Sayup-sayup menjelang melewati tengah malam menuju dini hari tanggal 31 Maret 2020 terdengar suara curhatan driver on-line di radio yang sangat terkenal di Surabaya. Kebetulan malam itu mata saya belum mau dipejamkan meski sudah melewati tengah malam.
Pembicaraan sang driver dengan penyiar radio tersebut menjadi menarik perhatian, dan membuat mata saya kembali tebuka lebar. Sisi kemanusiaan saya menjadi tersentuh sangat dalam meski diskusi tersebut disampaikan dengan santai.
Pada satu momen terdengar ketawa lepas ke dua orang tersebut; penyiar dan sang driver. Karena dengarnya sambil tidur-tiduran, saya gak nangkap sang driver tersebut sebagai driver sepeda motor (ojek) atau mobil/taksi.
Dengan semakin maraknya serangan Covid (Corona virus deseas)-19 di Indonesia, dampak negatifnya dari ke hari semakin terasa. Korbannya di Indonesia hingga pukul 12.00 WIB tanggal 30 Maret 2020 yang disampaikan juru bicara Covid-19, Achmad Yurianto, dalam siaran di channel You Tube BNPB, yang diberitakan detiknews Senin 30 Maret 2020 jam 22.14 WIB:
Pasien positif Corona total 1.414 kasus, meninggal dunia menjadi 122 orang, dan yang sembuh 75 orang. Di dunia mengutip APF, detiknews Selasa 31 Maret 2020 jam 00.59 WIB menginformasikan sudah ada 35.905 orang meninggal. Setidaknya ada 26.076 kematian ada di Eropa. Secara global lebih dari 740.000 kasus terinfeksi di 183 negara.
Ini baru dampaknya terhadap korban manusia. Dampaknya terhadap sisi-sisi kehidupan manusia lainnya sangat dan semakin luas, termasuk terhadap sosial, ekonomi dan budaya.
Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan oleh pemerintahan negara masing-masing di dunia untuk mengurangi dan menghentikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh Covid-19. Mulai dari yang sangat ekstrim (lock down), setengah ekstrim hingga yang soft.
Dan yang paling gencar saat ini dilaksanakan, terutama di Indonesia adalah kebijakan social distancing atau physical distancing.
Meski sudah diambil berbagai langkah untuk menstop penyebaran Covid-19, dampak negatifnya tidak bisa dielakan.
Bahkan tanda-tanda keberhasilan untuk mengurangi wabahnya saja belum terlihat. Jumlah korban manusia dari hari ke hari semakin banyak.
WHO telah menyebutnya sebagai pandemi, penyebarannya terjadi secara global di banyak negara di dunia. Memang di tempat asalnya virus di Wuhan China sudah berhasil dihambat pertumbuhannya. Akan tetapi tidak atau belum berhasil di banyak negara lainnya.
Dampak kebijakan yang diambil terhadap perekonomi masyarakat belum menggembirakan. Kelancaran aktivitas ekonomi dan bisnis menjadi melambat.
Bahkan di beberapa sektor sudah cenderung stagnan, misalnya di sektor pariwisata. Indikator-indikator ekonomi memperlihatkan angka yang mengkhawatirkan. Salah satu indikatornya adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin melemah.
Menjelang penutupan tahun 2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat. Sejak awal Desember hingga akan berganti tahun, nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp 13.900 per USD hingga Rp 14.000 per USD (sumber OKefinance, Selasa 31 Desember 2019 jam 18.10).
Setelah virus Covid-19 merebak, nilai tukar rupiah ambles lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (30/3/2020), setelah membukukan penguatan tiga hari beruntun pada pekan lalu.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah ke Rp. 16.150/US$. Depresiasi rupiah membengkak hingga hingga ke Rp. 16.400/US$ (CNBC Indonesia, 30 Maret 2019 jam 17.19 WIB).Â
Indikasi lain yang sederhana adalah naiknya harga barang gila-gilaan yang membuat Ibu-ibu di dapur pusing saat belanja kebutuhan rumah tangga di pasar tradisional.
Harga jahe biasa dan jahe merah masing-masing terpantau meroket hingga mencapai Rp 80 ribu dan Rp 90 ribu dari kondisi normal yang hanya Rp 30 ribu dan Rp 35 ribu per kilogram.
Masker yang tadinya tidak dilirik masyarakat, hand sanitizer dicuekin dan lain-lain, sekarang menjadi primadona. Sekarang harganya mencapai puluhan ribu.Â
Naiknya permintaan berbagai kebutuhan ini juga karena kesadaran atau kepedulian masyarakat terhadap pola hidup sehat tiba-tiba meningkat gara-gara merebaknya Covid-19. Masyarakat berusaha secara maksimal untuk meningkatkan daya tubuh agar bisa menang berperang melawan Covid-19.
Karenanya, kenaikan harga barang-barang di pasar menjadi logis sebab permintaan jauh lebih tinggi dari penawaran. Berlaku hukum atau teori demand dan supply.Â
Di satu sisi Alhamdulillah program social distancing atau physical distancing semakin diterima masyarkat.
Masyarakat sudah familiar dengan work from home (WFH), stay at home (SAH), tidak ada lagi acara ngumpul-ngumpul, nongkrong di warung kopi/cafe, seremonial, pesta pernikahan, ke mall dan sebagainya.
Bahkan kegiatan belajar mengajar untuk para siswa/mahasiswa "diliburkan". Istilahnya belajar di rumah dengan tutorial secara online.
Dan yang lebih urgen lagi adalah acara ibadah yang selama ini dilakukan bersama di mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya, sekarang sudah dilakukan di rumah masing-masing.
Sehingga, mobilitas masyarakat dari dan ke tempat umum menjadi jauh berkurang. Jika ada yang penting sekali, misalnya membeli bahan kebutuhan untuk pangan, baru ke luar dari rumah. Sisi ini yang "tidak disukai" oleh para driver online.Â
Gara-gara Covid-19 harga barang di pasar semakin mahal, sementara itu di sisi lain request atau order masyarakat akan alat transportasi online berkurang jauh. Akibatnya, mereka lebih banyak parkir dari pada jalan membawa penumpang.
Berdasarkan pengalaman mereka dalam sebulanan ini, dengan muter-muter seharian hanya dapat penumpang hanya 3 sampai 6 orang, tidak impas dengan BBM yang dibeli.
Apa lagi mereka juga harus terus menghidupi keluarganya di rumah. Tidak hanya itu, mereka juga harus membayar anguran kredit mobil/sepeda motor setiap bulannya.Â
Parkir di bawah pohon di pinggir jalan, di area SPBU, atau di rumah menunggu adanya bunyi klunting smart phone mereka di rumah menjadi pilihan. Jadi mereka lebih banyak diam dan menunggu dari pada mlipir-mlipir di jalan-jalan.
Mereka seperti orang yang mengganggur yang gak punya kerjaan. Karena kondisinya demikian, penghasilan mereka menurun jauh, dan bahkan pernah Rp. 0 dalam sehari. Perhatikan salah satu caption berikut ini:
Dalam obrolan driver di radio tersebut menyebutnya dirinya sebagai "ODP", tidak sebagai mana istilah dalam Convid-19, yaitu Orang Dalam Pengawasan.
Tapi dalam konteks yang mereka rasakan saat ini diplesetkan menjadi "ora duwe penghasilan", "orang dalam pengangguran".
Momen ini yang membuat penyiar dan driver tertawa. Saya yang mendengarkan juga ikut tertawa sendiri. Lucu soalnya. Tidak apa-apa kita lucu-lucuan sebentar untuk menghibur hati yang sedang loro ini.
Dan kalau kita renungkan makna istilah plesetan mereka dengan kehidupan riil para driver, istilah driver ini benar juga. Karena memang begitulah situasi kehidupannya saat ini. Susah dan semakin susah. Apa lagi seandainya Covid-19 semakin mewabah.Â
Melihat kondisi yang demikian, pihak pemerintah telah mengambil kebijakan agar pihak perbankan dan perusahaan pembiayaan (leasing) melakukan relaksasi atas aturan kredit.
Melalui OJK memberikan relaksasi pinjaman dan pembiayaan dalam rangka menanggulangi dampak wabah virus corona.
Relaksasi itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia telah mengeluarkan aturan cara mengangguhkan cicilan. Karena aturan di atas relatif baru, dampak manfaatnya memang belum terlihat.
Dengan adanya aturan OJK dan APPI di atas apakah derita driver online sudah berakhir atau akan menjadi ringan?
Jawabnya belum. Masih ada kewajiban driver mobil untuk membayar iuran kepada koperasi tempat dia bernaung sebesar hingga Rp. 35.000,- per minggu. Jalan atau tidak jalan saldo wallet mereka di operator langsung dipotong sejumlah tersebut secara otomatis oleh sistem setiap minggunya.Â
Kira-kira berapa sisa penghasilan yang bisa dibawa pulang dalam minggu tersebut untuk anak dan istrinya. Apa cukup?
Dengan sangat terpaksa dicukup-cukupkan. Atau supaya cukup terpaksa minjem duit tetangga atau teman yang kelapangan rejeki.
Akan semakin parah nasibnya jika sang driver minjem duit ke rentenir atau bank titil dengan bunga di atas rata-rata dan tejebak di situ.
Hingga saat ini belum ada tanda-tanda terlihat bahwa ketentuan iuran koperasi tersebut akan direlaksasi juga.Â
Bahkan seharusnya bukan sekedar relaksasi lagi. Kalau kita baca berita dari Trans.com Rabu, 12 September 2018: Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 sudah dicabut Mahkamah Agung (MA).
Dengan keputusan MA ini, maka bisnis transportasi online banyak mengalami kemudahan. Di antaranya adalah transportasi online tidak lagi memerlukan badan hukum dan tidak perlu kendaraan berstiker.
Di pasal 38 dan 39, Mengatur izin perusahaan angkutan minimal memiliki 5 kendaraan. Kini aturan itu dihapus MA.
Di pasal sebelumnya (pasal 36 dan 37) disebutkan untuk membentuk usaha angkutan harus berbentuk: a. badan usaha milik negara; b. badan usaha milik daerah; c. perseroan terbatas; atau d. koperasi.Â
Karena para pemilik mobil/driver tidak punya akses ke bentuk usaha dimaksud dan tidak mau repot membentuk badan hukum sebab hanya punya 1 mobil misalnya, maka cara yang paling gampang adalah bergabung dengan salah satu bentuk usaha dimaksud.
Pilihan paling cepat adalah bergabung dengan koperasi yang sudah ada, dimana salah satu syarat harus membayar iuran setiap minggunya.
Dengan dihapusnya Permenhub nomor 108/2017, muncul Permenhub baru nomor 118/2018. Di pasal Pasal 12 masih disebutkan usaha angkutan dalam 4 bentuk usaha seperti pada pasal 36 dan 37 Permenhub nomor 108/2017.
Akan tetapi di ayat 3 ditambahkan, selain badan hukum sebagaimana dimaksud dapat juga dilakukan oleh pelaku usaha mikro atau pelaku usaha kecil secara perorangan/individu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya tidak perlu lagi bergabung di salah satu bentuk usaha, misalnya koperasi. Artinya juga tidak ada lagi kewajiban untuk membayar iuran setiap minggunya.
Bagi seorang driver online total iuran koperasi sebulan sebesar Rp. 140.000,- tentu sangat-sangat berarti sekali untuk men-support agar asap dapur tetap ngebul.
Melihat kondisi perekonomian negara kita lagi berjuang keras menghadapi serangan dahsyat Covid-19, entah sampai kapan, terbebasnya para driver online dari kewajiban iuran koperasi tentu ibarat setetes air di tengah kehausan di padang pasir tandus.
Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat memerangi Covid-19, kita iringi juga dengan doa bersama kepada Allah SWT, Tuhan YME ; Semoga badai Covid-19 segera berlalu.
Semoga kehidupan perekonomian kita kembali normal dan semakin membaik. Semoga roda kenderaan driver online terus berputar dan semakin kencang.
Aamiin ya rabbal alaamiin...
Surabaya, 2 April 2020.
Salam dan terima kasih...
Ditunggu koreksi dan kritikannya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H