Rasa rasanya saya berani nekad mengatas namakan 31.385 pondok pesantren serta 4,29 juta santri di negeri ini untuk mengangkat dua jempol saya tinggi tinggi.
Rasanya layak dan niscaya para pimpinan ponpes dan santri menyampaikan apresiasi, hormat dan  takdim kepada Presiden Joko Widodo.
Setidaknya ada 3 momen dan peristiwa besar yang diluncurkan pemerintah Presiden Jokowi selama 6 tahun ini.
Pertama tahun 2015 dikeluarkan Keppres 22 Â tentang Hari Santri Nasional, kedua UU no 18 tahun 2019 tentang pesantren.
Yang terakhir Perpres 82 tahun 2021 tentang dana abadi pesantren.
Ketika tahun 2012 saya dan kawan kawan wartawan Kemenag mengadakan tour de pasantren, hal demikian itu disampaikan sebagai titipan aspirasi para kiyai dan santri.
Dengan penetapan HSN setidaknya mereka merasa ada pengakuan negara atas keberadaan lembaga pendidikan Islam yang hanya ada di Indonesia.
Pondok pesantren itu hanya ada di bumi Nusantara. Di Arab Saudi saja tempat lahir dan pusat peradaban Islam, Â lembaga itu tidak ada.Â
Beberapa tahun lalu Pakistan sempat datang melihat perkembangan Pontren di sini. Katanya mereka akan mencoba menerapkan sistem pendidikan Islam ala pesantren di Indonesia. Saya belum dengar kabar implementasi hasil studi banding mereka itu.
UU khusus tentang pesantren tentu merupakan penetrasi pengakuan negara terhadap kerja dan keberadaan kiyai, santri dan lembaga pondok pesantren.
Dan yang terakhir menyangkut dukungan dana bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Ini yang sungguh dinanti sebagaian besar pondok pesantren.
Pasal 4 Perpres itu menyebutkan sumber dana antara lain berasal dari Masyarakat, pemerintah Pusat, Provinsi, kabupaten/Kota, dana abadi pesantren. Implementasinya tentu masih harus kita tunggu.
Tetapi sebagian dari hal hal yang diharapkan masyarakat pesantren rasanya sudah diambang pintu. Tinggal tunggu waktu.
Makanya sebuah hal yang niscaya para pimpinan pondok serta seluruh santri taqdim kepada Presiden Jokowi.
Ini sebuah sikap yang logis, apalagi para kiyai yang kualitas hidupnya adalah tahu berterima kasih. Makanya saya berani mewakili acung jempol duo untuk pak Joko Widodo.
Ada yang berpendapat, yang dilakukan negara adalah suatu hal wajar. Sebenarnya negara ini berhutang banyak kepada kiyai dan santri.
Sejak berjuang untuk mencapai kemerdekaan kiyai dan santri berperan aktif. Perang Surabaya melawan tentara sekutu melibatkan puluhan ribu santri. Mereka datang dari berbagai pondok di Jawa Timur.Â
Bahkan ada 6 ribu santri dari Jawa Barat yang berangkat ke sana dipimpin Kiyai Amin Sepuh dari Buntet dan Kiyai Abas Jamil dari Babakan Ciwaringin.
Mungkin juga tidak banyak yang tahu bahwa yang menembak mati panglima tentara sekutu Brigjen Mallaby adalah seorang santri bernama Harun dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Kita mencatat beberapa orang kiyai yang berperang melawan penjajah. Sebut saja selain kiyai harismatik Hasyim Asy'ari, ada KH Ruhiat dari Singaparna, KH Rafe'i dari Rembang, KH Dimyati dari Sukamiskin, KH Zaenal Mustofa dari Sukamanah dan lain-lain.
Ada pengamat Islam yang berani berspekulasi bahwa jika tidak ada keterlibatan kiyai dan santri maka sangat mungkin kemerdekaan kita bukan terjadi tanggal 17 Agustus 1945.
Wallahu alam bishawab.
Tapi insyaallah sekarang budi sudah berbalas. Keseimbangan bukan urusan budi baik itu absurd, tak layak dihitung hitung. Tapi roso rumoso adalah ajaran Tuhan.
Makanya objektif,  bijak dan arif  sekali bila kita acung jempol duo buat pak Joko Widodo.- ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H