Tahun 2005 kita mengalami krisis Bahan Bakar Minyak. Harga minyak dunia meroket . Bertengger sampai hampir $130 Amrik perbarel. Padahal  APBN kita hanya mematok $.70.
Defisit anggaran menganga lebar. Apa daya ? Menaikan harga minyak terutama bensin bukan perkara gampang. Rakyat pasti ngamuk. Walaupun memang terpaksa juga dilakukan. Apa boleh buat.
Di tengah kekacauan dan kebingungan, muncul ide. Harus mulai melirik potensi alam non fosil. Â BBN fosil itu susah diprediksi. Kekayaan alam itu sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan lebih dari 200 tahun. Jadi cadangannya sudah menipis dan tidak bisa dibarukan.
Para akhli ekonomi dan pertanian sepakat untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati. Bahan bakar yang terbuat dari tanaman yang tersedia di nusantara ini disebut juga Bahan Bakar Terbarukan.
Mengandalkan terus kepada bahan bakar fosil bukan lagi jalan fikir terbaik. Hasil minyak fosil kita hanya tinggal  800 ribu barel per hari. Itu pun 40 persen harus diberikan sebagai profit sharing kepada kontraktor. Padahal kebutuhan kita 1.800 ribu barel.
Sementara itu di bumi pertiwi ini konon tersedia hampir 50 macam tanaman yang bisa diolah menjadi bahan bakar.
Sebut saja singkong, kacang tanah, kelapa sawit, jagung, jarak pagar, kapok, karet, kecipir, akar kepayang, kemiri cina, labu merah, wijen, randu agung, pepaya, pulasan, rambutan, rosela dan lain-lain.
Presiden SBY tertarik ide itu. Lalu dikeluarkanlah Inpres No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. Setelah itu Presiden juga membuat Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.
Untuk meratifikasi kedua sumber hukum itu, SBY juga mengeluarkan Kepres No. 10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional pengembangan bahan bakar nabati untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Tugas Timnas itu antara lain membuat blue print dan road map pengembangan BBN sebagai acuan operasional.
Tak lama bekerja, masih tahun 2006, Timnas sudah menyelesaikan tugas itu. Dalam hal jenis tanaman Timnas merekomendasikan 2 jenis tanaman yaitu  singkong dan jarak pagar. Pertimbangannya kedua jenis tanaman itu mudah ditanam. Singkong dan jarak pagar itu bisa tumbuh dimana saja. Dari mulai dataran rendah sampai tinggi. Bisa tumbuh di lahan miskin hara dan terlantar. Waktu itu diketahui ada 24 juta hektar lahan terlantar tersebar di beberapa provinsi yang bisa dimanfaatkan. Pertimbangan kedua, tanaman itu minim potensi saing dengan bahan konsumsi terutama jarak pagar.
Menindak lanjuti rekomendasi Timnas, presiden SBY kemudian menunjuk beberapa departemen dan BUMN sebagai lembaga pembina. Â Instruksi juga dikeluarkan untuk para gubernur yang memiliki lahan luas untuk tanaman itu.