"Mungkin rindu ka,"
Muka saya nggak memerah, nggak salah tingkah, seperti orang jatuh cinta lainnya. Tetapi yang dirasa ialah kegelisahan. Pertanyaan paling mendasar, apa saya terlalu berharap pada perempuan itu, sehingga saya membawanya ke dalam mimpi, atau Tuhan yang mengantarnya ke mimpi saya?
Entahlah, saya takut. Bilamana saya telah terjatuh sejatuh -- jatuhnya dalam mencintanya. Tetapi saya nggak pernah lupa siapa diri saya ini dan siapa dirinya. Saya merasa ada kesenjangan status sosial diantara saya dengan dia, itu yang terus menghantui saya.
Nggak banyak yang dapat saya lakukan kecuali berdoa pada-Nya. Lalu berharap pada doa, yang saya sendiri nggak tahu, doa itu sampai atau malah nyangkut di awan. Karena saya tanya pada guru agama, siapa yang bisa menjamin doa itu sampai, guru agama saya malah bilang "hanya Tuhan yang mengetahui", terus saya harus tanya Tuhan supaya mengetahui? Caranya gimana ya? bingung jadinya saya.
Nggak banyak usaha yang saya lakukan selain berdoa. Nggak sanggup mulut ini mengatakan saya inginkan dia untuk menjadi teman hidup saya. Nggak sanggup, berucap "jadilah tempat pertama dan terakhir saya dalam bercerita".
Sambungan
Menyambung percakapan dengan teman saya tadi, mungkin betul kali ya, saya sedang merindunya. Mungkin karena saya nggak pernah ketemu lagi sudah berbulan -- bulan, bisa jadi karena kita beda jurusan di kampus.
Terakhir kali bertegur sapa, pada saat ia sedang duduk depan perpustakaan sambil mengkoreksi lembar soal muridnya, ia seorang guru di yayasan yatim disamping kegiatan kuliahnya. Itu juga yang membuat saya kagum dengannya.
Padahal saya sudah pura -- pura tidak melihatnya, tiba -- tiba ia menyapa dengan penuh keceriaan,
"Arka, sombong banget", teriaknya
Saya kaget, ia menyapa seolah nggak ada yang aneh. Ya, walaupun pada kenyataannya memang nggak ada kalau bagi dia. Tapi, sumpah badan saya gemetar. Saya menghampirinya dan sedikit bicara padanya, omongan saya juga nggak seperti biasanya, saya grogi, nggak lancar, patah -- patah.