Mohon tunggu...
Dedi Hamid
Dedi Hamid Mohon Tunggu... Driver -

berjuang hidup demi masa depan keluarga yang bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siak Negeri Istana, Takkan Melayu Hilang di Bumi

25 Juli 2013   21:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabupaten Siak, Provinsi Riau, kamis (25/7) merupakan yang kedua kalinya, setelah dua tahun sebelumnya Aku menyempatkan diri ke sana. Entah kenapa, negeri di pinggiran sungai Siak itu begitu menggoda untuk kembali di datangi, Siak Sri Indrapura itu kuanggap sebagai negeri khayalan. Nama negeri itu pertama kali kudengar dari sandiwara di radio Malaysia yang siarannya terpantau di Tebingtinggi setiap pukul 15.00. Namun, nyatanya negeri itu memang ada.

Negeri Istana (gelar kota) itu, mengingatkan aku pada satu kota lain di Malaysia, yakni Negeri Malaka. Dari pengalamanku, kedua kota itu layak disebut sebagai kota kembar, karena tata kotanya sangat mirip. Bedanya, Siak berada dipinggiran sungai, sedangkan Malaka berada di tepian pantai.

Bagi penikmat sejarah, khususnya Melayu, kurang lengkapnya rasanya bila tidak menjejakkan kaki di negeri ini. Sejarahnya yang panjang, telah meninggalkan warisan peradaban Melayu yang mengagumkan dan pantas dibanggakan. Hingga kini, keagungan itu masih terasa, melalui berbagai situs budaya yang terpelihara dengan baik. Tak salah rasanya, jika ungkapan “Takkan Melayu Hilang Di Bumi” dilekatkan pada kota itu. Warisan budaya itu, dilengkapi pula dengan sejumlah bangunan modern yang belakangan dipacu pembangunannya oleh pemerintah daerah setempat. Tak pelak, kota itu menjadi salah satu lokasi wisata sejarah yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Dari Pekan Baru, Siak hanya berjarak sekira dua jam ke arah Timur. Aku mengunjungi negeri itu bertolak dari Pangkalan Kerinci, ibu kota Kab. Pelalawan. Dari kota yang dibangun PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP) itu, dengan mengambil jalan pintas, jaraknya kurang lebih sama. Lintasannya juga mulus, meski pada beberapa ruas jalan ada kerusakan, tapi tidak terlalu mengganggu kenyamanan berkenderaan.

Berbekal pengalaman sebelumnya, Aku langsung berburu ke berbagai lokasi situs budaya peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura itu. Dari bilboard yang terpampang di taman kota, di kabupaten itu terdapat 17 situs budaya yang bisa dikunjungi, sekaligus mendapatkan data tentang keberadaannya. Situs budaya itu, yakni Masjid Sultan Siak, Makam Sultan Syarif Kasim II (Pahlawan Nasional), Balai Karapatan Tinggi, Makam Syekh Abdurrahman, Jembatan Agung Sulthanah Latifah.

Kemudian, Makam Raja Kecik (Pendiri Kerajaan Siak), Kolam Hijau, Danau Naga Sakti, Monumen Pompa Angguk, Danau Zamrud, Makam Marhum Mempura, Tangsi Belanda, Klenteng Tua, Makam Koto Tinggi, Istana Sultan Siak (Asserayah Hasyimiyah), Kapal Kato dan Gereja Tua. Situs budaya itu berserak di berbagai wilayah Kab. Siak. Namun sebagian besar ada di Kota Siak.

Istana Sultan Siak dengan sebutan Istana Asserayah Hasyimyah (Matahari Timur), lokasi yang pertama kusambangi. Komplek istana berada di areal seluas 32.000 meter, sedangkan istana memiliki luas 1.000 meter. Istana menghadap langsung ke sungai Siak, berjarak sekira 200 meter dari tepian. Bangunan itu didirikan pada 1889 oleh Sultan Assyaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810).

Istana itu terdiri dari dua lantai. Di lantai dasar, terdapat beberapa ruangan, yakni ruang kebesaran, ruang rapat, ruang makan, ruang tamu dan ruang istirahat. Sedangkan dilantai atas, terdapat peraduan sultan dan istri serta ruangan keluarganya. Di luar istana, ada juga kediaman para petugas istana. Dalam beberapa tahun ini, Pemkab Siak juga membangun sebuah istana di belakangnya dengan arsitektur Istana Siak sebelumnya.

Di lantai dasar tersimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan. Beberapa peninggalan yang sempat teramati, yakni meriam kerajaan, sejumlah perjanjian antara sultan dengan beberapa kerajaan luar, silsilah raja-raja Siak. Kemudian foto-foto masa lalu terkait aktifitas kerajaan. Benda-benda peninggalan istana, mulai dari guci (buatan China) hingga piala ucapan selamat rakyat kepada sultan serta berbagai bentuk senjata tombak, keris dan pistol yang digunakan dalam berbagai peperangan. Sebelum memasuki istana, Aku menyempatkan melihat Kapal Kato (kapal api) yang tertambat di halaman samping istana sebagai kenderaan resmi sultan berpergian.

Selanjutnya dengan berjalan kaki sekira 50 meter arah Timur dari Istana, Aku memasuki komplek pemakaman Koto Tinggi. Di pemakaman keluarga kerajaan itu, sebagian besar bisa dilihat makam para sultan. Di antaranya makam Sultan Syarif Hasyim dan keluarga. Komplek itu terdiri dari satu bangunan yang diisi makam para sultan, sedangkan di luarnya ada makam keluarga kerajaan. Luasnya, 15 x 15 meter dengan perkiraan sekira 20 makam.

Berjalan kaki lagi ke arah Timur, Aku bertemu klenteng tua. Diperkirakan, klenteng itu berusia ratusan tahun. Karena dari data yang ada di istana, salah satu etnis yang berdiam di Kerajaan Siak, adalah etnis Tionghoa. Warga Tionghoa kala itu, menjadi salah satu tulang punggung kejayaan ekonomi Kerajaan Siak. Terdapat beberapa piala ucapan selamat kepada sultan dari taipan (pengusaha besar) warga Tionghoa, saat ulang tahun kerajaan maupun sultan, tersimpan di istana. Kebanyakan etnis Tionghoa di kerajaan itu berprofesi pedagang. Klenteng itu, berlokasi di pusat pasar tua Kota Siak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun