Dalam beberapa hari terahir ini, saya menangkap ada kekecewaan mendalam, bahkan ada marah yang membuncah. Bagai gelombang tsunami yang berdebam keras membantai  pantai laut Cipatujah beberapa tahun lalu.
Mereka itu teman-taman saya, adik adik saya aktivis Presidium pembentukan Kabupaten Tasikmalaya Selatan (Tasela). Mereka kecewa, mereka marah, begitu pecah kabar Tasela tidak termasuk Daerah yang diusulkan Pemprop Jawa Barat sebagai calon Daerah Otonomi Baru (DOB) ke pemerintah pusat.
Menurut sohibul berita itu, justru malah kabupaten lain yang muncul baru-baru ini seperti Indramayu Timur dan Bogor Timur yang dicalonkan. Kedua daerah itu dulu waktu Tasela dan 4 Kabupaten lain di Jawa Barat mulai berjuang, Â belum ada disebut sebut. Sementara Tasela, Garut Selatan, Cianjur Selatan, Sukabumi Utara dan Bogor Barat sudah berjuang sejak tahun 2009. Saya tahu persis itu, sebab sebagai orang kidul saya pernah "ilubiung" berjuang bersama mereka, sebelum kemudian saya jeda karena sakit.
Saya ikut bersama mereka bertemu beberapa tokoh di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Asisten Sekda I Pemprop Jabar yang kebetulan berasal dari Tasela. Bahkan saya juga ikut ketemu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Gedung Pakuan. Di luar teman-temanm  saya sendiri sempat ketemu mantan wakil Gubernur Ukman Sutaryan , Mantan Bupati Pandeglang Suyaman, Mantan Bupati Lebak Endang Suwarna, Mantan Bupati Subang Abdul Wahyan, Ketua PD PGRI Jawa Barat  Dr. Edi Karmana dan beberapa tokoh pengusaha asal Tasela yang ada di Bandung. Mereka yang semuanya berasal dari sisi laut kidul itu menyatakan dukungan terhadap upaya memekarkan Kabupaten Tasikmalaya itu.
Upaya kami kemudian terjeda  oleh adanya kebijakan moratorium pembentukan DOB oleh pemerintah pusat.
Sampai akhirnya muncul kabar tentang diajukannya 5 calon DOB oleh Pemprov Jabar, tapi minus Tasela.
Kabar inilah yang memicu, para "budah laut" itu kecewa. Bahkan saya menangkap ada kemarahan spontan.  Saya tangkap itu dari chatingan daring diantara mereka. Ada yang menyebut tiba waktunya untuk menggunakan gerakan jalanan karena upaya intelektual sudah tidak nyambung lagi.  Ada yang mengajak pergi jalan kaki ke gedung Sate, kantornya Gubernur. Bahkan ada yang lucu, mengajak membawa sebakul ikan peda untuk dibakar di pinggir gedung Sate. Biar baunya menjadi magnit  yang menarik berahi gubernur agar melirik Tasela. Yang lain menuduh para anggota DPRD Jawa Barat selama ini hanya basa basi doang. Hanya penina boboan "wungkul".
Ada pula yang meminta agar Uu Ruzanul Ulum bertanggung jawab atas hal itu.  Kenapa demikian? Yang saya tahu pak Wagub  itu dulu sangat mendukung dibentuknya kabupaten Tasela. Waktu deklarasi presidium Tasela tahun 2009, Uu yang waktu itu sedang menjabat Ketua DPRD, hadir di Sindangkerta. Di bawah deburan ombak laut dan hujan deras, dia menyatakan dukungan. Kabarnya hal demikian juga dia nyatakan ketika sudah menjadi bupati Tasikmalaya. Janji itulah yang ingin dimintakan tanggung jawabnya. Menurut saya, Uu memang wajar bertanggung jawab, minimal secara moral, meski secara hukum mungkin tidak sampai demikian. Ia harus ingat janji. Sebagai pemimpin ia harus amanah dan aspiratif.
Saya pikir meski kekecewaan dan kemarahan para budah laut itu bersifat spontan dan terkesan emosional, tak boleh pula dinaikan begitu saja. Masyarakat selatan ini ingin mengurus wilayah sendiri. Mereka ingin pelayanan publik yang lebih baik.  Kata ahli komunikasi publik, publik servis seperti dimaksud UU 25 tahun 2015 tentang Pelayanan Publik,  itu harus mengusung paradigma  "cepat, tepat dan berkepastian".  Semboyanya 4 S, Senyum, Sapa, Siap, Selesai.
Selain  itu tujuan utama  masyarakat Tasela bukan separatisme. Bukan memisahkan diri kaya teman-teman di Papua tapi semata mata ingin adanya akselerasi pembangunan. Selama ini laju pembangunan terasa lambat seperti siput yang berjalan merayap rayap. Ada pula rasa iri melihat laju  lebih cepat yang terjadi di wilayah lain. Permainan kongkalikong juga terkadang nampak mencolok mata. Salah satunya yang sedang mereka plototi misalnya rencana pembangunan RSUD di Tasela. Ada kabar miring rencana itu akan dialihkan ke wilayah utara. Ini salah satu hal yang memicu kekecewaan dan buncah kemarahan urang kidul itu.
Dulu mereka juga pernah marah. Mereka berunjuk rasa ramai ramai menggeruduk kantor bupati Tatang Farhanul Hakim. Pasalnya Tatang merubah keputusan Bupati yang telah menetapkan memindahkan ibu kota Kabupaten ke Karangnunggal. Tiba-tiba bupati Tatang  merubahnya menjadi ke Singaparna. Dan itulah yang terjadi. Sekarang ibu kota Kabupaten sudah jreng,  mentereng di Singaparna.  Tak jauh dari lemburnya Tatang Farhabul Hakim.Â
Waktu digerudug massa dari selatan itu, bupati Tatang ngumpet entah di mana. Tapi memang  dia punya kuasa dana. Aspirasi rakyat sampai urat leher hampir putuspun  tidak dihiraunya. Dan ibu kota sekarang sudah berada di Singaparna. Dan ini yang menambah kesulitan orang selatan. Untuk urusan administrasi saja harus menempuh jarak 70 km. Sekitar 2 sampai 3 jam.  Ini pula yang membuat mereka berjuang mati matian untuk memisahkan diri. Mencoba mandiri dengan melaksanakan pemerintahan sendiri. Sekali lagi tujuannya semata pelayanan publik bisa lebih baik dan akselerasi pembangunan wilayah bisa meningkat. Hanya itu, tiada lain.
Meski memahami gejolak dan kekesalan adik dan teman saya di Tasela itu, sebagai orang yang lebih tua, saya ingin menasihatkan, sebaiknya masih dilakukan upaya-upaya intelektual proporsional dan rasional. Masih ada kesempatan. Kalau menurut kepatutan dan juga menurut gubernur RK, Jawa Barat ini layaknya memiliki 40 kabupaten/kota. Jadi peluang masih terbuka. Â Berjuanglah terus adik adikku. Wariskan sesuatu untuk anak cucu.- ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H