Saya lebih suka menyebut diri sebagai pribadi yang harus memberi teladan hidup dari pada sosok teladan bagi mereka. Sungguh, jika saya hendak dijadikan sebagai sosok teladan bagi mereka saya tidak layak. Bukan hendak menyombongkan diri, tetapi saya melihat bahwa masih banyak yang mesti saya perbaiki dalam diri dan kehidupanku. Saya khawatir, mereka akan terjerumus ke dalam bahaya hidup karena lebih memperhatikan kekurangan diriku. Kekhawatiran saya ini lebih merupakan rasa tanggung jawab diriku kepada mereka. Mereka adalah atau telah menjadi saudaraku atau bagian dari hidupku.
Sungguh saya memang tidak layak untuk dijadikan sebagai sosok teladan. Jika ada dari mereka yang berkata saya ini hebat, saya akan segera menangkisnya dengan berkata, "Ye, kamu ngejek ya". Ini adalah ekspresi spontan yang menggambarkan suasana diri sebagai yang tidak layak menjadi sosok teladan. Tetapi, walaupun sudah jelas-jelas saya merasa tidak layak, saya tidak boleh lari atau melepas tanggung jawab sebagai yang lebih tua dari mereka. Menurut hemat saya, menjadi teladan bagi mereka yang lebih muda merupakan bentuk tugas dan pelayananku kepada mereka. "Siapa suruh kamu lebih tua", pikirku dalam hati saat memikirkan hal ini. Saya boleh mengatakan bahwa saya tidak layak, tetapi saya tidak boleh meninggalkan kewajiban saya sebagai yang lebih tua yaitu menjadi teladan bagi mereka yang lebih muda. Pada akhirnya saya pun mengerti bahwa menjadi teladan bagi orang lain bukanlah semata-mata soal layak atau tidak tetapi soal kewajiban mutlak yang tidak bisa lepas dari diriku sebagai yang lebih tua.
Rendah Hati untuk Meneladani
Saya adalah frater Tingkat III. Di atas saya ada frater Tingkat IV-VI. Bagiku mereka adalah teladan karena mereka telah berlangkah-langkah lebih maju dari diriku dalam menjalani hidup sebagai orang yang terpanggil. Dalam hal ini saya punya hak mutlak untuk menuntut mereka agar menjadi teladan bagi diriku.
Pernah seorang frater tingkat VI berkata demikian; "Kalaupun dari segi intelektual kamu lebih pintar, tetapi kami punya pengalaman yang jauh lebih penting dari hal itu". Beliau berkata demikian saat kami kewalahan dalam menyelesaikan tugas dan tidak ada yang mau minta bantuan kepada mereka. Bagi saya frater itu sungguh menyadari dirinya sebagai sosok yang harus teladani. Adalah kerugian bagi dirinya jika adik-adiknya kewalahan dalam menjalani satu bagian dari perjalanan hidup panggilan sebagai calon imam yang pernah ia lalui dalam hidupnya. Ia memberi dirinya sebagai saksi atas persoalan hidup yang sedang kami jalani.
Adalah benar jika yang lebih tua memiliki kewajiban menjadikan dirinya layak untuk diteladani adik-adiknya. Ini adalah bentuk kewajiban moral dari sang kakak kepada adiknya. Namun, saat saya mendengar perkataan dari frater tingkat VI di atas, saya pun mengerti bahwa dalam hal meneladani atau menemukan sosok teladan dalam hidup diperlukan sikap rendah hati. Saya yang lebih muda haruslah rendah hati untuk mencari dan menemukan sosok teladan bagi diriku. Jika tidak, maka saya akan kehilangan orientasi dalam hidup atau setidaknya saya akan kewalahan dalam melaksanakan tugasku. Rasa bangga diri atau puas diri dengan menganggap diri telah baik atau mantap dalam menjalani hidup sehingga tidak memerlukan sosok yang harus diteladani adalah bentuk kejatuhan pribadi. Hidup itu adalah pengalaman bertindak dari setiap orang. Tidak ada yang langsung bisa memastikan bahwa hidupnya akan baik-baik saja tanpa dibekali sharing pengalaman dari mereka yang telah lebih dahulu menjalani hidup dari diri kita.
Memilih Menjadi Teladan
Di akhir karangan ini, saya ingin kembali pada pesan guruku di atas; "Menjadi siswa teladan bukan siswa te". Mejadi teladan itu pilihan. Seyogyanya setiap orang perlu membina diri menjadi sosok teladan dalam hidup. Menjadi sosok teladan bukanlah suatu prestise hidup yang perlu dibanggakan atau disombongkan. Menjadi sosok teladan lebih merupakan panggilan hidup dan juga bentuk syukur atas kebaikan Tuhan yang telah menganugerahkan akal budi dan hati untuk menimbang dan memilih yang baik dalam hidup di dunia ini. Dengan demikian, hidup kita pun akan berkualitas dan disukai oleh banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H