Pendahuluan
Kehidupan modern telah membawa manusia pada berbagai kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan akses tanpa batas terhadap informasi. Namun, di balik kemajuan ini, ada sebuah fenomena yang sering tidak disadari: pengaburan makna keber-Tuhanan dalam keseharian manusia. Dalam kajian spiritualitas kontemporer, fenomena ini dikenal sebagai "ateisme praktis". Bukan berarti seseorang secara terang-terangan menolak Tuhan, tetapi hidupnya dijalani tanpa melibatkan Tuhan, tanpa kesadaran akan kehadiran-Nya. Ateisme praktis mencerminkan gaya hidup yang meminggirkan spiritualitas, hanya fokus pada yang dapat dirasakan secara material dan rasional.
Konsep ini pernah dijelaskan dengan mendalam oleh Fahruddin Faiz, seorang ahli filsafat dari Yogyakarta yang sedang digandrungi anak-anak muda Indonesia, yang menggambarkan bahwa meskipun seseorang mengaku beriman, tidak jarang dia menjalani hidup seolah-olah Tuhan tidak hadir. Di era yang serba cepat ini, ateisme praktis menjadi tantangan besar bagi mereka yang ingin menjaga keseimbangan spiritual di tengah hiruk-pikuk modernitas. Artikel ini akan membahas fenomena ini, menggali akar masalahnya, dan menawarkan langkah-langkah praktis untuk mengembalikan Tuhan ke pusat kehidupan sehari-hari.
Ateisme Praktis: Hidup Seolah-olah Tuhan Tidak Ada
Ateisme praktis berbeda dengan ateisme teoritis. Jika ateisme teoritis secara eksplisit menolak keberadaan Tuhan, ateisme praktis lebih halus dan sering tidak disadari. Misalnya, seseorang yang sibuk mengejar karier, meraih harta, atau membangun popularitas, tetapi tidak melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan dan tindakannya, dapat disebut sebagai ateis praktis.
Ciri-ciri ateisme praktis mencakup:
- Mengutamakan materi di atas segalanya: Kehidupan hanya berputar pada pencapaian duniawi tanpa mempertimbangkan aspek spiritual.
- Formalitas dalam ibadah: Shalat dilakukan tanpa khusyuk, hanya sebatas rutinitas.
- Minim refleksi: Tidak ada ruang untuk introspeksi atau menghubungkan tindakan sehari-hari dengan kehendak Tuhan.
- Ketergantungan pada teknologi: Obsesi pada media sosial, hiburan digital, atau gadget sering kali mengalihkan perhatian dari nilai-nilai spiritual.
Mengapa Makna Keber-Tuhan-an Tersisih di Era Modern?
Fenomena ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:
- Dominasi Materialisme
Dunia modern menempatkan kesuksesan duniawi sebagai standar utama kebahagiaan. Banyak orang merasa puas hanya dengan capaian materi tanpa mempertanyakan apa makna di baliknya.
- Hedonisme dan Distraksi Teknologi
Gaya hidup hedonis didukung oleh kemajuan teknologi yang menawarkan kenyamanan instan. Misalnya, media sosial yang memberikan validasi diri melalui likes dan komentar, menggeser rasa syukur kepada Tuhan menjadi rasa puas terhadap pengakuan manusia.
- Minimnya Pendidikan Spiritual
Pendidikan formal sering kali lebih fokus pada pengetahuan akademik, sementara pendidikan spiritual sering dianggap sebagai tanggung jawab pribadi. Akibatnya, banyak orang dewasa yang tidak memahami pentingnya kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Menghadirkan Kembali Makna Keber-Tuhan-an dalam Kehidupan Sehari-hari