Manusia yang mengalami sakit, juga mengalami rasa takut, menutup diri dan terkadang muncul rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah.Â
Namun di sisi lain, penyakit juga dapat menghantar manusia kepada pribadi yang lebih matang, memprioritaskan yang penting dan menjauhi yang kurang penting dalam kehidupan dan sering kali juga membuat orang mencari Allah dan kembali kepada-Nya.[2]
Dalam Kitab Mazmur dikatakan bahwa sakit itu membawa manusia pada penyerahan kepada Allah. "Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. (lihat Mzm 73:21-23).Â
Penyerahan diri ini muncul karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang sebab adanya penderitaan yang dialami manusia yang didasarkan pada keyakinan bahwa Allah tidak mungkin menghendaki penderitaan.[3]
Bagi orang beriman, sakit sering dipandang sebagai salib. Permenungan ini muncul jika si penderita mencoba melihat apa yang sedang dialami merupakan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penderitaan Kristus.Â
Penderitaan dilihat atau diarahkan kepada Kristus yang taat pada kehendak Bapa. Sering manusia tidak melihat makna sakit (penyakit). Tidak jarang, Â bahwa hidup terasa menjadi beban ketika manusia berhadapan dengan penyakit, dan sikap ini akan mengurangi kualitas penderitaan.[4]
Iman yang memandang bahwa sakit adalah sebuah salib kehidupan, sebuah partisipasi dalam penderitaan Kristus, merupakan tujuan penting dalam pelayanan pengurapan orang sakit. Kitab Hukum Kanonik mengatakan bahwa dengan pengurapan orang sakit.
Gereja menyerahkan umat beriman yang sakit (berbahaya) kepada Tuhan yang menderita dan dimuliakan, agar Ia meringankan dan menyelamatkan mereka.[5]
Baca juga : Sakit Itu Tidak Enak, tapi Jadi Pelajaran Berharga
2.2 Dosa
Katekismus Gereja Katolik merumuskan dosa sebagai satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik yang dalam moral Katolik dibahasakan sebagai suatu perbuatan salah yang dilakukan secara tahu, mau dan mampu.[6]Â