Mohon tunggu...
DEDE SOLEHUDIN
DEDE SOLEHUDIN Mohon Tunggu... Auditor - secangkir kopi yang diseduh hangatnya logika

Pernah jadi lulusan SMA, tapi itu ga lama. Kemudian nyoba kuliah menjadi MAHAsiswa dan akhirnya lulus juga dengan setengah mati. Sekarang sudah jadi sarjana plus lagi kuli. Asli Ciamis, dan lahir tahun 1984!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Utang Luar Negeri Indonesia, Besar Pasak dan Tiang yang Keropos

19 Maret 2018   17:04 Diperbarui: 19 Maret 2018   17:14 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (sumber: tribunnews.com)

Beberapa hari ini atau mungkin dalam seminggu ini media selalu dihiasi oleh ulasan mengenai jumlah utang negeri ini yang semakin membengkak. Banyak yang khawatir akan kondisi ini dan ada pula yang sebaliknya, santai. Saya adalah termasuk kaum yang merasa diantara keduanya, galau. Kegalauan itu didasari atas ketidaktahuan akan asal usul utang itu dan peruntukannya. 

Dasar lain kegalauan itu adalah melihat angka utang negeri ini yang membuat kalkulator mini sayaerrorkarena jumlah digit yang tidak muat. Galau dengan pesimisitas saya akan kemampuan negeri ini untuk membayarnya. Galau akan nasib anak cucu saya kelak yang akan dibebankan kewajiban untuk membayarnya. Entah itu akan dikenakan pajak seperti apa lagi?

Benarkah 4.000 T?

Sekali waktu saya suka bertanya apakah betul utang negeri ini sudah diangka Rp. 4.000 T seperti yang diinformasikan oleh berbagai media?. Saya kadangkala curiga tentang kebenaran angka itu. Jikapun benar angka itu demikian adanya, saya berharap kita punya uang untuk mencicilnya atau minimal kita punya kemampuan memadai untuk menghasilkan uang.

Mengutip kebenaran nilai utang kita dari Menko Perekonomian RI dan situs kementerian keuangan RI ternyata benar adanya. Lengkapnya utang negeri ini telah tembus diangka Rp. 4.034, 80 T per akhir February 2018. Lalu nilai APBN tahun 2018 sesuai yang bisa dilihat di situs kemenkeu.go.id adalah senilai Rp. 2.220,7 T. Dari Rp.2.220,7 T, Rp. 325,9T adalah defisit anggaran yang kemudian akan dipenuhi dengan skema penjualan SBN atau dibiayai dari sumber utang. Posisi utang ini bertambah 13% dari tahun sebelumnya. Jika kita berfikiran sederhana maka utang negara tahun 2018 bertambah 325 T. Jika rata-rata tiap tahun posisi APBN negeri ini seperti ini terus, maka dalam kurun waktu 10 tahun, utang negara mencapai angka 3.250 T. Ini adalah utang baru. Jika ditambah dengan besaran utang sekarang, maka jumlahnya Rp. 7.500 T. Wowww....

Sebagai perbandingan, utang negara adidaya sekelas Amerika Serikat adalah Rp. 274, 566 T per 9 Januari 2018(sumber kontan.com). Apabila dibandingkan atas besarannya, tentu utang Indonesia masih jauh dibawah utang Amerika. Prosentasenya hanya 1,4 % dari utang Amerika.

Mampukah kita Membayar?

Mengutip pernyataan dari Menko Perekonomian Dr. Darmin Nasution, kemampuan kita untuk membayar utang sangat bisa dan mampu. Jika kita berkaca pada setiap debitur, tentu pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat lumrah. Berani berhutang tentu ada kesanggupan juga untuk membayarnya, minimal ada komitmen. Sama seperti seorang petani yang meminjam uang kepada rentenir. Pasti awalnya merasa sangat sanggup. Kesanggupan ini tentucateris paribus. Kita bisa membayarnya dengan kondisi sekarang. Ketika perekonomian berjalan cukup baik bahkan masih menikmati pertumbuhan. 

Ketika kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika dalam posisi stabil. Kita bisa membayar utang ketika asumsi makro dan mikro terpenuhi. Asumsi-asumsi ini sama persis jika petani meminjam sejumlah uang kepada Bank atau rentenir. Tentu dengan tipe asumsi yang lebih sederhana. Misal saya bisa membayar jika hasil panen sesuai harapan, jika tidak ada hama, jika tidak ada bencana dan jika tidak ada kenaikan harga pupuk dan harga jual hasil tani sesuai harapan. Itu jika sesuai asumsi, jikacateris paribus. Namun jika segala asumsi tidak terpenuhi, maka bencana financial bisa melanda. Krisis keuangan bisa tercipta dan lebih jauhnya krisis ekonomi menjadi konsekwensi logis.

Itulah yang menjadi kekhawatiran Saya sebagai warga bangsa. Selain itu, mengingat komposisi penduduk yang notabene populasinya sebagai pegawai yang menggantungkan diri pada sebuah institusi perusahaan yang struktur modalnya dikuasai oleh asing. Posisi ini tentu sangat riskan jika suatu ketika investor menarik modalnya dan bangkrut. 

Maka tamatlah riwayat pegawai dan tentu pendapatan negara dari sumber pajak akan berkurang. Dan ini menjadi mimpi buruk buat pemerintah dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Dan ingat bahwa pengangguran akan membebani negara. Bantuan sosial akan bertambah, subsidi bertambah dan sangat bisa menggerus APBN. Kemudian untuk menutup defisit anggaran tersebut darimana?. Utang???.

Membayar dengan Sumber Daya Alam

Banyak negara yang memilikidebt ratioterhadap GDP-nya tinggi. Misal tentangga kita Malaysia yangdebt ratio-nya 52,7% terhadap GDP-nya nya, Thailand 41,8% dan Brazil 81,2%. Prosentasenya memang lebih besar dibandingkan dengan Indonesia yang berada pada posisi 29,24%. Tapi apakah kita hanya punya cita-cita menjadi seperti negara itu? Bukankah kita harus memiliki cita-cita menjadi negara lebih maju mengingat sumber daya alam yang kita miliki lebih beraneka ragam dan lebih banyak?. Apakah mau semua sumber daya alam tersebut dikuras hanya untuk membayar utang?. Bukankah dalam UUD 1945 telah jelas bahwasanya semua kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran bangsanya.

Ada angin segar memang ketika akhirnya bangsa Indonesia akan menguasai kembali tambangFreeportdi Papua. Sebagai bentuk kedaulatan atas kekayaan alam. Sebagai bentuk konkrit tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan UUD 1945. Tapi apakah ini kangkah yang ekonomis atau sebaliknya? Mengambil alih tambangFreeport itu harus dengan cara dibeli, bukan diminta atau diambil seenaknya. Lihat berapa uang yang harus disiapkan negara dalam prosesbuyback atau divestasi ini. 

Menurut menteri ESDM Iganatius Jonan, nilai pasarnya adalah Rp. 53,2 T dan ini menurut taksiran dan hitungan pihak kta sebagai pembeli. Tentu negosiasi akan terus berjalan untuk mendapat harga ideal, tetapi nilai itu adalah nilai minimal. Semoga saja uang Rp. 53 triliun ini tidak membebani APBN bangsa ini. Mudah-mudahan publik atau BUMN punya tekad untuk berinvestasi mengambil alih kendali atas "gunung emas" yang berada di Papua ini. Sehingga pemerintah tidak lagi perlu menambah utangnya.

Sumber daya alam Indonesia memang dikenal cukup kaya. Tapi sumber daya yang dimaksud adalah kekayaan yang pasti habis. Jikapun ada mungkin tinggal sedikit. Lalu jika ada bersumber fosil telah habis, sumberdaya alam apalagi yang bisa diandalkan sebagai aset atau cadangan untuk membayar utang?. Atau mungkin akan kembali ke masa suram kolonial dengan menaikan tarif dandiversityatas pajak dan pungutan lainnya. 

Apakah betul pemerintah melihat rakyatnya sebagai aset untuk diperas melalui segudang kewajiban perpajakan? Jika itu terjadi, maka inilah ironi dari utang negeri ini. Nasibnya tak beda dengan petani gurem yang terlilit utang rentenir. Semua aset dijual untuk melunasi utang. Yang tersisa hanyalah diri dan pakaian yang dikenakan. Rumah dan semua aset telah disita. Dan itulah akhir dari utang yang tinggi tanpa dikelola dengan baik. 

Utang besar dengan sumberdaya yang keropos akan meruntuhkan segala sendi kehidupan. Prinsip dasar besar pasak daripada tiang memang berlaku dan harus senantiasa diperhatikan oleh pengambil keputusan di negeri ini.

Dede Solehudin SE

Pengguna Medsos tinggal di Bali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun