Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Legenda Batu Besar Cengal, Bagian 3: Batu Besar dan Beringin Sanjaya

7 Januari 2024   14:55 Diperbarui: 9 Januari 2024   10:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bing images generation

Bagian 3: Batu Besar dan Beringin Sanjaya

Di saat seperti itulah ayah Dahayu mendekati Batara. Batara terkejut. Mungkinkah Batara sudah menyalahi aturan upacara karena berbicara kepada Dahayu? Mungkinkah sang ayah sudah tahu apa yang Batara ucapkan kepada Dahayu dan ia tidak merestuinya? Mungkinkah ada laki-laki lain yang sudah mendahului Batara? Berbagai pertanyaan seketika muncul di benak Batara.

Ayah Dahayu lalu tersenyum, kemudian berbisik.

"Tenang nak. Jika ingin bertemu Dahayu ia sedang sembahyang di batu besar," Batara seketika merasa bahwa ayah Dahayu telah membaca gejolak di dalam hatinya.

Pendeta Hindu yang dikenal bijak itu memberi tahu bahwa sosok yang dicari Batara sedang di batu besar. Salah satu petilasan kuno yang dulu konon jadi tempat peristirahatan Raja Galuh ke-3, Prabu Sena dan keluarga ketika diusir oleh Prabu Purbasora, sepupunya dari Gunung Galunggung.

"Temuilah nak. Sepertinya Dahayu juga sedang menunggumu." Karena acara sudah hampir selesai Batara pun seketika langsung undur diri kepada para gegedeng di sana dan segera menuju ke batu besar.

Di tempat tersebut Dahayu tampak sudah menyelesaikan proses sembahyang. Ia berdiri sambil menyedekapkan tangan ke pohon beringin yang beberapa akarnya memeluk batu yang ukurannya cukup besar. Konon beringin itu ditanam oleh Sanjaya, putra Prabu Sena sebagai simbol harapan bahwa dirinya akan kembali lagi ke tanah parahiyangan. Dahayu kemudian menyadari kedatangan Batara.

"Dik," ujar Batara. "Apakah ada yang salah dengan ucapanku tadi?"

Dahayu diam sejenak, pandangannya masih ke arah batu besar dan beringin Sanjaya itu. "Tidak ada yang salah kang." Dahayu masih menatap petilasan batu besar dan beringin Sanjaya.

Belum puas dengan jawabannya, Batara yang masih berdiri di belakang Dahayu itu kemudian bertanya kembali. "Apakah sudah ada laki-laki lain yang menyatakan cinta kepadamu, dik?"

Dahayu kembali terdiam. Namun, kini cukup lama. Dahayu lalu menatap Batara dan meghampirinya perlahan. Dahayu lalu mendekati wajah dan telinga Batara.

Wajah Dahayu kini sangat dekat dengan Batara. Saking dekatnya Batara bisa merasakan napas Dahayu memburu di lehernya. Entah kenapa Batara menikmati momen itu. Ia terdiam meresapi setiap embusan napas Dahayu. Mungkin ini juga kah yang tadi dirasakan Dahayu? Dahayu kemudian berbisik.

"Kamu yang pertama, kang. Aku juga cinta kamu."

Meledaklah isi hati Batara.

Keduanya kemudian saling berpandangan, tersenyum. Perasaan mereka bergemuruh. Wajah mereka memerah tak karuan. Mereka tersipu malu, salah tingkah. Beberapa kali mengalihkan pandangan ke arah rumputan dan langit, namun kemudian berpandangan kembali. Dipertemuan mata kesekian kalinya itu mereka lalu tersenyum cukup lama dan tampak bahagia, lega.

Jika Batara bukan anak pemimpin pedukuhan dan jika Dahayu bukan anak pendeta adat mungkin saja mereka sudah jingkrak-jingkrak kegirangan, saling peluk, cium, dan segala perbuatan tak pantas lainnya. Keduanya tahu diri dan tahu posisi. Mereka cukup cakap dan mampu menahan gejolak perasaan itu.

Namun, perasan senang campur aduk itu ternyata tak bertahan lama. Perhatian Batara dan Dahayu seketika teralihkan oleh suara bende wawaran yang dipukul 3 kali di pandapa. Sebuah tanda bahwa sebentar lagi akan ada pengumuman penting dari pedukuhan.

Tak lama dari arah pandapa pun muncul dua orang pengawal pedukuhan, menghampiri Batara dan Dahayu.

"Mohon maaf tuan Batara dan nyi mas Dahayu. Tuan dan nyi mas diminta prabu menghadap ke pandapa sekarang," ujar salah satu dari kedua pengawal itu. Batara sontak terkejut.

"Rama ingin kami menghadap? Ada apa?" Tanya Batara spontan.

"Mohon maaf tuan, kami hanya mendapatkan perintah untuk menjemput dan mengawal tuan serta nyi mas ke pandapa segera."

Dengan perasaan aneh Batara dan Dahayu kemudian mengikuti dua pengawal tersebut. Meninggalkan petilasan batu besar dan beringin Sanjaya menuju suara bende yang ditabuh tiga kali itu.

Dahulu kala, bende yang dikenal sebagai bende samudra ini pertama kali ditabuh di tanah Kuningan. Bukan sebagai wawaran, tetapi sebagai tanda peperangan. Sebuah bende yang khusus memberikan tanda perubahan strategi perang dan pembawa gemuruh kekacauan.

Saat itu Kuningan menjadi medan laga antara kerajaan Sunda yang sudah dikuasai Sanjaya melawan kerajaan Galuh. Sanjaya bersama pasukan Sunda berhasil mengoyak kerajaan Galuh dan membunuh sang raja, Purbasora. Raja sekaligus uwa dari sang ayah, Prabu Sena.

Berbeda dengan sang ayah yang telah hidup damai dan menjadi pemimpin di Kalingga, Sanjaya justru memupuk dendam kepada sang uwa yang telah mengudeta dan mengusir keluarganya dari Galuh. Saat Purbasora tumpas, maka tuntas jugalah dendam Sanjaya.

Lantas, apakah bende yang ditabuh dari arah pandapa kali ini akan berujung seperti apa yang dikobarkan Sanjaya? Sementara itu, berpuluh-puluh tahun berselang, beringin yang ditanam Sanjaya kini tumbuh makin besar. Ia menjadi rumah bagi burung, ular, dan kini telah menjadi saksi mekarnya cinta antara Batara dan Dahayu.

Bersambung ke bagian 4. Akses ke bagian 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun