Kalau tolnya sudah nyambung dari Jogjakarta hingga ke Surabaya mungkin waktu yang diperlukan tinggal hanya sekitar 4 jam saja. Saya jadi ingat saat bertugas di Jogjakarta antara tahun 2008 hingga 2011.
Pernah pulang ke Surabaya di hari kedua lebaran Idul Fitri tahun 2009, menghabiskan waktu sekitar 15 jam. Berangkat dari rumah dinas di Popongan Sleman sekitar jam 08.00 WIB, baru sampai di rumah di daerah Bratang Gede sekitar jam 23.00 WIB. Luar biasa lamanya dan luar biasa capeknya. Melewati jalan Raya Solo-Jogjakarta saja luar biasa padatnya.
Antrian kenderaan di setiap TL jumlah banyak dan panjang-panjang sehingga kebagian lampu hijau baru bisa setelah sekitar tiga-empat kali lampu merah menyala, baru kita bisa lewat. Ini memang pengalaman perjalanan saya paling lama dengan mobil sendiri dari Jogjakarta ke Surabaya dan sebaliknya.
Satu, mampir di toko roti terkenal dan legendaris di Solo, yaitu toko roti Orion. Dua, membeli serabi Solo Notosuman di Kota Sragen. Tiga, membeli tahu Pong Kediri yang dijual di sekitaran pelintasan pintu KA di Kertosono, dan empat, makan nasi goreng enak buatan Pak Topa di Jombang. Lima, membeli jagung rebus manis (manisnya asli loo...!) di depan KC BRI Mojokerto. Itu belum dihitung beli buah-buahan selama di perjalanan. Semuanya terlewati.
Tapi jika saya lewat jalan non-tol, kalau pun saya lupa dan tidak berkenan, ada anggota keluarga/penumpang lain yang mengingatkan atau request. Beli roti dulu di toko roti Orion buat beli oleh-oleh yuk Pa....! Pa, kok ga mampir ke serabi Solo Notosuman di Sragen...!
Mama mau beli tahu Pong Kediri dulu di pinggiran jalan Kertosono-Jombang buat lauk sarapan besok pagi...! Pa, kita makan nasi goreng Pak Topa dulu di Jombang setelah istirahat sholat Magrib ya...! Jangan lupa lo beli jagung manis kesukaan Papa di Mojokerto. Itu lo Pa yang jualannya di depan KC BRI Mojokerto...
Apa ini dampak negatif adanya jalan tol langsung dari Kartasura ke Surabaya terhadap bisnis khususnya UMKM dan lebih khusus lagi bisnis kuliner. Bisa jadi, ya..! Dan yang pasti selama perjalanan dari Jogjakarta ke Surabaya kemarin itu, saya melewati semua kebiasaan kuliner tersebut. Sehingga para pemilik bisnis kuliner tersebut, kemarin itu tidak (lagi) menerima duit yang keluar dari dompet saya.
Apakah omset penjualan mereka semua berkurang karena saya tidak berbelanja di situ...? Jawabnya, ya...! Pasti...! Berapa persen share-nya terhadap total sales mereka... ? Pasti kecil sekali...! Kata orang Medan : “siapa lah awak ini. Lalat pun tak mau hinggap...”. (Nuwun sewu, pinjem tag line-nya ya Lae Moreno, sahabatku..!). Akan tetapi jika ada 10, atau 100, atau 1.000 orang seperti saya....? Mikiiiiir....., kata Cak Lontong. (Halo Cak, kulo nuwun ijin pinjam tag line-nya nggeh....!)
Analisa sederhana lainnya begini, saat orang masuk ke jalan tol, orang itu tidak memikirkan lagi akan singgah ke mana-mana. Dalam pikirannya hanya ada, bagaimana supaya cepat sampai di tujuan (di rumah). Kalau pun sempat terpikirkan, secara psikologis jadi malas untuk singgah. Terbayang repot dan macetnya jika masuk kota lagi mencari itu semua. Dari pada buang-buang waktu di jalan kota karena macet, mendingan langsung saja tanpa mampir-mampir beli atau menikmati sesuatu.
Analisa berikutnya misalnya kita dari Jogjakarta masuk tol Colomadu jam 15.00 WIB, In syaa Allah pasti sudah makan siang. Kalaupun terasa lapar mau makan lagi, misalnya makan malam, jadi mikir dulu. Karena kalau tidak ada halangan kira-kira 3 jam lagi, atau sekitar jam 18.00 WIB, sudah sampai di Surabaya atau di rumah. Bahkan bisa lebih cepat. “Ah, mendingan makan malam di Surabaya atau di rumah saja, dan bisa langsung istirahat...”.