Data yang ditunggu-tunggu pelaku pasar akhirnya muncul. Data yang berasal dari negeri paman sam, Amerika Serikat ini, akan menentukan kemana arah kebijakan ekonomi berikutnya.
Ya! Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat baru saja mengumumkan (13/7/2922) data inflasi pada Juni kembali melejit. Indeks Harga Konsumen (IHK) itu mencapai 9,1%.Â
Itulah inflasi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Bayangkan betapa tingginya lonjakan inflasi itu. Serta bayangkan pula, bagaimana kenaikan sejumlah harga di AS.Â
Angka itu bahkan jauh dari perkiraan ekonom, yang memperkirakan angkanya mencapai 8,8%. Lantas bagaimana data inflasi AS ini akan mempengaruhi Indonesia?
Oke! Sebelum membahas lebih dalam, kita mesti memahami bahwa ekonomi negara di dunia saling terkait satu sama lain. Dari satu sistem, bergantung pula dengan sistem di negara lain.Â
Hal ini memberi pengaruh, mana kala ada satu negara mengalami perubahan signifikan. Terutama mereka dari negara maju dan memiliki exposure besar terhadap negara lain.
Salah satunya, resesi di AS yang begitu tinggi, akan semakin memicu kenaikan suku bunga acuan, oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Federel Reserve. Arah kebijakan The Fed menyesuaikan kemana laju inflasi itu terjadi. Sehingga selisih bunga dengan inflasi, menjadi terkendali.Â
Namun yang terjadi kini, laju inflasi terlampau cepat dibandingkan dengan tingkat suku bunga acuan. Sementara level suku bunga acuan tertinggal jauh, saat ini berada di level 1,75%.Â
Fed Funds Rate
Ada selisih yang begitu besar, yang harus ditangani The Fed akan inflasi terkendali dan tidak mencekik keuangan warga. Salah cara yang ditempuh adalah menaikkan suku bunga acuan. Namun sayangnya, selisih yang begitu besar, menjadi sinyal negatif bagi pasar saham.Â
Kenaikan suku bunga acuan The Fed, biasanya akan diikuti oleh sejumlah bank sentral lain. Yang sudah lebih dulu mengikutinya yakni European Central Bank (ECB). Termasuk diantaranya Bank Indonesia yang juga sudah bersiap-siap menaikkan suku bunga acuan, bila inflasi di Indonesia telah menembus 4%.Â
Suku bunga yang naik akan membuat bisnis menjadi kurang menarik. Bukan hanya bisnis, daya beli masyarakat bisa tertekan oleh kenaikan itu. Salah satu contohnya adalah kredit properti. Bila suku bunga acuan naik, akan diikuti oleh suku bunga perbankan.Â
Kenaikan itu akan membuat kredit properti menjadi seret. Karena orang akan berpikir berkali-kali ketika ingin mengajukan kredit, dengan bunga kredit yang lebih tinggi.Â
Padahal properti adalah salah satu industri induk, yang membawahi nyaris 100 sub-industri lainnya. Di antaranya seperti keramik, perabotan, kaca dan lain sebagainya.Â
Bila itu terjadi secara masif, akan mengancam daya beli, sehingga bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi salah satu sisi negatif kenaikan suku bunga acuan.Â
Namun bila suku bunga acuan Bank Indonesia tetap dipertahankan, nilai rupiah akan tertekan dibandingkan dengan mata uang lainnya, semisal dolar Amerika Serikat.Â
Hal ini disebabkan banyak pelaku pasar yang melepas rupiah karena dinilai tidak memberi imbal hasil yang menarik. Untuk itulah guna menjaga nilai tukar rupiah juga, BI menaikkan suku bunga acuan.Â
Kebijakan rem dan gas dalam Rapat Dewan Gubernur BI, dalam menyikapi kenaikan inflasi AS yang begitu tinggi, akan turut menentukan arah ekonomi Indonesia. Hal ini akan berdampak pula, bagi hajat hidup orang banyak.Â
Semoga Indonesia bisa bertahan dari gempuran negatif ekonomi global. Sehingga bisa mewujudukan impian Indonesia emas pada 2045.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H