Sepeninggal Sultan Mahmudyah, Kerajaan Johor diperintah sultan baru Datuk Bendahara Tun Habib bergelar Sultan Abdul Jalil Riayatsyah.
Akan halnya daerah Siak, masuk dalam teritorial Kerajaan Johor. Namun selama 100 tahun wilayah itu tidak memiliki pemimpin, hanya berada dalam pengawasan kesyahbandaran yang bertugas mengutip pajak dan cukai dari rakyat. Kata “Siak” berasal dari nama sejenis tumbuhan yang banyak di daerah itu, yakni siak-siak
Akan halnya Raja Kecik, setelah dewasa pada 1717 berhasil merebut tahta Kerajaan Johor. Namun, pada 1727, tampuk kekuasaan Raja Kecik justru berusaha dikudeta iparnya sendiri Tengku Sulaiman, anak dari Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Tengku Sulaiman, dalam upaya kudeta itu dibantu para bangsawan Bugis. Akibatnya Raja Kecik terpaksa mengundurkan diri dari pusat kekuasaan Kerajaan Johor.
Dalam beberapa kali pertempuran, terjadi pertumpahan darah yang besar. Kedua belah pihak kemudian, melakukan gencatan senjata dan mundur ke wilayah yang dikuasai. Tengku Sulaiman tetap berada di Johor, sedangkan Raja Kecik mundur ke Pulau Bintan. Kemudian, menyusuri sungai Siak dan mendirikan kerajaan di pinggiran sungai Buantan (anak sungai Siak). Dari situlah awal berdirinya Kerajaan Siak.
Sejak berada di tepian sungai Buantan, pusat kerajaan Raja Kecik selalu berpindah-pindah. Dari Buantan berpindah ke Mempura, lalu ke Senapelan Pekan Baru, Kemudian kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864), pusat Kerajaan Siak berpindah ke Siak Sri Indrapura dan menetap di sana hingga melebur ke dalam NKRI pada 1946.
Kerajaan Siak bertahan selama 223 tahun (1723-1946) dengan sultan yang memerintah sebanyak 12 orang. Mereka adalah, Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah I (1725-1746), Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah II (1746-1765), Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766), Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780), Sultan Mhd. Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1880-1782), Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784).
Kemudian, Sultan Assyaidis Asyarif Ali Abdul JalilSyaifuddin Baalawi (1784-1810),Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815), Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854), Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Kasim I) (1884-1889), Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908) dan Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif kasim II) (1908-1946).
Sebagai catatan, Kerajaan Siak mencapai masa kegemilangannya di masa Sultan Assyaidis Assyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi. Di masa pemerintahan sultan itu, kekuasaan Siak mencapai 12 wilayah jajahan, meliputi Temiang, Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kota Pinang, Pagarawan, Batubara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, bahkan hingga ke Sambas Kalimantan.Selain itu, kekuasaan di Riau meliputi, Pelalawan, Kubu, Bangka dan Tanah Putih. Itu sebabnya, reputasi Kesultanan Siak telah mewarnai berbagai proses kesejarahan berbagai Kerajaan Melayu di Sumatera Bagian Timur.
Dalam catatan Kerajaan Padang yang berpusat di Kota Tebingtinggi, pendiri kota itu, yakni Datuk Bandar Kajum, merupakan seorang laksamana angkatan laut Kerajaan Siak untuk wilayah Bedagai.
Pasca Sultan Assyaidis Assyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi memerintah, kekuasaan Kerajaan Siak mulai menyusut. Selain terjadinya berbagai intrik di lingkungan istana, faktor terbesar adalah kehadiran Inggris dan Belanda di perairan Malaka. Dalam salah satu perjanjian antara Kerajaan Siak dan Belanda, seluruh jajahan Siak diserahkan kepada Belanda. Sehingga teritorial Siak hanya sebatas nama yang disandangnya. Wilayah hasil perjanjian dengan Belanda itulah yang kemudian melebur dengan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H