Mohon tunggu...
Dedi Chan
Dedi Chan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

"Pekerja Rumah Tangga", Bukan “Asisten Rumah Tangga” atau “Pembantu”

23 Agustus 2016   22:36 Diperbarui: 16 Februari 2019   02:51 11417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

“Makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu kata, jadi makna dengan bendanya sangat bertautan dan saling menyatu. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, peristiwa atau keadaan tertentu maka kita tidak bisa memperoleh makna dari kata itu.” (Tjiptadi, 1984:19).

Kata-kata yang berasal dari dasar yang sama sering menjadi sumber kesulitan atau kesalahan berbahasa, maka pilihan dan penggunaannya harus sesuai dengan makna yang terkandung dalam sebuah kata agar bahasa yang dipergunakan mudah dipahami, dimengerti, dan tidak salah penafsirannya, dari segi makna yang dapat menumbuhkan reaksi dalam pikiran pembaca atau pendengar karena rangsangan aspek bentuk kata tertentu.

Seringkali kita menggunakan kata-kata dalam bahasa yang aneh didengar tapi memiliki makna yang cukup luas bahkan bermakna sempit. Di dalam media-media sosial, media publik dan media entertaiment sering sekali kita mendengar celotehan-celotehan yang tidak disadari namun memiliki makna yang mengandung arti luas bahkan bermakna yang sempit.

Contoh saja seorang host di salah satu siaran televisi sering terkadang menyebutkan kata “pembantu” atau “asisten rumah tangga (ART)” yang secara bahasa dianggap memiliki makna yang sama, dan seolah-olah bermakna luas mengandung arti “pekerja rendahan” yang mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh siapa pun atau menjadi bermakna sempit mengandung arti “budak”, dan menjadi bahasa yang biasa dipakai untuk meremehkan seseorang atau merendahkan seseorang.

Betapa pentingnya sebuah kata-kata dalam kehidupan kita sehari-hari dalam menyampaikan sebuah pesan yang mengandung makna, namun kini telah banyak perubahan yang terjadi akibat pergeseran budaya dan tradisi masyarakat tentang sebuah kata dan bahasa yang bahkan bahasa menjadi nilai hukum dan politik.

Bahasa hukum sangat dekat dengan bahasa politik. Ekspresi ini dapat dicermati dari terminologi yang dipilih dan dipakai dalam peraturan perundang-undangan dan/atau nomenklatur untuk suatu institusi resmi negara. Contoh menarik dapat disimak dari kata buruh, pekerja, pegawai, dan karyawan.

Pada tahun-tahun pertama Indonesia merdeka, istilah "buruh" digunakan secara luas. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin Idan II (Juni 1947-Januari 1948), S.K. Trimurti diangkat sebagai menteri perburuhan. Jadi, istilah ‘buruh’ pada masa itu adalah istilah yang sangat terhormat karena digunakan sebagai label jabatan. Sejak Orde Baru, tidak ada portofolio yang bernama ‘menteri perburuhan’ karena Pak Harto tampaknya lebih menyukai istilah ‘tenaga kerja’. Masuk akal juga pemakaian terma ini Tenaga kerja adalah terjemahan dari kata manpower yang menggambarkan semua orang yang mempunyai kemampuan untuk bekerja, terlepas kenyataannya yang bersangkutan sudah atau belum bekerja. 

Jadi Departemen (sekarang ‘Kementerian’) Tenaga Kerja mengurusi orang-orang yang memasuki usia produktif untuk bekerja, tidak hanya mereka yang sudah bekerja. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Bandingkan dengan kata pekerja/buruh yang dicantumkan dalam Pasal 1 butir 3 yang mendefinsikannya sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Walaupun kata buruh masih digunakan di dalam perundang-undangan, terminologi buruh secara konotatif dipandang sudah mengalami pergeseran makna dari yang semula berarti semua orang yang bekerja (pekerja) dengan menerima imbalan, kini menjadi lebih spesifik, yaitu para pekerja kelas rendahan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik daripada intelektual. 

Barangkali dengan pertimbangan eufemisme itulah sejumlah serikat buruh pada era Orde Baru mengganti nama diri mereka menjadi serikat pekerja, namun beberapa organisasi tetap tidak bergeming. Itulah sebabnya, dalam peraturan perundang-undangan kedua istilah tersebut, yakni serikat pekerja/serikat buruh, dipakai secara bersamaan.

Sebaiknya kita jangan buru-buru mengalamatkan tendensi eufemisme sebagai gaya berbahasa hukum rezim Orde Baru semata. Di luar istilah pekerja/buruh, dikenal pula kata pegawai, karyawan, pembantu bahkan asisten. Istilah pegawai berarti orang yang memiliki gawe. Kata karyawan pun sebenarnya sama, yaitu orang yang memiliki karya atau kerja. Kata pegawai dan karyawan lebih banyak digunakan di perusahaan negara atau swasta yang ingin menghindarkan pemakaian kata pekerja atau buruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun