Mohon tunggu...
Dedi Irawan
Dedi Irawan Mohon Tunggu... Penulis - The Pessimistic Man

Seorang lelaki pesimis yang bercerita tentang kehidupannya | Find me on Instagram @wilfrededida

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Menepis Kesedihan Ala Ibn Miskawaih

29 Desember 2023   18:36 Diperbarui: 1 Januari 2024   12:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Ibn Miskawaih dalam kitab al-Hillah li Dzaf'i al-Ahzan (Seni Menepis Kesedihan), bahwa kesedihan manusia lebih disebabkan oleh dua hal, yaitu "Fudhul al-Mahbub wa Fudhul al-Mathlub" (hilangnya yang dicinta, dan lepasnya yang didamba).

Jika kita kehilangan sesuatu yang kita cintai (harta, jabatan, keluarga/kerabat/pacar/sahabat), tentu saja sedih. Makin kita mencintai, makin tinggi pula derajat kesedihannya. Menurut Ibn Miskawaih, jika kita mengalami kondisi demikian, maka ketahuilah bahwa mencintai selain Allah adalah fana (pasti hilang). Jika sejak awal kesadaran semacam itu tidak kita bangun, maka jika suatu saat kehilangan "benda/orang-orang tercinta" yang memang bisa hilang tentulah dapat menimbulkan kesedihan yang dalam. Bahkan bisa sampai stress.

Dalam konteks Islam, mencintai selain Allah harus dalam batas wajar-wajar. Sabda Nabi s.a.w "Cintailah sesuatu sewajar-wajarnya, sebab bisa jadi nanti bisa menjadi musuhmu. Bencilah sewajar-wajarnya, sebab bisa jadi nanti menjadi kekakasihmu". Sebaliknya, jika kita mencintai Allah sebanyak-banyak, maka pasti kebahagiaan sejati yang kita dapati. Mengapa? Karena Allah tidak akan pernah hilang. Rumi melukiskan hubungan Tuhan dengan manusia, ibarat matahari dengan sinarnya. Makin dekat dengan matahari, makin terang (bahagia). Makin jauh dari matahari, makin gelap (sengsara).

Terkait dengan dambaan (harapan). Makin tinggi dambaan seseorang, makin tinggi pula resikonya. Bahkan muncul pemeo "teori resep cepat gila", caranya dengan menaruh 100 % dambaan hatinya. Padahal kenyataan hidup, apa yang kita harapkan seringkali berbeda dengan kenyataan. Banyak manusia terhempas dalam kesengsaraan oleh sebab ia menggantungkan dambaannya pada jabatan. Ketika jabatannya tiba-tiba hilang, hilang akal sehatnya secara tiba-tiba pula.

Menurut Ibn Miskawaih, jika kita mengalami situasi tersebut maka sadarilah bahwa mendamba selain Allah pasti fana. Jika sejak awal kesadaran semacam itu tidak kita bangun, maka jika suatu saat kehilangan "dambaan hati" yang memang bisa hilang tentulah dapat menimbulkan nestapa. Allah-lah tempat bergantung segala sesuatu (112:2).

*Dilarang COPAS, Wajib Mengutip Tulisan ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun