Menjelang pergantian tahun baru tidak sedikit di daerah  daerah para karyawan (buruh menurut saya kata yang terlalu kasar msekipun kenyataannya demikian) mulai berunjuk rasa untuk menaikkan upah. Bahkan ada yang berdemo untuk kedua kalinya karena kenaikan upah dirasa kurang banyak. Sebuah persoalan wajar ketika bekerja ingin mendapatkan hasil yang lebih, karena kebutuhan hidup tidak menunggu pergantian tahun semakin hari semakin terasa berat.
Masih teringat dengan jelas sekitar 5  7 tahun lalu, ustadz saya berpesan jangan mau jadi Jongos. Pesan itu tentu diberikan bukan hanya kepada saya, tapi juga santri  santri yang lain. Meskipun saya belum terlalu memahami artinya kami mengangguk saja. Akhirnya kata itupun menjadi pemicu semangat kami. Intinya langkah awal kami adalah dengan belajar dan harus bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Â
Akhirnya dengan keinginan yang kuat itu ternyata Allah Swt memberi kemudahan, bahkan ada yang mendapat beasiswa di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Tentu bagi kami yang saat itu masih santri suatu pencapaian yang luar biasa. Selang beberapa tahun akhirnya baru sadar bahwa arti jongos adalah kurang lebih sama dengan  buruh atau orang yang disuruh  suruh.Â
Lantas dengan memperbaiki pendidikan tadi apakah serta merta menaikkan status ekonomi? Tentu jawabanya belum tentu. Bahkan bisa jadi pendapatan kami lebih rendah dari para buruh di ibu kota. Hanya saja dengan pendidikan tadi status buruh kita lebih sedikit di atas baik secara pola pikir maupun dalam bertindak.Â
Karena meskpun berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, selama kami juga ikut orang kami mengartikan sebaga jongos. Tentu maksud penulis tidak serta merta menyarankan para buruh atau pekerja untuk melanjutkan pendidikan lagi. Harus terus memupuk motivasi, ada banyak kata-kata bijak di motivaday.com yang bisa menjadi penyemangat.
Tahun 2012, saya berkesempatan untuk tinggal di Timika, Papua. Daerah yang terkenal akan kekayaan alamnya, emas dan disitu terdapat perusahaan tambang terbesar di dunia. Tentu bagi kita yang masih ingat kata Papa Minta Saham akan tahu. Selama dua tahun tinggal disana banyak sekali pengalaman hidup yang dapat dipetik. Kebanyakan saya juga berinteraksi dengan para perantau lain yang lagi  lagi didominasi Suku Jawa, Sulawesi dan NTT.
Pekerjaan mereka bervariasi, beruntung yang bisa bekerja di perusahaan tambang, karena jelas gaji disana juga terbilang besar. Saya lebih banyak bertemu dengan orang-orang yang bekerja mandiri, penjual mie ayam, es tong tong, penjual penyetan bahkan tukang ojek. Berinteraksi disini maksudnya ketika bertemu mereka saya sempatkan ngobrol, karena ingin tahu lebih banyak apa motivasi mereka jauh  jauh dari perantauan dan berjualan seperti itu.
Dari berbagai jawaban tersimpulkan bahwa niatan mereka tentu ingin mengubah nasib. Dan memang saya perhatikan jika pandai mengelola uang mereka bisa mewujudkan keinginannya itu. Bahkan saya terkaget saat berbincang dengan tukang ojek yang bercerita bahwa dia memiliki puluhan pintu rumah sewa.Â
Wow, kalikan saja jika satu pintu minimal 700 ribu. Dia bercerita setelah pulang ngojek biasanya dia bekerja keras merintis rumah sewanya, jadi banyak tenaga juga dari dirinya sendiri. Tidak jauh dari kantor saya juga ada penjual mie ayam yang pada waktu itu sudah memiliki dua mobil dan satu rumah besar sekaligus tempat usahanya. Padahal beberapa tahun sebelumnya dia hanya menyewa warung kecil di dikat rumah yang sudah dibelinya.
Saat di sana saja juga tidak melewatkan berkomunikasi dengan teman  teman yang di jawa. Masih ingat saat itu teman satu kelas SMK saya bekerja di Surabaya  kalau tidak salah bekerja di pengelolaan parkir di pusat  pusat perbelanjaan. Namun di sela -  sela kesibukan kerjanya, ia mengambil kuliah malam dan alhamdulillah sekarang bekerja di sebuah bank milik pemerintah.
Dari beberapa kisah teman tadi, saya sebagai pekerja rasanya juga harus bisa mengambil pelajaran. Ternyata menjalani kehidupan ini harus punya visi besar. Hanya menunggu kenaikan upah tiap tahun bukan menjadi pemecah masalah, karena logikanya tiap tahun kebutuhan hidup semakin tinggi. Alangkah baikanya sebagai pekerja kita juga menyibukkan diri dengan rencana besar kita, tidak selamanya kita ingin berstatus pekerja melulu.
Demo  demo, saya rasa tidak demo pun kami juga mengalami kenaikan upah. Santai  santai aja naiknya berapa, kita juga harus pikirkan tempat yang menaungi keberlangsungan mencari nafkah kita. Tanpa mereka, bagaimakah nasib kita. Mereka para pengusaha Broonet.com menjadi perantara Allah Swt menurunkan rejeki.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H