Mohon tunggu...
DEDE SOLEHUDIN
DEDE SOLEHUDIN Mohon Tunggu... Auditor - secangkir kopi yang diseduh hangatnya logika

Pernah jadi lulusan SMA, tapi itu ga lama. Kemudian nyoba kuliah menjadi MAHAsiswa dan akhirnya lulus juga dengan setengah mati. Sekarang sudah jadi sarjana plus lagi kuli. Asli Ciamis, dan lahir tahun 1984!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pak Giyo dan Pak Yanto Menyambut Hujan

24 Desember 2019   13:00 Diperbarui: 24 Desember 2019   13:23 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hingga hari ini, sebagian besar wilayah di Nusantara belum menikmati tetesan hujan. Musim kemarau masih saja menyelimuti Negeri ini. Kekeringan melanda di mana-mana. Dan yang paling terpukul dari kondisi cuaca panas ini adalah para petani yang tanamannya memerlukan kuantitas air yang banyak, seperti padi. Juga bagi petani ikan air tawar yang kolam-kolamnya mengalamai kekurangan air. Namun tak selamanya musim panas dan kemarau ini menjadi sebuah bencana. Minimal itu dirasakan oleh tukang ac yang biasa memelihara per-AC-an di kantor kami. 

Dengan cuaca yang begini panasnya, keluhan karyawan terhadap AC yang tidak sempurna dinginnya menjadi berkah tersendiri bagi Pak Giyo, tukang AC langganan kami. Selama tiga bulan terakhir ini sudah lebih dari tiga kali Pak Giyo datang memeriksa 2 unit AC diruangan kami. 

Meski ruangan kami tak terlalu luas, namun dengan adanya 8 unit komputer yang menyala dari pagi hingga sore plus 8 kepala pemiliknya membuat suhu diruangan kami bertambah panas. Jika biasanya angka temperatur di kedua AC tersebut di setel di angka 22 C, maka kahir-akhir ini kedua AC tersebut di setting diangka 18 C.

Pak Giyo dan mungkin teman-teman seprofesinya bersyukur dengan cuaca panas ini. Bukan mengeluh.

Pada sisi lainnya, tukang service dan sekaligus pedagang payung keliling, Pak Yanto, kurang happy dengan cuaca panas semacam ini. Namun dia masih bersabar menunggu datangnya hujan. Pak Yanto ini sudah lebih dari 5 tahun menggeluti profesi jasa service payung keliling. Dan kemarin hari Ahad sore mampir kerumah saya untuk membetulkan payung "jimat" sebagai hadiah hiburan Lomba Agustusan 5 tahun lalu. 

Payung biru bertulisakan salah satu sponsor kegiatan tersebut yang notabene adalah Caleg yang sayangnya tidak terpilih. Hingga hari ini si caleg tersebut kembali ke profesi awalnya sebagai sopir expedisi sembako dari salahsatu perusahaan ekpedisi nasional. Dan saya kenal beliau. Dan pada pileg 2019 kemarin, beliau tidak ikut mencalonkan lagi dengan alasan modalnya belum ada. Lalu saya sarankan supaya dia beternak lele saja karena konon kata teman-teman saya untungnya besar dengan modal yang kecil. Menggiurkan. 

Sambil menunggu pak Yanto memperbaiki payung tersebut, saya ajak ngobrol sambil saya minta istri saya untuk membuatkan secangkir kopi Gayo kiriman sahabat saya yang baru pulang dari Aceh dalam rangka melakukan penelitian. 

Pak Yanto mengeluh dengan cuaca panas ini karena sedikit sekali orang yang membutuhkan jasanya. Dia hidup di Bali dengan kos di sebuah rumah semi permanen bersama dengan beberapa teman yang beda profesi. Dia berharap, musim hujan segera hadir dengan harapan bahwa akan ada banyak orang membutuhkan jasanya. 

Moto dia musim kemarau ini adalah "sedia payung sebelum hujan". Saya setuju, apalagi dia menjanjikan bahwa service payungnya yang baru saja selesai dia kasih garansi sampai musim hujan tiba. Hahaha..... dalam hati, ini Pak Yanto cerdik dalam teknik pemasarannya. Garansi service payungnya hanya berlaku di musim kemarau seperti sekarang ini. Karena dia tahu saya tidak menggunakan payung di musim kemarau seperti ini. 

Bagaimana dengan Penyambutan Hujan?

Pada tataran yang lebih luas, kemarau ini harus dijadikan sebagai momentum dalam membangun infrastruktur penahan bencana banjir. Juga menyiapkan solusi atas dampak ikutannya yang biasa muncul seperti tenda, penyediaan selimut dan tempat pengungsian yang layak. Bahkan obat-obatan dan makanan pun harus disiapkan. 

Atau mungkin dari sekarang harus mulai dilakukan penggalangan dana untuk menyambut "rencana bencana" tersebut. Ini tak lepas dari obrolan saya dengan Pak Yanto tentang adagium "sedia payung sebelum hujan". Adagium ini tentu berlaku bagi semua level birokrasi dan organisasi yang mengkhususkan peran pada pengelolaan dan penanganan kebencanaan.

Biasanya pada musim hujan yang (mungkin) sebentar lagi akan tiba, sorotan masyarakat adalah pada aspek pembangunan fisik penganggulangan bencana. Bendungan, daerah aliran sungai (DAS), irigasi, penyempitan selokan, penggundulan hutan hingga pada istilah buruknya sistem drainase dan tata kota. 

Isu tersebut menjadi sebuah isu musiman yang kadangkala tidak pernah ada perbaikan dan tindak lanjutnya. Begitu pula pada aspek perilaku masyarakat yang masih saja memiliki hobi tidak peduli pada lingkungan. Perilaku membuang sampah ke sungai dan merusak fasilitas drainase. 

Akibatnya sudah bisa diprediksi, yaitu banjir yang menggenangi lingkungan. Jenis perusakan sistem drainase ini berupa menghambat jalannya air dan pembangunan fasilitas pribadi lainnya yang sifatnya menghambat arus air. Termasuk juga membangun pemukiman didaerah aliran sungai. 

Kasus-kasus semacam ini sudah turun temurun, terjadi dari zaman ke zaman. Tak pernah benar-benar terurai. Tak pernah secara paripurna teratasi yang dibuktikan dengan tetap munculnya bencana banjir pada setiap musim hujan.  

Padahal musim penghujan selalu didahului dengan musim kemarau. Sehingga setiap kondisi seharusnya bisa dipersiapkan sebelumnya. Kondisi musim hujan harus dipersiapkan dimusim kemarau. 

Pun dengan musim kemarau harus dipersiapkan di musim hujan. Payung harus dipersiapkan sedari musim kemarau agar pada musim hujan bisa berguna dengan baik. Agar payung bisa digunakan untuk melindungi diri dari rintik air hujan ketika istri kita pergi kewarung seberang rumah disaat situasi hujan. 

Yang perlu kita sadari adalah bahwa tanggung jawab menyambut hujan dan segala efeknya adalah tanggungjawab kita semua. Bukan hanya BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Tim Sar, LSM atau para dermawan yang secara reguler menggalang aksi kemanusian. 

Kita tidak perlu memfokuskan diri pada stigma "saling menyalahkan". Toh keselamatan kita adalah tanggungjawab bersama. Bukankah genteng bocor dirumah kita adalah tanggung jawab kita, bukan menteri atau presiden. 

Bukankah sampah yang menyumbat selokan depan rumah kita adalah ulah kita juga. Sehingga ketika musim hujan datang kita sama-sama telah memiliki kesadaran yang sama bahwa hujan adalah berkah, karena kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. 

Maka, mari kita sambut musim hujan kelak dengan bahagia dan optimisme. Sebelum hujan datang mari pastikan terlebih dahulu genteng kita tidak bocor, payung kita bisa digunakan secara sempurna dan selokan depan rumah telah bersih dari sampah dan sumbatan. Dan ingat, siapkan kopi dan gula agar musim hujan bisa kita nikmati dengan lebih hangat.

Penulis
Dede Solehudin, SE
Pemerhati Masalah Sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun