Mohon tunggu...
Dedi
Dedi Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Badminton

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dilema Perdagangan Karbon (Carbon Trade) dan Pemajakan Carbon (Carbon Tax) Terhadap Keberlangsungan Bumi

26 Mei 2024   11:09 Diperbarui: 26 Mei 2024   11:14 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kyoto, 1997

UNFCCC mengatur ketentuan stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dalam Protokol Kyoto. Protokol ini disahkan pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Periode komitmen pertama dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2012, di mana 38 negara-negara industri dan masyarakat Eropa dituntut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi di tahun 1990.

Pada periode komitmen kedua (2013-2020), target pengurangan emisi sebesar 18% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Meski Protokol Kyoto mampu menekan emisi di negara-negara terikat (27% dari emisi karbon global pada periode pertama, dan 15% pada periode kedua), namun emisi karbon global juga meningkat sebesar 2.6% di tahun 2012 atau sekitar 58% lebih tinggi dari tingkat emisi tahun 1990.

Paris, 2015

Bertindak dari Protokol Kyoto, sebanyak 195 pemerintah dari berbagai negara menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015. Perjanjian Paris sepenuhnya bersifat sukarela. Negara-negara tersebut berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F), serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F).

Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif pada 4 November 2016. Negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris diharuskan untuk menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs)–rencana pengurangan emisi dan strategi penerapannya setiap lima tahun sekali. Setiap NDC baru harus lebih ambisius dari rencana sebelumnya, terutama dalam peningkatan target emisi yang dikurangi.

Apa itu Pajak Karbon ?

Carbon Tax atau Pajak karbon didasarkan pada ide “Agar orang-orang mengurangi minat mereka akan ‘sesuatu’, mereka harus membayar atas ‘sesuatu’ tersebut”. Dalam hal ini, ‘sesuatu’ tersebut adalah “penggunaan bahan bakar fosil”. Secara harfiah, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada kandungan karbon bahan bakar fosil yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca, seperti metana dan karbon dioksida (Tax Foundation, 2020). Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong peralihan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (IMF, 2019).

Pajak karbon ada sebagai respon terhadap krisis iklim yang semakin memburuk sejak revolusi industri 1760. Memang, berbagai cara telah dilakukan umat manusia untuk mengurangi gas rumah kaca sebagai penyebab utama krisis iklim. Mulai dari penggunaan energi terbarukan, penggunaan teknologi carbon capture, hingga aksi-aksi untuk menyuarakan krisis iklim secara global. Namun, cara-cara popular tersebut dinilai belum cukup untuk untuk mencapai agenda net-zero emission sebelum ambang waktu kritis. Dibutuhkan solusi yang mampu menekan produksi gas rumah kaca seminimal mungkin sebelum ambang waktu kritis yang ditentukan, yaitu tahun 2030 (IPCC 2022). Nah, salah satu ide yang muncul adalah penggunaan pajak karbon ini.

Sejarah perkembangan Pajak Karbon

Pada tahun 1990, Finlandia mencatat sejarah sebagai pionir dalam penerapan pajak karbon di tingkat global. Sejak saat itu, 20 negara di Eropa telah mengadopsi sistem pajak karbon dengan tingkat tarif yang beragam, mulai dari kurang dari €1 per metrik ton emisi karbon di Ukraina hingga melebihi €100 di negara-negara seperti Swedia, Liechtenstein, dan Swiss (Tax Foundation, 2020). Hingga saat ini, Swedia, yang memiliki tarif pajak karbon tertinggi di dunia, bersama dengan Finlandia yang menjadi pelopor dalam penerapan pajak karbon, telah berhasil menekan emisi karbon mereka tanpa berdampak negatif terhadap ekonomi negara mereka (Barus, E.B., & Wijaya, S., 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun