Mohon tunggu...
Dedi Ems
Dedi Ems Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Various organizations during school and college. highest position General Secretary of the Student Senate of the Faculty of Economics, Andalas University. working experience at BRI starting from staff until reaching twice as Head of BRI Branch (Padangpanjang and Sampang). And various Section Heads at Regional Offices and Inspection Offices in several BRI Regional Offices / Kanins.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Maunya Menikmati Tol Surabaya-Kartasura-Surabaya (3)

31 Januari 2019   19:32 Diperbarui: 31 Januari 2019   19:41 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Mesjid Raya Al-Muttaquun (Hasil searching di Googlemaps).

Jika pun memang terasa lapar, cukup makan camilan yang ada disiapin di mobil. Atau mampir di rest area sebentar, pesan mie instan atau minum kopi. Malah ada yang lebih praktis, yaitu pesan mie instan dan kopi, terus take away

Bahkan di beberapa rest area lainnya ada spot yang menjual makanan/minuman secara drivethru, tanpa perlu turun dari mobil, request, bayar, nunggu sekitar 3 menit, ambil pesanan, langsung jalan lagi. Lebih praktis...! Baik take away mau pun drivethru, makan/minumnya di mobil. Jadi tidak perlu membuang waktu terlalu banyak untuk istirahat makan/minum di perjalanan.

Ada yang berpendapat, kenapa pengusaha UMKM/kuliner tidak dimasukan saja ke rest area untuk berjualan. Kan tinggal mindahin...! Sepertinya mudah, tapi merelisasikannya tidak semudah itu. Karena ada “kesulitan akses” bagi mereka untuk masuk dan keluar area itu, harus melewati birokrasi yang membuat mereka berpikir dan menyimpulkan ; “mendingan ga usah jualan di rest area...”. Masalah biaya sewa lapak/tempat juga kendala bagi mereka, yang mungkin sulit terjangkau oleh pengusaha yang punya label UMKM.

Dan dari sisi konsumen selain karena faktor-faktor di atas, ada kecenderung orang agak malas berbelanja di rest area karena masalah harga yang relatif lebih mahal. Menjadi mahal selain karena faktor HPP (harga pokok penjualan), mungkin juga karena pasar di sana cenderung ke arah monopoli atau oligopoli sehingga pengunjung sulit untuk memilih alternatif lain yang sesuai. Dari pada repot dan kecewa, mendingan langsung saja jalan lagi, dan istirahatnya tidak perlu berlama-lama. Alasan lain mungkin soal rasa. 

Meski punya merek kuliner yang sama, soal rasa belum tentu. Dan ada suasana atau aura yang tidak bisa “dibeli” saat kita berbelanja di rest area dibanding jika kita langsung ke tempat yang biasa kita belanja atau makan biasanya. Tanpa sadar kita sebetulnya butuh dan dibuat tambah nyaman dengan suasana nostalgia yang tersedia saat menikmati makan atau berbelanja di tempat yang biasa kita makan dan bebelanja. Ini yang tidak tersedia di rest area.

Atau apa memang ini yang dimaksud oleh teori ekonomi regional bahwa, kemajuan infrastruktur (misalnya jalan yang lebih baik) akan membuat munculnya pusat kegiatan ekonomi yang baru. Dan pusat kegiatan ekonomi sebelumnya secara perlahan akan hilang dengan sendirinya. Permasalahan ini bisa menjadi tema diskusi atau seminar oleh orang-orang yang tertarik dengan permasalahan ini. Apa lagi dalam suasana menjelang pemilu ini, topik kecil saja sudah bisa menjadi perdebatan hangat dan panjang. Nah, loe...!

Salah satu contoh sederhananya, sekitar tahun 1980-an perjalanan dari Padang (Sumatera Barat) menuju Jakarta, dibutuhkan hingga 3 hari perjalanan. Singkat cerita, setelah mobil turun dari kapal penyeberangan di pelabuhan Merak menuju Jakarta, hingga Balaraja bus hanya bisa menggunakan jalan biasa. 

Tol baru ada setelah Balaraja. Hampir setiap bus yang datang dari Padang (Sumatera) sebelum masuk pintu tol Balaraja, berhenti istirahat makan, sholat (Shubuh), bersih-bersih badan dikit dulu di salah satu RM Padang yang ada sebelum masuk tol tersebut. 

Beberapa tahun terkahir, sejak jalan tol sudah nyambung mulai dari pelabuhan ferry di Merak hingga Jakarta, bus-bus yang dari Padang/Sumatera tidak mau lagi mampir di RM Padang yang ada di Balaraja tersebut. Bahkan pada saat bus baru turun dari kapal saja sudah ada penumpang yang teriak ; “langsung tancap gas hingga terminal Rawamangun Pak Sopir....”. Maksudnya jangan mampir-mampir lagi, meski hanya di rest area.

Semenjak itu RM Padang yang ada menjelang pintul tol Balaraja secara perlahan ditutup karena tidak ada lagi bus-bus dari pulau Sumatera yang singgah berhenti di sana. Kalau di tahun 1980-an restoran itu ramai sekali. Ke toilet dan kamar mandi sampai antri-antri. 

Saking ramainya, muncul bisnis berskala kecil lainnya di sekitar RM Padang tersebut. Ada usaha tambal ban, orang jualan baju/kaos dan keperluan toiletris, jual buah, jual rokok, jual makanan kecil, jual kacamata baca dan kacamata hitam (sun glasses), jual bakso, pijat tradisional, dsb. Kini semua itu tinggal cerita. Pusat kegiatan ekonomi baru mungkin muncul karena adanya tol Merak-Jakarta. Mungkin di tempat lain, yang pasti bukan lagi di sekitar RM Padang menjelang masuk pintu tol Balaraja...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun