Perjalanan pendidikan nasional Indonesia dapat ditinjau dari masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Pada masa kolonial inilah pendidikan pribumi diketahui hanya diperuntukkan untuk segelintir orang, yaitu mereka yang berdarah bangsawan saja.
Walau demikian, pendidikan yang dimaksud justru cenderung berkutat pada ranah teknis-vokasi, dan lebih dekat dengan istilah pelatihan daripada pendidikan. Sebab pendidikan di masa kolonial ini ditujukan untuk mencetak calon pegawai/pekerja dari kalangan pribumi, tentu dengan semangat melanggengkan pengaruh kolonial di Hindia Belanda (Nusantara).
Pada tahun 1920, Ki Hadjar Dewantara (KHD) mengusulkan gagasan dalam dunia pendidikan, yang perlahan membawa perubahan radikal pada konsep pendidikan nasional. Hingga akhirnya pada 1922 KHD pun menginisiasi lahirnya organisasi pendidikan, "Taman Siswa".
Dalam konsep pendidikannya tersebut KHD memberi arahan kepada guru bahwa dalam pembelajaran selain menghadirkan pengajaran, seorang guru harus juga bisa menghadirkan pendidikan. Menghadirkan pendidikan di sini artinya guru harus bisa membantu-menuntun murid agar bisa selamat dan berkembang sesuai dengan kodrat serta potensinya masing-masing.
Hal itu penting untuk dilakukan. Sebab menurut KHD seorang guru/pendidik itu ibarat seorang petani yang hanya bisa memaksimalkan tumbuh kembangnya benih padi dan tidak bisa mengubah benih padi menjadi tanaman jagung.
Selain itu, KHD juga menekankan kepada guru agar bisa mengarahkan murid sesuai dengan kodrat alam serta zamannya. Maksudnya, seorang guru harus mampu menuntun para muridnya untuk bisa akrab, tahu, menghargai, dan menghormati setiap nilai alam, sosial, serta budayanya. Juga harus bisa membantu murid untuk siap menyambut segala perkembangan yang ada.
Kemudian, jika dikaitkan dengan kodrat alam, yakni identitas manusia Indonesia, maka manusia Indonesia adalah manusia yang bersatu dalam keberagaman, menghayati dan memegang teguh nilai-nilai Pancasila, serta nilai-nilai kereligian yang ada.
Dalam regulasi pendidikan terbaru, yakni Kurikulum Merdeka nilai-nilai Pancasila kemudian terejawantah dalam konsep Profil Pelajar Pancasila (P3). P3 sendiri merupakan cara untuk mewujudkan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Beberapa uraian dimensi P3, diantaranya 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; 2) mandiri; 3) bergotong-royong; 4) berkebinekaan global; 5) bernalar kritis; dan 6) kreatif. Dari keenam dimensi tersebut diketahui bahwa beberapa di antaranya selaras dengan semangat pendidikan di abad 21, yang menekankan pada keterampilan 4C (Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication).
Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, dengan visi P3-nya tentu membutuhkan berbagai tahapan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak cukup dengan simsalabim langsung berubah. Semuanya membutuhkan proses.
Proses adaptasi ini tampak di beberapa lembaga penyelenggara pendidikan yang memang masih terdapat kesenjangan dalam pengimplementasiannya. Sebut saja beragam tantangan, seperti pada ranah kompetensi/kesiapan guru, penyesuaian sarana-prasarana sekolah, serta pembaruan pola pikir masyarakat (khususnya orang tua murid).
Salah satu contohnya terjadi di salah satu SLTP di Kota Cirebon (tempat dulu saya mengajar). Sekolah tersebut, secara formal sudah menggunakan Kurikulum Merdeka, hanya saja dalam praktiknya belum begitu tampak. Pembelajaran masih berpusat pada guru dan diferensiasi dalam pembelajaran pun belum ada.
Adapun justru yang cukup mencolok terkait perubahan dari dieterapkannya Kurikulum Merdeka hanya tampak dari adanya kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) saja. Selain itu, tampaknya hampir serupa dengan implementasi kurikulum sebelumnya, belum terlalu ada perubahan.
Semuanya membutuhkan waktu, proses, setahap demi setahap, dan tidak instan. Terlebih jika kita ingat usaha perubahan paradigma dalam pendidikan nasional ini baru berjalan kurang lebih satu tahun. Masih membutuhkan waktu dan penyesuaian dari segala sisinya.
Dalam hal ini semua pihak dan elemen pun diharap untuk bisa ikut andil dalam usaha perubahan, mulai dari guru, kepala sekolah, orang tua murid, sampai dengan masyarakat pada umumnya. Mari bersama-sama mewujudkan visi pendidikan nasional Indonesia untuk mencetak Pelajar Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H