Yang menjadi pertanyaan saya ialah mengapa saya berani melatih koor di stasi sementara saya tidak bisa bernyanyi. Mungkin saya terkesan sok hebat atau tidak tahu diri. "Sudah tahu tidak bisa bernyanyi kok malah melatih koor?" Jawabannya hanya satu, yaitu mereka terlanjur percaya bahwa semua frater (para calon imam yang menjalani pendidikan di Seminari) pandai bernyanyi. Dan sebagai frater, saya harus menanggung kepercayaan itu.
Namun saya tidak kehilangan akal. Di seminari saya meminta bantuan kepada frater yang pandai bernyanyi. Walau ia mengejek saya karena terlalu berani melatih koor, namun ia tetap memberikan semangat untuk saya. Hampir setiap saat saya minta bantuannya dan usaha saya yang paling mujarab ialah membuat rekaman lagu koor tersebut. Saya meminta frater itu untuk menyanyikan lagu koor itu dengan semua kelompok suaranya dan rekaman itu saya kirimkan ke stasi untuk mereka dengar bersama saat latihan.
Akhirnya, perlahan-lahan, mereka mampu menyanyikan lagu koor tersebut. Meskipun mereka tidak berhasil memenangkan kompetisi koor tersebut, namun mereka cukup bangga bisa mengikuti kompetisi tersebut.
Dari pengalaman itu saya mengerti bahwa ternyata Tuhan selalu membantu saya dalam menjalankan tugas panggilan-Nya. Dalam kesulian saya untuk melatih koor, saya diberi seorang sahabat yang selain pintar bernyanyi juga sabar mendampingi saya dalam melatih koor bagi umat stasi tempat kerasulanku.Â
Pengalaman itu sungguh menguatkan panggilan saya. Kini, walaupun saya adalah pemilik suara fals, tetapi Tuhan menyembuhkan diriku sehingga saya mampu menjadi pelatih koor bagi umat-Nya. Syukur kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H