Mohon tunggu...
Dedi Hamid
Dedi Hamid Mohon Tunggu... Driver -

berjuang hidup demi masa depan keluarga yang bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siak Negeri Istana, Takkan Melayu Hilang di Bumi

25 Juli 2013   21:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga kini, wajah pasar itu masih menyisakan cerita masa lalu. Bangunan-bangunan papan berlantai dua, terjaga dengan baik, karena dipelihara penghuninya yang juga keturunan Tionghoa. Pasar tua Siak, berada di bantaran sungai Siak dan berdekatan dengan dok (pelabuhan sungai). Para pedagang juga menggerai usahanya secara tertib. Tak terlihat kesemrawutan di pasar tua Siak itu. Sedangkan jalannya terlihat bersih dan rapi. Sulit menemukan sampah berserakan di jalanan. Kondisi pasar itu lah yang jadi pengingat, adanya hubungan kembar Kota Siak dengan Negeri Malaka di Malaysia.

Lebih ke ujung, terdapat gereja tua, namun kini pengelolaannya diambil oleh HKBP. Dari data yang terpampang di plang gereja, izin pendirian gereja itu bertarikh 1936. Bagian atap gereja terlihat sudah direnovasi, tapi bagian bawahnya, arsitektur klasik sebagai pertanda bangunan itu sudah berusia lama, masih terlihat.
Keberadaan gereja itu, menunjukkan adanya pemeluk Kristiani di Kerajaan Siak. Diperkirakan, pedagang Eropah maupun Belanda punya hubungan baik dengan kerajaan Melayu itu, hingga diijinkan membangun gerejaa. Misalnya, saat pembangunan istana sultan, dikabarkan dirancang dan dikerjakan oleh arsitek dan insinyur Eropah. Bahkan, Sultan Syarif Kassim I mendapat undangan penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 1889 sebagai salah satu bukti hubungan erat itu. Di istana juga terdapat patung Ratu Wilhelmina setengah badan yang dibuat sultan, sebagai tanda kekagumannya atas ratu kerajaan penjajah itu.

Puas mengitari sisi Timur Kota Siak, setelah rehat sejenak, Aku melacak sebelah Barat kota tua itu. Yang pertama kutemukan adalah Masjid Sultan Siak atau Masjid Syahabuddin. Disamping masjid tua itu, terdapat makam Sultan Syarif Kasim II sultan terakhir Kerajaan Siak. Di masa Presiden BJ Habibie, sultan itu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, karena pengabdian yang besar pada perjuangan Kemerdekaan RI. Sultan, kabarnya menghibahkan kekayaannya mencapai Rp13 juta Golden serta istana dan negerinya, demi perjuangan kemerdekaan. Makam Sultan Syarif Kassim II berada di sebelah masjid. Jirat makam sultan berbentuk 4 undak dari tegel dan marmer berukuran panjang 305 Cm, lebar 153 Cm dan tinggi 110 Cm.

Masjid Syahabuddin sendiri, berdiri pada 1926 oleh Sultan Syarif Kassim I ayah dari sultan terakhir Kerajaan Siak itu, kemudian selesai pada 1935. Dana pembangunan berasal dari kas kerajaan dan sumbangan masyarakat Siak, kala itu. Posisinya persis berada di bantaran sungai Siak. Luasnya mencapai 21,6x18,5 meter. Telah mengalami tiga kali renovasi tanpa menghilangkan keasliannya, yakni pada 1935, 1956 dan 2003. Nama Syahabuddin diambil dari kata Syahad, satu suku di Arabia asal dari sultan Kerajaan Siak, berawal dari sultan ke 2 Sultan Muhammad Ali. Arsitektur bangunan ini perpaduan antara Timur Tengah dan Eropah.

Asik dengan berbagai situs budaya Kerajaan Melayu Siak Sri Indrapura, tak terasa matahari mulai meninggi. Besar keinginan untuk terus melacak peninggalan keagungan kerajaan itu. Namun, waktu tak memberi peluang melakukannya. Aku pun mengaso di sebuah lokasi yang kusebut “Taman Tepian Sungai Siak.” Taman itu, berada di bantaran sungai Siak dengan Jalan Indragiri.

Jalan ini, merupakan areal jajanan kota yang telah ditata sedemikian rupa oleh Pemkab setempat. Lebar taman antara tepian sungai dan pinggir jalan, sekira 10 meter, tapi panjangnya mencapai 1.000 meter. Pada tepian sungai dibuat beronjong berfungsi sebagai jalan (speksi) dilengkapi pagar pengaman. Sedangkan rumah-rumah warga yang berjualan di pinggir Jalan Indragiri, depan rumah mereka menghadap jalan dan sungai. Penataan bantaran sungai terkesan sederhana, tapi bagi siapa saja yang datang ke sana, pasti akan terpesona. Bagi para pengambil kebijakan yang ingin memanfaatkan sungai sebagai lokasi wisata, tak salah kiranya melihat penataan taman tepian sungai Siak itu.

Sebagai penutup, jangan lupakan pula mengunjungi sejumlah bangunan modern yang dibangun Pemkab Siak, melengkapi kemegahan kota itu. Ada jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah (istri Sultan Syarif Kassim II), Masjid Raya Siak, kantor Bupati Siak dan Gedung DPRD Siak, Balai Karapatan Adat Melayu. Sedang dibangun pula GOR Siak serta beberapa fasilitas publik bercirikan ornamen Melayu. Bangun itu semua masuk kategori megah dan berbiaya miliyaran rupiah. Tak salah, jika Kab. Siak menyebut dirinya sebagai ‘Negeri Istana.’

Jembatan Ratu Agung Sultanah Latifah di atas sungai Siak, misalnya memiliki panjang 1.196 meter, lebar 16.95 meter dengan dua trotoar masing-masing 2,25 meter. Ketinggian 23 meter di atas permukaan sungai dengan lebar sungai Siak sekira 300 meter. Jembatan ditopang dua menara di sisi kedua tepi jembatan setinggi 80 meter. Pada puncak menara dirancang restoran yang dinaiki dengan lift untuk menerima wisatawan yang bakal menikmati kelokan sungai Siak bak ular. Kabarnya jembatan itu dibangun teknisi ITB Bandung dengan biaya Rp27 milyar, murni berasal dari APBD Kab. Siak. Diresmikan Presiden SBY bersama Gubernur Riau H. Rsuli Zainal dan Bupati Siak Arwin AS pada 2002. Jembatan itu dirancang sebagai ikon pariwisata Riau.

Yang lain adalah Masjid Raya Siak. Keluar dari jembatan penyeberangan memasuki inti kota, mata pun akan disambut kehadiran Masjid sangat megah itu. Masjid dengan lima kubah dan satu menara itu, diperkirakan bisa menampung 1.000 jemaah sholat. Terdiri dari ruang utama dan beranda, berhias ornamen dan ukiran Arab dan Melayu. Dilengkapi dengan perpustakaan, area parkir dan taman masjid. Yang jelas, masjid itu merupakan isyarat kemakmuran warga dari pendapatan asli daerah berasal dari minyak bumi dan minyak nabati (sawit) itu. Abdul Khalik

Sejarah Singkat Kerajaan Siak

Kerajaan Siak diperkirakan berdiri pada 1723 M oleh Raja Kecik bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah, putra dari Raja Johor Sultan Mahmudsyah dengan istri Encik Pong. Semasa Raja Kecik masih dalam kandungan, terjadi perebutan tahta di Kerajaan Johor, sekira 1699. Raja Johor Sultan Mahmudsyah tewas dibunuh Megat Sri Rama. Permaisuri Encik Pong yang lagi hamil tua, melarikan diri ke Singapura, kemudian menyeberang Ke Jambi. Dalam pelarian itulah Encik Pong melahirkan Raja Kecik. Belakangan Raja Kecik dipelihara oleh keluarga Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun