Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi tentang Buku: Ajimat, Raindrop Falling from Heaven

7 Februari 2023   06:00 Diperbarui: 24 November 2023   01:39 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajimat, Raindrop Falling from Heaven

Angin menyeruak, mengeluarkan serangkaian guritan alam, malam ini. Pada puncaknya malam, ku pandangi kau dengan penuh ketakjuban: indah, gemerlap, dan penuh hasrat.

Kurasakan ribuan memori berdesak-desak, menuntut satu tempat, yang tak seorang pun boleh menginjakkan kaki. Bagai purnama di pekat malam, kau sanggup merampas seluruh perenungan, malam ini.

Tak ada tangis, tak ada hujan. Tapi tembang yang tak sengaja kau temukan, Crying in the Rain sanggup jadi suara kita, di sewindu ini. Tak ada rasa formil, yang ada hanyalah rasa hangat yang unik.

Harummu penuh darah, amarah. Dan tak terduga, sinar matamu menerobos barikade aparat yang aneh setriwulan ini.

Oo... Kau. Sudah berapa kali Santiago dan Manolin kau kisahkan padaku? Tak cukupkah, kita terus mengasihani kakek tua itu? Barangkali, kita butuh berkisah tentang angkuhnya Alina, atau tentang naifnya si tukang pos bukit kapur? Walau, ya... Pada akhirnya kita dipaksa mengasihani Sukab kembali.

Oo... Kau. Harummu penuh hasrat, amarah. Dan tak terduga, sinar matamu menelanjangi kita berdua satu masa ini.

Barangkali kita butuh berkisah tentang Keenan dan Kugi, atau tentang Ekalaya serta Anggraeni? Namun, tetap yang sanggup merampas perenunganmu hanyalah kisah aneh Majnun dan Layla, atau kisah marah Minke serta Annelies.

Dalam pelukan malam buta, aku harap bisa hentikan waktu. Berdamai dengan Bathara Kala, dan sempurna dalam pelukanmu.

Tembang enam puluhan itu berangsur sambung dengan khutbah sang Seno dan papa Ernesto. Bagai rangkaian dialog Before Sunrise, Sunset, dan Midnight tak ada rasa formil, yang ada hanyalah rasa hangat yang abadi.

Pada penghabisan malam ini, ku pandangi kau dengan penuh takjub kembali: indah, gemerlap, dan penuh hasrat. Kubisikan lembut pada cantiknya dirimu: kesialan hanyalah milik Sukab dan Santiago.*** Cirebon, 10 Oktober 2022

  • Penulis: Dede Rudiansah 
  • Referensi: Lagu: The Everly Brothers - Crying in the Rain (instrumental) (1962). Buku/Prosa: Ernest Hemingway - The Oldman and the Sea (1952); Seno Gumira Ajidarma - Sepotong Senja untuk Pacarku (1991), Jawaban Alina (2001), Tukang Pos dalam Amplop (2001); Dewi Lestari - Perahu Kertas (2009); Nizami Ganjavi - Leyli O Majnun (1192); Herjaka HS - Kidung Malam (2010); Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia (1980). Film: Richard Linklater - Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), Before Midnight (2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun