Dalam dunia pendidikan, kita sering melihat anak-anak yang rajin, patuh, dan berperilaku baik di sekolah. Namun, begitu keluar dari lingkungan sekolah, tiba-tiba mereka berubah: melanggar aturan, berbicara kasar, atau bahkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang diajarkan di sekolah.
Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan yang masih bertumpu pada reward and punishment.
Siswa dibiasakan berbuat baik karena ada insentif (hadiah), atau takut berbuat salah karena ada hukuman. Akibatnya, karakter yang terbentuk bukanlah kesadaran intrinsik, melainkan kepatuhan semu yang hanya muncul saat ada pengawasan.
Jika pendidikan masih seperti ini, kita tidak sedang membentuk karakter sejati---kita hanya sedang melatih anak untuk bermain peran sesuai situasi.
Bahaya Reward and Punishment: Karakter Instan yang Tidak Berakar
Konsep reward and punishment berasal dari teori behaviorisme yang dipelopori oleh B.F. Skinner. Ia menyatakan bahwa perilaku manusia dapat dikontrol melalui sistem stimulus-respons: jika seseorang diberi penghargaan atas suatu tindakan, mereka akan mengulanginya; jika diberi hukuman, mereka akan menghindarinya.
Sekilas, ini tampak masuk akal. Namun, penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa model ini tidak efektif dalam membentuk karakter jangka panjang.
Riset Alfie Kohn (1993) dalam buku Punished by Rewards menemukan bahwa penghargaan justru dapat menurunkan motivasi intrinsik seseorang.
Studi Deci & Ryan (1985) dalam Self-Determination Theory menyatakan bahwa individu yang hanya dimotivasi faktor eksternal (hadiah atau hukuman) cenderung kehilangan otonomi dan sulit mengambil keputusan moral yang benar.
Eksperimen Mark Lepper (1973) menunjukkan bahwa anak-anak yang awalnya suka menggambar akan kehilangan minat setelah diberi hadiah untuk menggambar.
Ini membuktikan bahwa ketika seseorang terbiasa hanya bertindak karena hadiah atau hukuman, mereka tidak lagi memiliki dorongan intrinsik untuk melakukan hal yang benar.
Dampaknya?