Mohon tunggu...
Dedi E Kusmayadi
Dedi E Kusmayadi Mohon Tunggu... -

Kontributor Media, Permerhati Lingkungan Perkotaan dan Sosial\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menepis PKS dan HTI Wahabi

22 Juli 2013   04:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:13 2819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

uka komunikasi dengan berbagai kalangan termasuk Syiah. Sehingga bila hanya melihat dari sisi ini IM terlihat condong ke Syiah, namun bila dilihat dari sisi yang lain justru IM telah mempunyai banyak andil dalam membendung pengaruh Syiah di dunia Islam.

Bisa saja realitas yang terjadi di lapangan, di satu sisi ada unsur PKS yang terlibat konflik dengan NU terkait ketidaksukaannya dengan tahlilan atau yasinan tapi di sisi lain ada unsur PKS yang menjadi pemimpin tahlilan atau memiliki jamaah yasin. Demikianlah ketika pondasi awal IM yang tidak fanatik madzhab berinteraksi dengan ruang dan waktu yang begitu luas, berinteraksi dengan kondisi dan individu yang beragam. Namun demikian tentu saja pada sisi-sisi PKS yang dekat dengan Salafi/Wahabi lebih toleran dengan NU, demikian pula pada sisi-sisi PKS yang dekat dengan NU lebih toleran terhadap salafy. Hal demikian juga terjadi di NU, ketika seorang pengurus NU memimpin upacara pemberangkatan jenazah menyuruh melakukan brobosan, di tempat lain ada Kyai NU melarang brobosan. PKS di Lampung atau Kaltim tentu coraknya berbeda dengan PKS Semarang, bagaimanapun juga perkembangannya tersusun oleh individu-individu dengan latar belakang masing-masing, dengan pengaruh afiliasi masa lalu masing-masing kader, bisa dari NU, Muhammadiyah, PERSIS, atau murni didikan Tarbiyah. Bisa dilihat selama ini banyak petinggi PKS yang berasal dari kultur NU dan tetap berhubungan baik dengan komunitasnya. Bisa saja dalam suatu komunitas, seorang kader PKS tumbuh dengan sikap konfrontatif dengan NU, mengkritik dan membid’ahkan amaliyah khas NU, dan dalam komunitas lain kader PKS tumbuh tanpa kehilangan identitas ke-NU-annya. Maka sebaiknya dalam menilai suatu jamaah dilakukan secara utuh, tidak parsial. Apalagi seperti PKS/IM ini telah memiliki sejarah yang panjang.

Disamping itu dinamika akan terus terjadi, PKS, NU, atau yang lain akan terus mengalami perubahan. Juga harus diakui faktor keterlibatan dalam politik praktis membuat corak yang lebih longgar, agar mendapat dukungan lebih atau setidaknya mengurangi resistensi. Tentu juga dengan konsekwensi, misalnya ketika PKS mendekat ke NU atau nasionalis, membuat unsur Salafy di PKS menjauh, memandang PKS lebih banyak melanggar rambu-rambu syar’i,  semakin banyak penyimpangan manhajnya.

Sehingga kita memiliki keberanian dan harga diri terhadap NU. Kita bisa menagih komitmen NU terhadap toleransi, pluralitas dan kebhinekaan. Jika NU begitu intens mengangkat isu anti radikalisme, fanatisme, ekstrimisme, semestinya bisa menerima keberadaan kita meskipun terdapat perbedaan dan corak masing-masing. PKS bukanlah NU dan tidak bisa dipaksa untuk sama persis dengan NU, sebagaimana dalam NU sendiri juga terdapat beragam corak. Islam dan Ahlussunah Waljamaah tidak sesempit masalah qunut, rekaat tarawih atau adzan Jumat, dimana sejak generasi awal umat ini atau dalam bingkai madzhab empat, perbedaan-perbedaan sudah biasa terjadi. Atau yang lebih sempit lagi mengukur Aswaja dengan masalah jenggot, celana congkrang atau jidat hitam, dimana hal semacam itu sebenarnya bukan barang luar bagi NU. Sehingga jika di satu sisi PKS dituduh Wahabi, di sisi lain IM / PKS justru dituduh sebagai ahli bid’ah, penyembah kubur, dengan mengungkap sisi-sisi kedekatan IM dengan kalangan Sufi dan Asyariyah.

Jika PKS dianggap satu-satunya partai yang mengancam keberadaan faham Aswaja maka patut dipertanyakan obyektifitas sikap NU ini. Bukankah pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh atau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga ada dalam partai-partai lain seperti PPP (secara resmi melalui unsur MI dan SI), PAN, PBB, bahkan partai-partai nasionalis seperti Partai Golkar, dll. Wajar saja karena di dunia modern ini memang segala sesuatu bisa saling berkaitan. Ketika NU membuat opini PKS adalah musuh Aswaja sedang Muhammadiyah adalah sama dengan NU sebagai pengusung faham moderat, maka patut juga dipertanyakan obyektifitas sikap NU ini. Apakah NU melupakan begitu saja konflik dengan kaum pembaharu sejak masa Komite Hijaz, era Masyumi, konflik NU-MI di PPP, hingga konflik pada masa Presiden Gus Dur.

Jika yang diserang habis-habisan oleh kalangan NU adalah komunitas seperti Salafy atau MTA yang secara frontal dan vulgar menyerang amaliyah khas NU, lebih bisa dimaklumi meskipun dengan jargon moderat, toleran dan rahmatan lil alamin yang diusung NU, menjadikannya kurang layak melakukan hal yang vulgar dan frontal serupa. Tapi ketika PKS, HTI, atau Jamaah Tabligh menyambangi NU dengan cukup hormat, berupaya menjalin persahabatan, tetapi diterima NU dengan garang dan penuh curiga. Tentunya dengan visi moderat, toleran dan rahmatan lil alamin yang diusung NU, kita berharap kedatangan ini disambut dengan ramah dan tangan terbuka, sekalipun terdapat perbedaan-perbedaan. Memang tidak bisa dipungkiri ada letupan-letupan kecil di akar rumput, namun hendaknya direspon secara dewasa. Jamaah-jamaah ini adalah kumpulan manusia yang bisa khilaf dan berbuat salah, saling mengkoreksi dan mengingatkan adalah sesuatu yang baik dan semestinya direspon secara positif, agar tidak menjadi perang urat syaraf yang liar dan kehilangan obyektifitas, yang sangat menguras energi ketika umat ini bertikai sendiri.

Demikianlah sejarah panjang umat ini dipenuhi dengan konflik internal, yang semestinya menjadi keprihatinan kita semua. Ukhuwah yang begitu kita dambakan namun begitu sulit kita wujudkan. Baru ketika menghadapi musuh atau persoalan yang genting, umat ini bisa lebih bahu membahu. Ketika perang kemerdekaan atau menghadapi G30S/PKI umat Islam lebih rukun, namun ketika badai berlalu, sulit mempertahankannya. Sebagai bahan koreksi dan introspeksi untuk kita semua, mengapa ketika orang NU menduduki posisi Menteri, Gubernur atau Bupati, orang Muhammadiyah lebih gerah, begitu juga sebaliknya ketika posisi tersebut diduduki orang Muhammadiyah, orang NU yang lebih gerah. Tetapi ketika yang menduduki posisi tersebut dari kalangan nasionalis, malah orang NU atau Muhammadiyah bisa lebih nyaman. Juga ketika partai-partai nasionalis naik daun, kalangan partai Islam malah tidak terlalu gerah.

Ketika tidak ada satu pun lembaga yang mempunyai otoritas menghimpun umat ini dalam satu kesatuan, sementara melakukan gerak sendiri-sendiri sangat tidak memadai, maka solusi untuk menjembatani kedua hal tersebut yang sementara ini bisa dilakukan adalah terbentuknya jamaah, organisasi, persyarikatan, yayasan dsb dalam tubuh umat dalam beragam bentuk dan coraknya. Di satu sisi keberadaannya memiliki peran masing-masing untuk memecahkan persoalan umat, tapi di sisi lain adalah timbulnya berbagai friksi dalam tubuh umat ini.

Mengenai ukhuwah diantara umat ini, tentunya kita semua begitu mendambakannya. Akan tetapi ketika di satu sisi ada wacana untuk mengesampingkan segala perbedaan diantara sesama umat agar umat ini lebih rukun menghadapi persoalan eksternal yang sangat pelik, di sisi lain juga muncul wacana bahwa tidak mungkin persatuan terwujud, terwujud pun tidak ada gunanya manakala persatuan tersebut didirikan di atas penyimpangan yang ada dalam tubuh umat. Sehingga sejauh ini antara menjaga kemurnian agama dengan mewujudkan ukhuwah, masih sulit diwujudkan. Ketika umat ini semakin jauh menempuh rentang generasi, ruang dan waktu, makin banyak persoalan-persoalan baru bermunculan, sementara persoalan sebelumnya begitu banyak yang belum terselesaikan.

Dalam urusan dunia kita, hal-hal baru selalu diikuti persoalan yang mengikutinya. Misalnya saja seperti adanya mesin tenun, Busway dan sebagainya, pada awalnya selalu diikuti gejolak. Tentunya kita sepakat agar gejolak yang menjadi efek sampingnya diminimalisir sehingga manfaatnya berguna bagi kehidupan kita. Dalam urusan agama kita persoalan baru yang timbul juga akan diikuti pro kontra dan gejolak serupa. Sebagai contoh dalam sebuah masjid dalam komunitas Nahdhiyin ada yang mewacanakan melaksanakan shalat sunat qabliyah Jumat secara berjamaah, sebagian jamaah merespon positif wacana tersebut, sedang sebagian jamaah lainnya tidak menyetujui wacana tersebut. Contoh ini baru satu perkara yang bisa menimbulkan pro kontra dalam tubuh umat. Jika ada ribuan perkara baru yang timbul dalam tubuh umat ini, tentunya akan diikuti ribuan pro kontra yang berujung pada semakin banyaknya friksi dalam umat ini. Di antara friksi yang luar biasa dialami umat pada generasi ini, ada baiknya kita menengok kembali diantara pesan terakhir Rasulullah SAW bahwa dalam umat ini akan terjadi perselisihan yang banyak, maka hendaknya kita berpegang pada sunah Beliau dan para Khulafaur Rasyidin, serta untuk menjauhi perkara baru. Pesan tersebut menjadi rambu-rambu bagi kita agar tidak menambah beban umat ini dengan persoalan baru yang tidak perlu, disamping merupakan upaya yang menjamin originalitas agama ini sampai akhir zaman, ketika tidak akan ada rasul yang diutus lagi, agama ini tidak akan mengalami penyelewengan yang total. (dediesmd - 2013)

13744418071584685611
13744418071584685611

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun