Mohon tunggu...
Dedy Ari Asfar
Dedy Ari Asfar Mohon Tunggu... -

Menulis adalah tradisi Tuhan yang harus disenangi manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cina Pesisir di Sungai Kakap

18 September 2013   20:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 2410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dedy Ari Asfar

[caption id="attachment_267146" align="alignnone" width="448" caption="Lelaki Sepuh Cina Sungai Kakap"][/caption]

Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajah saat kujejakan standar motor di sebuah lahan parkir dermaga Kakap. Persis di depan gerbang Vihara Budha Kutub Utara. Langit cukup bersahabat. Matahari tidak begitu garang menyinari kawasan Sungai Kakap. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 8.30 WIB.Keteduhan langit di atas Kakap membuat orang-orang kampung tampak nyaman bekerja. Seorang lelaki tua dengan gerobak tampak hilir mudik mengangkut berbagai barang dari arah Dusun Merpati ke Pasar Kakap. Perawakannya sederhana. Kemeja lengan panjang putih bergaris yang dikenakannya terlihat kumal. Kancing baju bawahnya terbuka. Celana kain abu-abu tua dan sandal jepit hijau sedikit memaniskan penampilan wajahnya yang berkulit putih. Wajahnya sudah tampak tua. Matanya sipit. Di mulutnya sebatang rokok tampak harmonis diapit bibirnya. Badannya membungkuk mendorong gerobak berisikan sayur-mayur, buah-buahan, dan beberapa bungkusan barang belanjaan. Ia tidak sendiri. Ada beberapa lelaki yang mendorong gerobak. Satu diantaranya berperawakan tambun. Kulitnya hitam dengan kaus berkerah warna hijau dan celana selutut warna loreng coklat, putih, dan abu-abu. Tiba-tiba seorang lelaki bisu menghampiri dan memecahkan konsentrasi saya terhadap manusia yang hilir mudik melintasi jalan utama depan Vihara Budha Kutub Utara. Ia meminta untuk memarkirkan motor di sebelah vihara, tepat di halaman Yayasan Budi Mulia. Lebih aman kira-kira itu bahasa isyarat yang disampaikannya. Begitulah suasana dan sambutan warga Pekan Kakap pada hari Minggu tanggal 17 Juli 2011.

Langkah kaki perlahan menuju dermaga motor ke Pekong Laut. Pekong yang identik dengan Vihara Tao tepat berada di mulut Muara Sungai Kakap. Dermaga ini terletak di sebelah gedung Badan Pemadam Api Sungai Kakap persis di pusat pasar. Ada arak-arakan rombongan perkawinan lengkap dengan para penabuh tar yang bersiap-siap meninggalkan Pasar Kakap ketika menuju dermaga. Dermaga kayu sederhana. Dermaga tempat singgah motor-motor air klotok yang siap mengantarkan penumpang ke beberapa wilayah, seperti Teluk Pakedai, Tanjung Saleh, dan Pekong Laut. Dermaga ini berseberangan dengan perkampungan Cina Sungai Kakap, yaitu Dusun Merpati.

Hingar bingar dermaga kecil ini terasa. Ada motor air yang berangkat dengan sarat penumpang. Ada yang sarat dengan muatan barang. Ada kapal motor milik nelayan yang sarat dengan minyak berdrum-drum. Sesekali motor air kecil lalu lintas melewati dermaga. Aktivitas muat turun penumpang dan barang menjadi pemandangan yang lumrah di dermaga kecil ini.

Perlahan satu per satu anggota rombongan ke Pekong Laut menuruni tangga kayu dermaga. Sekitar empat tangga yang harus dilalui untuk menaiki motor air yang akan ditumpangi. Motor air milik Pak Sonok. Lelaki Madura yang memiliki rumah di Tanjung Saleh ini benar-benar menggantungkan hidup pada jasa transportasi air. Biaya carter (pergi-pulang) menaiki motor air yang muat penuh bisa 20 orang ini adalah seratus ribu rupiah. Motor kayu dengan desain sederhana memiliki pelindung panas dari terpal bagian tengah saja. Bagian depan dan belakang tanpa pelindung. Bagian kemudi dan penumpang, baik yang duduk paling depan maupun belakang akan merasakan panas ke panasan dan hujan ke hujanan. Mujur perjalanan menuju Pekong Laut didukung cuaca yang adem dan teduh. Perjalanan menjadi terasa mengasyikkan.

Perlahan motor bergerak menuju Pekong Laut. Melewati rumah-rumah penduduk di sisi kiri dan kanan. Melewati jembatan Bintang Tujuh yang melintasi Sungai Kakap. Sungai yang membelah Pekan Kakap menjadi dua okupansi utama. Kawasan sungai ini sangat identik dengan kehidupan masyarakat nelayan. Perjalanan ke luar dari Sungai Kakap menuju arah laut (muara) disuguhi pemandangan yang menyejukkan. Di sisi kiri dan kanan lepas dari perkampungan penduduk dapat ditemukan bagan-bagan ikan menghampar. Bagan yang terbuat dari kayu-kayu mal, dilapisi dengan dahan-dahan nipah, dan tiang pagar dari pohon nibung. Bagan memiliki seolah-olah mirip gerbang (pintu) masuk. Di atas gerbang ada yang dibangun pondok kecil. Ada juga yang membangun pondok kecil di bagian belakang dari pintu masuk bagan. Pondok kecil itu mungkin digunakan untuk tempat beristirahat dan menginap para pengelola bagan.

Hembusan angin laut muara Sungai Kakap terasa melegakan pernapasan. Kucoba menghirupnya dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Hembusan angin menerpa wajah dan membuat rambut berkibar-kibar. Kunikmati kue tentara (baca: koramel) dan risoles isi daging korned sembari menikmati tiap hembusan angin yang menampar wajah. Lamat-lamat titik bangunan di tengah laut terlihat kukuh berdiri. Bangunan itu sebuah vihara yang dibangun masyarakat Cina untuk tempat beribadah. Di belakang vihara hamparan air laut tampak tak bertepi. Titik kecil itu semakin membesar seiring dengan mendekatnya motor klotok. Titik itu menjelma menjadi bangunan megah berdiri di atas tiang-tiang beton dengan pondasi atas kayu belian. Bumbung atas atap bagian depan menampilkan ornamen dua burung dan dua naga di sisi kiri dan kanan yang bertemu kepala di bagian tengah atap. Ada tiga atap yang mendominasi arsitektur bangunan ini. Hanya atap bangunan paling depan yang dihiasi ornamen dua burung sedangkan atap kedua dan ketiga berornamen dua naga. Motor mendekat dan merapat ke arah tangga. Kuhitung delapan tangga yang tidak terendam oleh air. Tangga kayu belian yang mengantarkan rombongan menuju lantai dasar vihara atau nama bekennya Pekong Laut yang berada persis di tengah-tengah Muara Sungai Kakap.

[caption id="attachment_267150" align="aligncenter" width="448" caption="Pekong Laut di Sungai Kakap"]

13795089452024877543
13795089452024877543
[/caption]

Konon, menurut Pak Akui (Ketua Yayasan Vihara Budha Kutub Utara) vihara atau Pekong Laut mulanya adalah bagan nelayan. “Bekas jeremal udang, dibangun menjadi Pekong,” ujar Pak Akui. Vihara ini identik dengan penganut ajaran Taoisme.”Itu Tao,” jelas Pak Akui. Vihara Tao maksudnya adalah tempat ibadah bagi semua orang Cina dengan latar belakang agama apa saja yang ingin bersembahyang. Vihara ini dibangun pada tahun 1960. Awalnya merupakan jeremal tangkap udang nelayan Sungai Kakap.

Kujejakan kaki di tangga demi tangga naik hingga ke lantai dasar bangunan Pekong Laut. Bagian tengah persis dari tangga naik terdapat tempat duduk memanjang. Di depannya terdapat ruangan. Dinding ruangan dihiasi dengan ornamen para dewa/orang suci, tulisan-tulisan Cina, dua naga mengejar bola api, pohon bambu, binatang bertanduk dengan dua kumis panjang mirip kumis lele, dan bunga mutiara. Di tiang sisi kiridan kanan terdapat ornamen bunga teratai terbuat dari seng (?). Daun-daun teratai ini memiliki tujuh tingkat mengelilingi dan menghiasi tiang. Bumbung atas dihiasi tangkai-tangkai dengan ornamen bunga mutiara dan di bawah bunga mutiara menggantung botol kendi ala drunken master. Di sisi kiri bangunan berornamen para dewa/orang suci itu ada gentong penampung air hujan terbuat dari kayu. Di depannya ada beberapa toilet dengan lubang pembuangan langsung ke bawah (laut). Setiap toilet dilengkapi tempayan kecil sebagai tempat air basuh. Kalau dihitung jumlah keseluruhan toilet di bangunan ini sebanyak 7 ruang. Di sekeliling bangunan ini juga dilengkapi dengan lampu-lampu listrik sebagai penerangan. Mungkin lampu-lampu hidup saat para penjaga menghidupkan genset yang ada dalam bangunan Pekong Laut ini.

Langkah kaki pun menuju bagian belakang bangunan Pekong Laut. Beberapa pemancing tampak asyik melabuh tali pancing. Hamparan laut luas menjadi latar bagian belakang bangunan ini. Laut dengan air yang tampak keruh oleh lumpur. Laut yang memperlihatkan perahu-perahu nelayan mengapung tampak kecil dikejauhan.

Ada dua tempat pemujaan (pek kong) berbentuk rumah mungil terletak di sudut kiri dan kanan pagar pengaman bangunan belakang vihara. Persis paling pojok sisi kiri dan kanan yang dihiasi tiang dengan kaca berbentuk limas dengan alas atas dan bawah berbentuk segi empat untuk menempatkan lampu sebagai penerang. Rumah mungil (pek kong) bercat merah darah ini terletak di atas meja berlantai porselen berwarna merah hati. Di dalam rumah mungil itu terdapat patung Dewa berjanggut. Mungkin Dewa Bumi yang dalam masyarakat Cina dianggap sebagai Dewa Pelindung. Ada kain kuning menghiasi sisi kanan bagian dalam rumah mungil itu. Bagian luar (depan) rumah mungil terdapat kendi tempat meletakkan alat-alat sesembahan, seperti setanggi dan kertas beraksara Cina.

Empat orang pemancing dengan serius menunggu tali mata kailnya disambar ikan. Beberapa orang tampak mulai strike (meminjam bahasa dalam tayangan televisi Mancing Mania). Ikan kecil didapat, seperti ikan duri, terongan, sembilang, dan belukang. Pekong Laut dianggap tempat yang asyik untuk memancing. Lokasi ini dianggap strategis karena posisinya yang menghadap laut lepas, Laut Cina Selatan. Memancing di lokasi ini pun nyaman dan aman. Terlindung dari sengatan matahari dan tidak ada ombak yang bakal menghantam. Para pemancing dapat sambil tidur-tiduran diberanda belakang bangunan Pekong Laut. Pada hari sembahyang kubur dan ritual tertentu saja Pekong Laut didatangi oleh orang-orang Cina sebagai tempat beribadah. Bagi para pemancing di Pekong Laut, hari sembahyang dianggap berkah. Banyak buah-buahan yang dijadikan sesajen. Para pemancing ada yang nakal memanfaatkan buah sesajen sebagai makanan mereka. Memancing di Pekong Laut dianggap murah. Para pemancing hanya modal sewa motor klotok menuju ke Pekong Laut. Mereka berkongsi biaya. Datang pagi, pulang sore hari dilakoni para pemancing ini.

“80 ribu pagi antar, sore balek,” ujar Melvi salah satu pemancing.

“Laot di sinek cetek, paling 7 meterlah, ikan pun ikan-ikan kecik.”

“Abang mancing pakai umpan ape?” tanyaku.

“Cacing nipah”

“Macam mane bentuk cacing nipah?”

“Kayak Lipan, ade kaki. Satu ekok 8 ribu”

“Sebesak jempol 30 ribu satu ekok,” jelas Melvi.

“Mahal ya,” gumamku.

“Kaye yang jual cacing ni,” gurau Melvi.

“Ngape ndak pakek cacing biase?”

“Cacing nipah ni ngejar, idop, dapat ikan terongan”

“Musim bagus ke mancing sekarang,” selidikku pada Melvi.

“Sekarang aek laot ni agek rendah, ndak pasang ndak surot. Mancing bagos kalok aek agek naek. Kalok surot tak bagos. Musim tadak ujan bagos gak sebab aek asin naek. Banyak ikan,” jelas Melvi dengan logat Pontianaknya.

Melvi termasuk pemancing yang memiliki alat pancing lengkap. Ia menunjukkan kepadaku perlengkapan yang dimilikinya. Umpan ikan-ikan imitasi pun dimilikinya. Berbagai jenis mata kail dan tali pancing pun tersedia. Menurut Melvi, apabila cuaca bagus dan musim ikan, ia dan teman-teman kerap menyewa perahu menuju laut lepas untuk memancing.

“Saye lupak, taon duak ribu berape, Pekong Laot ni pernah ancor. Kenak banjer besak. Nampak bumbongnye jak.”

“Sekarang ni dah nampak bagos, udah direhab,” seru Melvi bercerita tentang Pekong Laut.

[caption id="attachment_267159" align="alignright" width="448" caption="Pemancing di Pekong Laut"]

13795092301490864114
13795092301490864114
[/caption]

Setelah sekitar satu jam berada di Pekong Laut. Waktunya kembali ke Pasar Kakap. Perjalanan kembali ke Kakap menempuh waktu 20 menit. Sekitar pukul 11 tiba di Pekan Kakap. Sesampai di Pasar Kakap langit tampak mendung, gerimis mulai turun, dan hujan pun mengguyur dengan derasnya membasahi tanah Kakap. Aku dan teman-teman berteduh di sebuah warung makan Muslim berseberangan jalan dengan kantor Pemadam Api Kakap dan bersebelahan dengan penjual sate. Di depan rumah makan ini terdapat lorong jalan yang menghubungkan antara satu ruko dan ruko lainnya. Persis di depan rumah makan, lorong jalan menjadi tempat mangkal Rhoma Irama. Ya, suara Rhoma Irama mengalun dan menggema dari pemutar CD/DVD tempat mangkal penjual CD/DVD lagu dan film. Hiruk Pikuk Kakap ternyata belum berhenti. Semakin siang semakin ramai orang yang bertransaksi.

Pasar Kakap terdiri atas rumah toko (ruko) yang menyediakan berbagai macam barang dagangan dan jasa. Ada penjual makanan, barang-barang kelontong, sembako, bengkel, tukang las, pakaian, sayur-mayur, ikan, buah-buahan, warung kopi, HP, dan pulsa telepon genggam. Dominasi orang-orang Cina di Pasar Kakap sangat terasa. Orang Cina menjadi warga terbanyak yang mengisi ruko-ruko di Pasar Kakap. Boleh dikatakan 90% orang Cina yang menghuni dan menjadi pedagang di Pasar Kakap. Warung kopi dan rumah makan Cina pun menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang Islam. Perempuan berkerudung dan lelaki berkopiah haji duduk dengan nyaman menyantap makanan di sebuah rumah makan Cina.

Saat menyisiri ruko-ruko Pasar Kakap dapat dilihat interaksi yang harmonis antara orang Cina dan sesama orang Cina serta antara orang Cina dan bukan Cina. Ya, ini memang pengamatan sepintas lalu yang umum berlaku di pasar manapun. Namun, fenomena perempuan berkerudung dan lelaki berkopiah haji yang duduk dengan nyaman menyantap makanan di sebuah rumah makan Cina menunjukkan harmonisasi dan ketidakwas-wasan orang bukan Cina terhadap penjual Cina. Padahal, masih ada penjual makanan bukan Cina (Islam) yang berjualan di Pasar Kakap. Tidak begitu sulit mencari warung makan Islam di Pasar Kakap. Dalam benak saya interaksi ini muncul mungkin karena persahabatan dan saling percaya antara orang Cina dan bukan Cina di Pasar Kakap. Fenomena kerja sama dan interaksi intensif di Pasar Kakap dapat dilihat dalam toko kelontong dan pakaian. Toko-toko kelontong dan pakaian ini menjadikan orang bukan Cina sebagai pelayan toko. Fenomena lazim, orang pribumi menjadi pramuniaga dengan bos orang Cina, bukan? Mungkin ini bentuk interaksi dan kerja sama masyarakat akar rumput dalam bidang perdagangan.

Langkah kaki terus menuju kampung Cina di sebelah Jembatan Bintang 7. Jembatan yang menghubungkan antara Pekan Kakap dan Dusun Merpati. Jembatan ini dibangun atas sumbangan Bapak Suganda Widjaya (The Tio Giang) dan diresmikan pada tanggal 29 Mei 1999. Saya dan Yusriadi berusaha menemui Ketua Yayasan Vihara Budha Kutub Utara untuk bertanya seputar Cina di Lembah Sungai Kakap. Rumahnya persis terletak di pinggir Sunggai Kakap ujung Jembatan Bintang 7. Langkah kaki menjadikan kami berkenalan dengan ketua yayasan yang bernama The Dek Kui. Ia memberikan informasi sedikit tentang sejarah vihara dan Cina di Kakap. Vihara Budha Kutub Utara merupakan vihara Tridarma yang digunakan untuk bersembahyang bagi penganut agama Budha, Konghucu, dan Tao. Usia vihara ini sekitar 120 tahun. “Dibangun pada Dinasti Ching,” kata Pak Kui. Dalam sejarah Tiongkok Dinasti Ching (Qing) merupakan dinasti terakhir yang berkuasa di Tiongkok dengan sepuluh kaisar berturut-turut naik takhta sejak tahun 16441911. Dinasti ini dikenal juga sebagai Dinasti Manchu.

Pak Akui terbilang baru tinggal di Kakap. Ia lahir di Pontianak. Terlahir dari orangtua Cina asli. Pak Kui keturunan Cina generasi ke-3. Masa kecil dihabiskannya bersekolah di sekolah Cina di Jeruju dekat Gertak I Pontianak. Di Pontianak ia tinggal di Pal 3 Sungai Jawi. Sekitar 5 kilometer jarak yang ditempuh menuju sekolah. Ia tidak menamatkan sekolahnya. Berhenti setahun saat akan tamat karena disuruh mencari ikan di laut. The Dek Kui (Gui) merupakan nama orang Teociu. Ia mengambil nama dari marga sang ibu karena orangtua tidak ada surat nikah. Oleh karena itu, ia menggunakan nama sang ibu di KTP karena anak yang lahir tanpa surat nikah biasanya ikut nama ibu. Marga Kui/Gui dalam bahasa Khek disebut Chang dan dalam bahasa Mandarin disebut Chen.

Pak Kui menikah dengan perempuan Cina dari Kakap. Perkawinannya dengan sang istri yang menyebabkan ia pindah ke Kakap. Pada tahun 1978 Pak Kui menjatuhkan pilihan untuk menetap secara permanen di Kakap. Walaupun, baru tahun 1978 ia resmi sebagai penduduk di Kakap, tahun-tahun sebelumnya ia sudah berinteraksi dengan masyarakat Cina Kakap. Faktanya, sejak tahun 1975 sampai dengan sekarang ia menjabat sebagai Ketua Yayasan Vihara Budha Kutub Utara. Ia dan 11 orang pengurus yayasan yang menjaga dan mengatur persoalan ritual Cina di Vihara Budha Kutub Utara. Pada waktu itu Vihara Budha Kutub Utara masih bangunan berlantai dan berdinding papan. Vihara Budha Kutub Utara sekarang terbilang bagus dan indah. Bangunannya terbuat dari beton. Hal ini merupakan usaha para pengurus yayasan yang memugar bangunan lama dan membangun bangunan baru. Bangunan bertingkat yang ada dibelakang vihara merupakan bangunan baru yang dibangun pada tahun 1985. Bangunan asal vihara ini hanya dua bangunan di depan. Membangun vihara ini terbilang rumit dan sulit dari segi administrasi pada waktu itu. Pada era Orde Baru tempat ibadah orang Cina sulit untuk dibangun. Menurut Pak Kui pejabat pemerintahan seperti kejaksaan dan kodim pada waktu itu sedikit menyulitkan pengurus membangun vihara tetapi “Asal sebut Budha, aman,” tegas Pak Kui. Mungkin ini yang menyebabkan vihara di Kakap ada embel-embel Budha. Budha sebagai salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Agama yang paling dekat dengan kepercayaan dan keyakinan orang Cina. Vihara ini disebut Budha Kutub Utara karena patung Budha yang didepan berasal dari Kutub Utara.

Perbincangan saya dan Yusriadi dengan Pak Kui menyibak berbagai fakta menarik tentang orang Cina di Kakap. Menurut Pak Kui komunitas Cina di di Pasar Kakap itu sekitar 90 %. Jumlah Cina di Pekan Kakap dan Dusun Merpati terbilang mayoritas. Cina Kakap terdiri atas dua suku Cina besar, yaitu Teociu dan Khek. Di sekitar Kakap 80% merupakan orang Teociu sedangkan orang Khek sekitar 20%. Orang-orang Teociu merupakan penduduk Cina asal yang sudah bermukim lama di Kakap sedangkan orang Khek merupakan pendatang. Orang Khek di Kakap berasal dari pengungsi yang terusir dari tempat lain akibat peristiwa yang terjadi pada tahun 1965. Orang-orang Cina Kakap disapa dan diidentifikasi dengan tiga sebutan oleh orang bukan Cina. Ada yang panggil dengan sebutan Cin, Cina, dan Tionghoa. Sapaan Cin lebih sering digunakan dan biasa dipakai oleh kalangan tua. Saapaan Cina atau Cina Pasar dipakai kalangan orang-orang muda. Sapaan Tionghoa jarang-jarang digunakan.

“Istilah Tionghoa baru-baru ini, jarang dengar-dengar,” jelas Pak Kui

“Camat, Polisi panggil Tionghoa, pejabat panggil Tionghoa”

“Orang Cin dipanggil orang-orang tua”

“Orang Cina, Cina Pasar budak-budak biasa panggil”

Ketika Yusriadi bertanya mana sapaan yang paling disukai, Pak Akui menjawabnya dengan santai sembari senyum-senyum.

“Tionghoa agak senang-senang”

“Cina kurang-kurang”

“Cin biasa-biasa saja”

Penduduk Cina di Kakap rata-rata pedagang. Dahulu nelayan merupakan pekerjaan utama penduduk Cina di Kakap. “Sekarang Cin punya motor, Melayu kerjakan,” ujar Pak Kui. Bahasa sederhananya orang Cina bos dan Melayu yang jadi anak buah dalam hal tangkap-menangkap ikan di laut dan mengelola bagan-bagan ikan yang ada di sekitar Muara Kakap. “Sekarang sekitar 50% orang Cina masih nelayan,” tegas Pak Kui.

[caption id="attachment_267179" align="alignright" width="448" caption="Cina Nelayan sedang Mempersiapkan Jaring penangkap Ikan"]

1379509941355143320
1379509941355143320
[/caption]

Berdasarkan keterangan Pak Kui, di Vihara Budha Kutub Utara memiliki tiga pek kong (tempat abu dan setanggi dibakar) yang sering disembahyangi oleh masyarakat Cina Kakap. Bahkan, salah satu pek kongnya juga ada yang didatangi orang Islam. Ketiga pek kong tersebut adalah dua pek kong bagi roh orang yang pertama kali membuka hutan menjadi vihara (suami-istri) dan satu pek kong Abu Saik/Sayid. Orang-orang Cina Kakap memanggil Abu Saik dengan sebutan Datok dan/atau Datok Mengkajang/Bengkayang. Kesemua pek kongpara roh tersebut terletak di belakang bangunan vihara. Konon, Pek kong Abu Saik inilah yang menjadi daya tarik orang Islam untuk datang ke sini. Berdasarkan keterangan salah satu pengurus vihara yang saya temui, “Orang Islam goncang-goncang minta nomor untuk pasang,” kata Pak Lim Kiang Kim salah satu anggota pengurus yayasan. Sebelum mengoncang-goncang orang mesti membawa sesajen untuk arwah Abu Saik.

[caption id="attachment_267184" align="alignleft" width="448" caption=" Vihara Budha Kutub Utara di Sungai Kakap"]

13795101201446190161
13795101201446190161
[/caption]

Lebih lanjut Pak Kim menerangkan, “Ada sajen untuk Abu Saik.”

“Apa sajennya?”

“Pisang, silet, rokok, limau,” jelas Pak Kim.

Berbicara tentang pek kong mistik yang ada di dalam bangunan belakang Vihara Budha Kutub Utara sesungguhnya masing-masing pek kong ada tatungnya. Para tatung inilah yang dapat memanggil roh. The Siang Ti merupakan seorang tatung yang biasa memanggil roh Datok Abu Saik. Sayangnya, sang tatung sudah meninggal sehingga tidak ada informasi yang cukup lengkap untuk menelusuri asimilasi Islam dan Cina dalam tradisi pemujaan di vihara ini.

Lebih lanjut Pak Kui bercerita tentang harmonisasi antaretnik di Kakap. Katanya ada orang Cina Kakap yang menikah dengan Melayu dan Dayak. “Harmonisasi etnik di kawasan Kakap sangat baik,” kata Pak Kui.

“Cina kawin dengan Melayu, Dayak,”

“Orang Bugis, Melayu bisa pandai omong Teociu,” tegas Pak Kui.

Pada saat hari-hari besar Cina dan Islam, terjadi interaksi sosial yang baik. Cina Kakap dan Melayu saling kunjung. Pak Kui berkunjung ke tetangga saat berlebaran dan orang Melayu balik berkunjung pada saat Imlek. Kesan Pak Kui terhadap makanan saat berhari raya yang paling identik antara Cina dan Melayu adalah Kue Keranjang bagi orang Cina, Ketupat dan Lepat Lau bagi orang Melayu.

Dalam hal keyakinan orang Cina Kakap terbagi atas dua penganut utama, yaitu penganut Budha dan Tao. Konsekuensi dari keyakinan ini berimplikasi dalam menyantap makanan sehari-hari. “Budha makannya che (bukan berdarah dan bernyawa), Tao boleh makan semua,” jelas Pak Kui.

Perbincangan saya berhenti seiring waktu dan kelelahan yang tampak dari wajah Pak Kui. Kebetulan Pak Kui sedang merenovasi rumah dan perbincangan dilakukan sambil berdiri di beranda depan rumah beliau. Saya dan Yusriadi kembali menuju Vihara Budha Kutub Utara untuk melihat orang-orang Cina bersembahyang. Kami memasuki halaman dan duduk di kursi bagian depan vihara melihat-lihat orang Cina yang memegang setanggi bakar sembari membungkuk-bungkukkan badan berkali-kali ke altar dan tempat pemujaan yang ada di vihara.

Lagi asyik-asyiknya melihat orang-orang Cina yang sedang bersembahyang, tiba-tiba saya dikejutkan dengan tiga orang anak penjual pengkang. Ketiga anak itu melintas di depan vihara. Saya memanggil ketiganya. Dalam benak saya tiga orang anak ini bisa dijadikan lumbung informasi awal untuk mengetahui informasi lain tentang Cina dari perspektif anak-anak. Mereka penjual kue keliling biasanya tahu setiap sudut penduduk di Pekan Kakap secara etnik.

“Beli Bang,” tanya seorang lelaki bertubuh paling besar diantara tiga orang anak itu.

“Siapa yang punya”

“Yang punya orang Cina, yang buat Melayu,” jawab seorang perempuan diantara mereka.

Dugaan saya benar tentang ketiga anak ini. Mereka memberi saya pengetahuan tentang relasi etnik yang ada di Pekan Kakap. Saya berbincang dengan ketiganya. Lelaki yang paling besar bernama Lisan. Lisan Cina asli Kakap. Orangtua Lisan orang Cina Khek dan Teociu. Ia menguasai bahasa Khek dan Teociu sama baiknya. Di rumah menggunakan kedua-dua bahasa itu, bergantung siapa lawan bicaranya. Ia berusia 15 tahun masih duduk di kelas 2 SMP. Perawakannya tinggi, tenang, dan tampak dewasa diantara kedua temannya.

[caption id="attachment_267167" align="alignleft" width="448" caption="Dedy Ari Asfar dan Yusriadi bersama Dua Penjaja Kue Bernama Lisan dan Aheng "]

13795095141277157431
13795095141277157431
[/caption]

“Aku Cina asli lo,” tegas Lisan.

“Dia Cinday,” tunjuk Lisan kepada teman lelakinya yang kemudian saya ketahui bernama Aheng.

“Apa itu Cinday?”

“Cina Dayak,” jawab Lisan dan seorang perempuan diantara mereka hampir serempak.

“Ya saya Cinday,” tegas Aheng.

Seorang perempuan diantara mereka memanggil Lisan dengan sebutan “Wak Lahuk”. Dipanggil Wak Lahuk Lisan hanya senyum-senyum. Tetapi, tatapan matanya sesekali menunjukkan wajah merengut kepada Nisa saat disebut Wak Lahuk secara berulang-ulang. Perempuan ini agak comel. Ia paling banyak berceloteh tentang aktivitas teman-temannya. Perempuan berusia 11 tahun ini bernama Nisa. Seorang perempuan Melayu yang masih bersekolah sebagai siswa kelas 6 SD. Lelaki kecil diantara Lisan dan Nisa adalah Aheng. Aheng yang mengaku sebagai Cinday tampak agak malu-malu. Aheng adalah pelajar kelas 1 SMP. Usianya 12 tahun. Mamanya Aheng Cina sedangkan ayahnya seorang Dayak. Aheng mengaku hanya menggunakan bahasa Melayu di rumah. Bahasa sang bunda, yaitu Teociu hanya sedikit-sedikit dikuasainya.

Ketiga anak ini bersahabat. Usia yang berbeda dan etnik yang taksama tidak menghalangi ketiganya bersahabat dan berkompetisi secara sehat dalam menjual pengkang. Panganan berbahan dasar pulut yang dikukus dan dilapisi daun pisang, diatasnya diisi dengan udang ebi (rebon). Pengkang kukus ini kemudian dibakar sebentar untuk menjadikan daun pisang yang membungkus pulut menjadi agak hangus. Saya membeli pengkang dari ketiga anak tersebut supaya lebih adil. Lalu, saya pun bertanya apa motivasi mereka ingin berjualan. Pertanyaan saya dijawab dengan lancar oleh Lisan. Lisan mengaku berjualan agar bisa membantu orangtuanya. Menjual pengkang hanya dilakoni setiap hari Minggu sebagai hari libur sekolah. Ia sudah menjalani aktivitas dagangnya selama 5 tahun. Dalam seminggu dia bisa mendapatkan uang Rp100 ribu. Uang itu harus disetorkan kepada pemilik pengkang. Lisan mendapatkan 15% dari uang yang dihasilkannya.

“Berapa itu?” tanya saya

“15% dari 100 ribu ya 15 ribu,” tegas Lisan.

Puas berbincang-bincang dengan Lisan, Aheng, dan Nisa. Saya dan Yusriadi beranjak menuju Dusun Merpati mencari orang-orang Cina yang bisa diwawancarai. Saya melangkahkan kaki dijalanan utama Dusun Merpati yang bersemen. Jalanan lumayan ramai, sesekali lewat pengendara motor, ada pejalan kaki, dan pesepeda. Beberapa orang tampak sibuk. Ada sebuah rumah yang halaman depannya berdiri satu tiang dengan ujung bundar bergambar lambang Taoisme. Di dalam rumah itu seorang lelaki bertelanjang dada tampak sedang memperbaiki sebuah pukat. Lelaki Cina berkaca mata ini mengutak-atik pukatnya dengan serius. Suara musik cukup keras terdengar dari rumah itu. Saya terus berjalan, tidak ingin mengganggu lelaki yang sedang sibuk dengan pekerjaannya ini.

Saya lihat setiap rumah terdapat kertas beraksara Cina dan ornamen Taoisme menggantung di dinding atas pintu rumah. Hal ini saya ketahui kemudian berdasarkan keterangan Lim Heng Song sebagai tanda Dewa Penjaga Rumah. “Kalau rumah kosong harus dilepas karena takut dewanya mengganggu orang,” jelas Lim Heng Song. Sepanjang menyisiri rumah-rumah penduduk ini, saya melihat rumah bertingkat yang dipenuhi dengan tumpukan pukat. Yusriadi singgah menyambangi rumah yang dipenuhi tumpukan pukat tersebut. Saya terus berjalan bersama Hizbul Maududi menyusuri jalanan kampung. Sampai akhirnya saya berhenti di sebuah toko kecil. Tampak seorang lelaki sedang mengobrol dengan perempuan di depan toko kecil itu. Lelaki itu bernama Suryanto nama Cinanya Lim Heng Song. “Saya dipanggil Asong,” ujar lelaki itusaat saya berkenalan dengannya. Asong sedang menjaga toko kecil milik sang ayah. Tiba-tiba muncul seorang pembeli (seorang nenek) ke toko tersebut.

“Ape nek?” tanya Asong dalam logat Melayu Pontianak.

“Gule, mi,” jawab sang nenek.

Selesai melayani sang nenek berbelanja. Asong melayani saya berbicara. Dari perbincangan itulah saya mengetahui ia dn keluarga besarnya penganut agama Budha. Ayahnya bernama Lim Siau Peng. Sang ayah dikenal dengan panggilan Apeng. Ayahnya orang Teociu sedangkan ibu orang Khek.

“Banyak pek kong dalam rumah,” ujar Asong sembari menunjukkan tangan ke rumah tetangga sebelahnya.

“Apa makna pek kong yang di luar ini?” tanya saya menunjukkan pek kong yang berada di beranda rumah tetangganya itu.

“Tien Kua Se Hok, minta rejeki ke langit,” jawab Pak Apeng yang sedari tadi menguping pembicaraan kami.

Perbincangan saya dan Pak Apeng (Lim Siau Peng) berlanjut. Lelaki ramah ini lahir pada 19 September 1945. Ia mengbrol dengan saya sesekali menunjukkan logat Melayu Pontianak. Bagi saya ini sangat berarti karena bagian dari asimilasi dan pengaruh kontak budaya antaretnik di Lembah Kakap.

“Dile’ tu ade jalan,”

“Semua paret, tak ade gerta’ untuk nyebrang ke pasar,” ujar Pak Apeng kental menyebutkan bunyi /r/ berkarat ala Melayu Pontianak.

Lelaki baya ini tipe pekerja keras. Sejak muda terbiasa dengan bekerja. Ia pernah bekerja di toko kelontong pada tahun 1964—1966. Ia digaji per bulan hanya dengan 10 kg beras. Bosan bekerja dengan orang, ia berhenti dari toko kelontong. Tahun 1966 ia melaut. Ia menggunakan sampan kecil dengan dipasangi layar.

“Biase banya’ orang tenggelam gare-gare sampan keci’ tu.”

“Tak ade angin, tak bale’,” kenang Pak Apeng.

“Kalau ke laot dolo’ cukop makan,” jelas Pak Apeng lagi.

Apeng mengenang pengalamannya sebagai nelayan. Dahulu teknik menangkap ikan yang pernah diamalkannya adalah model jaring pancing dengan mata kail yang ditajamkan ujungnya kemudian diberi jarak sekilan antara satu mata kail dan mata kail lainnya. Tali yang digunakan adalah sejenis tali sumbu yang dipintal-pintal. Dengan teknik tebar jaring pancing ini Apeng bisa melabuh ribuan kail sekali tangkap. Dahulu belum ada tali plastik dan nilon. Baru pada tahun 1966 muncul pukat berbahan tali plastik. Selain tebar jaring pancing, teknik menangkap ikan yang pernah dilakukannya adalah membuat bagan-bagan ikan dalam bahasa Pak Apeng jermal atau ambai.

“Jermal dahulu untuk cari ikan, sekarang cari udang, ikan sekarang kurang masuk dalam jermal,” tegas Pak Apeng. Alkisah menurut Lim Siau Peng tahun 1960-an laut dekat Pontianak masih ada ikan Hiu Parang, “palak’ macam parang,” cerita Pak Apeng.

Ia pernah menjadi nelayan selama 30 tahun. Usia tua takmampu membuatnya melaut lagi. Ia bersama sang istri membuka warung kecil di Dusun Merpati sejak tahun 1999. Istrinya orang Cina Khek dari Sanggau. Pernikahan dengan sang istri terjadi gara-gara Apeng jalan-jalan ke Sungai Raya sehingga bertemu dan berkenalan dengan sang istri. Ia menikah dalam usia 35 tahun dan sang istri berusia 30 tahun. Dalam berinteraksi dengan anak-istrinya Apeng di rumah menggunakan bahasa Khek dan Teociu. Dengan anaknya Apeng berbicara dalam bahasa Teociu sedangkan dengan istri menggunakan bahasa Khek. Lim Siau Peng pernah mengenyam sekolah Cina pada tahun 1950 di sekolah Cheng Hua Kakap. Ia bersekolah hanya sampai kelas 2. Selanjutnya, ia pergi melaut bersama sang ayah. “Lanjut ke laot la kite, tak ade duet, care’ duet susah,” kenang Lim Siau Peng.

Lim Siau Peng merupakan generasi ke-6 yang pernah tinggal di Kakap. Menurutnya, satu generasi dalam keluarga besarnya itu rata-rata 50 tahun. “Bapak meninggal umor 50 taon, datok umor 50 taon, jadi satu generasi rate-rate 50 taon.” Saya pun mengkalkulasi sudah berapa tahun nenek moyang Lim Siau Peng tinggal di Kakap. Kalau satu generasi 50 tahun ini berarti tinggal dikalikan 6 (generasi Pak Apeng) sehingga dapat perkirakan 300 tahun yang lalu nenek moyang Lim Siau Peng sudah menetap di kawasan Sungai Kakap. Hal ini tidak mengherankan karena berdasarkan catatan P.J.Veth dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1854 dengan judul “Borneo’s Westerafdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch” mencatat kawasan Sungai Kakap sebagai kawasan Cina yang ramai di daerah Pesisir Pontianak.

Hujan rintik-rintik, perbincangan saya dan Lim Siau Peng masih berlanjut. Lelaki paruh baya ini bercerita jalur transportasi ke Pontianak saat jalan darat belum ada. “Dolo’ dari ile’ ke ulu nuju gertak tige, pakai Jhonson,” kenang Lim Siau Peng. Jhonson merupaka sejenis speed panjang yang dapat menampung 30 orang penumpang digunakan sebagai sarana transportasi dari Kakap ke Pontianak. Jarak tempuh itu dapat dilalui sekitar 1,5 jam. Dalam sehari 5—6 buah Jhonson pergi-pulang rute Kakap-Pontianak. Masih cerita Lim Siau Peng, dahulu orang bawa barang ke Sungai Jawi (Pontianak) menggunakan tongkang bertenaga manusia. Tongkang barang digerakan dengan kayu galah oleh orang-orang yang naik tongkang. Kalau air surut dan melalui parit-parit kecil tongkang ditarik dengan tali oleh orang-orang hingga masuk ke sungai yang lebih besar.

Tiba-tiba perbincangan saya dan Lim Siau Peng dicampuri oleh tetangga sebelah rumahnya, “Kamu kayak orang Cina,” ujar Lim Kiang Kim berbicara kepada saya serius. Lelaki yang mengaku berumur 66 tahun ini lahir tahun 1945. Ia merupakan salah satu anggota pengurus Yayasan Vihara Budha Kutub Utara. Dia pernah menjadi nelayan. Bahkan, dia merupakan salah satu pengusaha ikan di Kakap. Ia memiliki perahu untuk mencari ikan untuk wilayah laut dan sungai sekitar Kakap. Sekarang ia sudah tidak melaut lagi dan sudah merasa tua, sama seperti tetangga sebelah rumahnya Lim Siau Peng dan Gui Bah Yem.

Hujan rintik-rintik masih tetap rintik-rintik saat saya meninggalkan rumah orang-orang Cina yang pernah menjadi nelayan di Dusun Merpati. Usia mereka memang sudah tidak muda lagi, tetapi ketangguhan nelayan-nelayan Cina di pesisir Kakap ini masih terlihat dari rumah-rumah yang ada di Dusun Merpati. Rumah dengan pukat menggantung. Motor-motor air penangkap ikan bertambat di pinggiran Dusun Merpati. Generasi Cina baru Dusun Merpati masih ada yang meneruskan usaha sebagai nelayan dengan mencari untung dari usaha tangkap-menangkap ikan di laut. Mereka merupakan potret Cina Pesisir yang menaruh untung di sektor perikanan.

[caption id="attachment_267190" align="aligncenter" width="448" caption="Perkampungan Cina Nelayan di Sungai Kakap"]

1379510346592658976
1379510346592658976
[/caption]

[caption id="attachment_267191" align="aligncenter" width="448" caption="Jembatan Menuju Dusun Merpati yang Dibangun dengan Biaya Orang Cina Sungai Kakap"]

13795106041582388642
13795106041582388642
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun