Suatu kali, kami kembali mengunjungi cafe sahabat kami. Seperti biasa dia sibuk melayani pengunjung. Kami memberi kesempatan kepadanya untuk memprioritaskan pengunjung yang lain dan kami bisa menunggu.Â
Sambil menunggu kami bercerita tentang pengalaman kami. Tiba-tiba seorang dari kami mengeluh tentang relasinya dengan seseorang. Dia mengatakan bahwa temannya itu telah berbuat sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan olehnya.
Kami heran mengapa sampai tidak bisa dimaafkan. Lalu ia menceritakan semua perbuatan yang tidak baik yang dilakukan oleh temannya itu terhadapnya. Kami coba beri saran agar ia membicarakannya secara baik-baik dengan yang bersangkutan. Tujuannya ialah agar relasi mereka kembali baik.
Namun, bukannya membantu kami untuk melengkapi usulan kami, dia malah berjuang untuk membenarkan sikapnya yang tidak mau berdamai dengan temannya tersebut. Semakin kami berusaha membujuknya untuk mencari jalan damai semakin dia bersemangat untuk memberi alasan mengapa harus tidak berdamai.Â
Akhirnya kami serahkan kepadanya agar diselesaikannya sendiri. Namun kami selalu berharap agar ia bisa menyelesaikannya secara bijaksana.Â
Sekembalinya dari cafe saya masih terpikir tentang sikap teman saya itu yang selalu membenarkan sikapnya atas diri temannya. Bukannya berusaha mencari cara untuk berdamai tetapi malah berusaha mencari alasan untuk tetap membenci.
Saya heran dengan sikapnya yang demikian. Bukankah setiap orang dari kita dipanggil untuk memperjuangkan perdamaian? Bukankah setiap orang dari kita dipanggil untuk saling memaafkan? Bukankah kita harus berusaha untuk tidak membenci?Â
Mungkin saya bukanlah orang baik atau saleh. Saya juga pernah berkelahi atau memiliki relasi yang buruk dengan orang lain. Bahkan saya pun pernah punya dendam dengan orang lain.Â
Namun saya mengerti bahwa rasa benci, rasa marah, rasa dendam dan berbagai rasa negatif lainnya hanyalah rasa sementara. Itu muncul karena keterbatasan kita saat kita berhadapan dengan situasi yang tidak cocok dengan kita dan itu pun hanyalah reaksi sementara atas situasi tersebut.Â
Itu hanyalah respon spontan dari hati dan pikiran kita yang terbatas atau bahkan dari hati dan pikiran yang tidak terkendali. Itu artinya kita harus bisa mengembalikan kedamaian di antara kita.Â
Rasa negatif itu sifatnya sementara sambil menunggu kapan kita akan sadar tentang apa yang sedang kita alami. Bersyering kepada teman atau orang yang lebih tua adalah cara agar rasa itu bisa kita ubah menjadi rasa positif. Atau, kita memang perlu mengambil waktu untuk berefleksi atas apa yang terjadi dengan diri kita.Â
Satu hal yang saya tahu bahwa kita tidak bisa mengendalikan situasi yang ada di sekitar kita. Yang bisa kita kendalikan hanyalah respon kita terhadapnya. Kemampuan inilah yang harusnya kita usahakan untuk berkembang ke arah yang positif, bukan malah berjuang membela rasa negatif yang muncul dalam diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H