Aneh memang, mereka itu keras kepala, sok tegar pula. Dasar, bisakah mereka merasakan kesedihan? Kuharap aku bisa membuatnya menangis dan membuktikan pada dunia bahwa ketegarannya selama ini hanya pura-pura saja. Aku harap bisa membuatnya menangis sampai dia mencakar tembok dan lantai, merasakan jantungnya membengkak dan membusuk. Aku harap bisa jadi alasan kesengsaraannya. Tapi, ah sudahlah.
Kenapa aku ini? Begitu bersalah kah aku di dunia ini? Hanya karena hal sepele seperti ini aku merasakan pedihnya hidup yang amat sangat. Apakah dia juga merasakan kepedihanku saat ini? Aku pesimis.
Kenapa kau tidak juga berdering ponsel jelek? Apa harus aku saja yang meneleponnya? Jangan. Jangan sampai aku melakukannya.
Tadi sore apa mungkin dia berkata 'Telepon aku jam sembilan malam'? 'Te-le-pon a-ku" Apa aku yang salah dengar? Bagaimana kalau dia sekarang sedang menunggu panggilanku? Bagaimana kalau dia sedang membutuhkanku?
Tidak. Tidak. Aku tidak mungkin salah dengar. Jelas sekali aku dengar 'Aku akan meneleponmu jam sembilan malam', tapi kemungkinan itu masih tetap ada.
Sudahlah, jika dia lelaki dan memang tertarik padaku maka harus dia yang memulai. Lagi pula aku tidak tahu harus berkata apa jika aku meneleponnya 'maaf, tadi kamu memintaku telepon jam sembilan ya?' Uh, konyolnya.
Tapi, aku benar-benar ingin memastikannya. Apa harus aku saja yang meneleponnya? Aku tidak ingin hidup penuh penyesalan. Baiklah, baiklah, baiklah... Aku akan.... meneleponnya. Tolong temani aku Tuhan...
Uh, akhirnya. Berdering! Satu kali getaran.
Aku ambil ponsel yang dari tadi ku amati agak jauh itu. Aku melihat tanda pemberitahuan, sepertinya sebuah pesan. Aku buka ponselku itu, hati-hati, sangat hati-hati, aku baca secara perlahan, 'low-bat-te-ry'.
Layar meredup, mati.
...........................