biasanya, saya pergi seorang diri karena teman-teman yang lain bermain tenis meja ke tempat tetangga.
Bukan sesuatu yang mengherankan lagi kalau di sekitar pinggiran kota terdapat banyak sampah meskipun pemerintah sudah menyediakan tempat sampah di sekitarnya. Sesekali, saat ada sampah di tempat saya berjalan, saya mengambil dan memasukkannya ke tempat sampah. Namun itu saya lakukan saat tidak ada orang yang melihatnya. Saya takut menjadi bahan perhatian orang. Saya merasa seperti akan menghakimi mereka atau pun mengganggu hati nurani mereka tentang menjaga kebersihan lingkungan.
Saat warna senja mulai berubah menjadi gelap, saya putuskan untuk kembali ke rumah. Sepatu olahraga segera saya beli dan saya pun berbalik untuk pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, di depan saya ada sebuah botol aqua bekas. Barangkali ada orang yang hendak melemparnya ke tempat sampah namun tidak masuk. Saya ingin mengambilnya dan memasukkannya. Tetapi saat itu ada beberapa orang yang berjalan bersama saya dan yang berpapasan dengan saya. Akhirnya saya melewati botol itu dan berjalan sebagaimana orang lain lakukan.
Tiba-tiba saya mendengar bunyi botol aqua yang dimasukkan ke tempat sampah. Saya menoleh ke belakang dan saya melihat ada seorang ibu. Ia tidak hanya memasukkan botol aqua tersebut ke dalam tempat sampah, tetapi juga memasukkan sampah-sampah lainnya yang berserakan di sekitar tempat sampah tersebut.
Yang menarik perhatian saya ialah saat ia melakukan hal itu, beberapa orang yang ada di sekitarnya turut melakukannya, termasuk seorang bapak yang tadinya berpapasan dengan saya. Dan secara tiba-tiba, ibu itu melihat saya sementara saya masih sibuk membela diri atas apa yang baru saja tidak kulakukan meskipun aku bisa melakukannya.
Saya merasa terhakimi. Bukan oleh ibu itu atau orang-orang yang turut membantunya tetapi oleh hati nurani ku sendiri. Mengapa saya tidak melakukannya? Apakah memang lebih baik jika kita harus menahan diri untuk tidak melakukannya karena khawatir akan menghakimi orang yang ada di sekitar kita dan yang menyaksikan perbuatan kita?
Dan ternyata, setelah melihat sendiri apa yang baru saja dilakukan oleh ibu tersebut, dugaanku itu terbantahkan. Ibu itu justru mendapat sambutan positif dari orang-orang di sekitar dan hal itu membuat tempat itu seketika itu juga menjadi bersih seperti yang aku dan orang lain harapkan.
Harus kuakui bahwa saat itu saya sungguh merasa malu. Aku tahu kalau mengambil sampah dan memasukkannya ke tempatnya adalah baik, tetapi tidak saya lakukan. Saya lebih memilih untuk menjaga perasaan orang lain (meskipun pada akhirnya saya tahu bahwa itu keliru) dengan tetap membiarkan lingkungan itu kotor dari pada mengambil sampah dan memasukkan ke tempatnya. Padahal, dengan membiarkan lingkungan itu menjadi kotor, itu berarti saya memilih untuk menyakiti mereka secara lebih lagi karena lingkungan yang kotor adalah sumber penyakit.
Segera kusadari kesalahan yang baru saja kulakukan. Ternyata saya salah dalam memilih atas apa yang kuduga-duga dalam pikiran sempitku. Aku pun lebih memilih untuk berada dalam zona nyaman dari pada melakukan sesuatu yang lebih berguna baik banyak orang.
Setibanya di pekarangan sekolah yang berada di dekat rumahku saya melihat seorang pemulung dengan beberapa karung yang telah penuh dengan gelas aqua bekas di dalamnya. Saat saya melewatinya dia menatap saya. Sambil tersenyum ku sapa beliau dengan mengucapkan selamat sore dan ia pun membalasnya.Â