Di akhir kisah, Alif dihadapkan kembali dengan problematika yang serupa. Namun, semua itu kini ia sikapi dengan cara yang lebih bijak. Alif dengan lapang dada mengikhlaskan dan melepaskan sesuatu hal yang sudah semestinya dilepas pergi.
- JAJAK PENDAPAT
Novel ini memiliki kelebihan dari segi cerita yang ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca, khususnya pembaca muda. Ringan bukan berarti tidak berbobot, melainkan karena penuh dengan nilai hidup, gambaran hidup yang nyata dan super kompleks namun dengan mudah bisa disajikan dengan bahasa ringan nan indah.
Melalui 472 halaman ini Ahmad Fuadi menyajikan kepada kita semangat untuk terus teguh menggapai cita-cita dan bersabar dalam meraihnya. Sabar di sini bukan berarti membabi buta dalam konsistensi aksi apalagi diam tanpa aksi. Sabar di sini artinya konsisten dan realistis. Sebab perjuangan yang terus digas tanpa mengenal rem hanya akan berujung sia-sia. Bukankah dalam bermain layang-layang pun kita mengenal konsep tarik ulur, menyesuaikan diri dengan gerak angin agar layang-layang tetap berada di udara? Begitu pun dalam hidup.
Walau demikian Alif dengan berbagai kompleksitas hidupnya membawa kita kepada pencapaian yang luar biasa, Alif dapat menggapai semua keinginannya. Dan konsep sabar ini bisa benar-benar terasa di akhir kisah, ketika Alif harus merelakan satu ambisinya dan harus kembali menyaksikan kemenengan Randai. Dari sini kita menyadari bahwa di antara keberhasilan pasti selalu saja ada kegagalan, dan ini yang membuat hidup sempurna.
Melalui Alif kita belajar bahwa hidup akan berjalan sebagaimana mestinya, ada tiada, suka duka, berhasil dan gagal, semua adalah fitrah hidup dan yang menentukan adalah bagaimana kita merespons semua fenomena tersebut.
Sementara itu dari segi pesan/amanat novel ini juga jelas mampu memberikan nuansa positif dan motivasi bagi setiap pembaca dalam memandang problematika hidup. Dalam lingkup keluarga, persahabatan, studi, bahkan percintaan.
Adapun kekurangan yang tampak pada novel ini yaitu pada pola cerita. Bila diperhatikan lebih dalam pola cerita Ranah 3 Warna tampak sangat mirip dengan pola cerita di Negeri 5 Menara, jadi bagi mereka yang sudah membaca novel Negeri 5 Menara, sedikit banyaknya akan timbul prediksi-prediksi tertentu ketika membaca Ranah 3 Warna.
- SEKILAS TENTANG PENGARANG
Pengarang novel Ranah 3 Warna adalah Ahmad Fuadi, seorang anak asli Maninjau Sumatra Barat. Ia lahir di Bayur, kampung kecil dipinggir danau maninjau tahun 1972. Fuadi merantau ke Jawa, memenuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor ia bertemu dengan kyai dan ustaz yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang mengajarkan kepadanya 'mantra' sederhana yang sangat kuat, man jadda wajada, dan man shabara zhafira.
Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi wartawan majalah Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fullbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Tahun 2004 jendela dunia terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter.
Fuadi telah mendapatkan 8 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapat kesempatan tinggal dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Kini Fuadi sibuk menulis, jadi pembicara, dan motivator. Novel Ranah 3 Warna merupakan novel kedua dari trilogi novel Negeri 5 Menara.
- EPILOG
Pesan Kiyai Rais: "Anak-anakku... Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat".***
- Penulis: Dede Rudiansah