Mohon tunggu...
Dede Permana
Dede Permana Mohon Tunggu... -

Dede Permana Nugraha, seorang penikmat kehidupan, tinggal di Tunis. Menulislah, katanya, niscaya dunia tau apa yang sedang kau pikirkan. Email : dedepermana@yahoo.com. Face Book : Dede Ahmad Permana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menimbang Jumat 3 Gelombang

28 Maret 2015   14:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karena ada kesibukan sejak pagi hingga siang, terpaksa kemaren aku shalat Jumat gelombang ketiga di Masjid al Halq yang berlokasi di Suq Ashr, Old Tunis.


Dikatakan gelombang ketiga, karena khatib naik mimbar sekitar 40 menit sebelum adzan Ashar. Khatib berkhutbah kira-kira 30 menit, kemudian shalat Jumat. Setelah rehat sejenak, dilanjut dengan adzan dan shalat Ashar berjama’ah.

Juga dikatakan ‘terpaksa’, karena aku biasanya shalat Jumat awal waktu. Shalat pada gelombang ketiga hanya kulakukan saat ada urusan yang tidak bisa ditunda.

***

Untunglah di Tunis ini ada beberapa pilihan waktu shalat Jumat : awal waktu (dimulai sekitar jam 12.30), pertengahan (dimulai pukul 14.00), dan akhir (dimulai jam 15an atau menjelang Ashar).

Pembagian jadwal ini ditetapkan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah yang menunjuk masjid A Jumat pertama,masjid B Jumat kedua, masjid C Jumat ketiga, dan seterusnya. Pertimbangan utamanya adalah lokasi masjid. Masjid di kawasan keramaian atau pasar, umumnya Jumat kedua atau ketiga. Seperti di masjid al Halq tadi yang berlokasi di dekat pasar tradisional. Masjid Agung Zitouna, menggelar Jumat pada gelombang kedua. Masjid dekat kawasan perkantoran, umumnya Jumat pertama, mengingat jam istirahat kantor biasanya pukul 12.30-14.00. Di kawasan pedesaan, mayoritas masjid juga menggelar Jumat pada gelombang pertama.

Dengan pembagian seperti ini, maka sebuah urusan yang sangat penting (yang seandainya ditunda akan lebih repot) atau acara-acara resmi, tidak mesti “harus dihentikan” pada jam 12.30, melainkan dapat tetap dituntaskan hingga jam 14.00 atau 15.00, tanpa kekhawatiran “tidak kebagian Jumat”.

Kebijakan pemerintah ini memberikan banyak kemudahan bagi umat. Setiap orang dapat memilih waktu Jumat sesuai dengan aktifitasnya. Hal ini jelas sejalan dengan prinsip raf’ul harj (menghilangkan kesulitan), yang merupakan salah satu karakter sekaligus maqasid (tujuan) syariat Islam. Dalilnya sangat banyak, baik dalam Al Quran maupun Hadits.

Mungkin pembaca bertanya-tanya, bolehkah shalat Jumat pada akhir waktu? Dalam fikih Maliki yang dianut Muslim Tunisia, waktu shalat Jumat adalah sama dengan waktu shalat dzuhur. Artinya, dimulai sejak tengah hari, berakhir saat datang waktu Ashar.  Dalam kitab al Mudawwanah al Kubra – kitab fikih induk kaum Malikiyah, berisi pendapat-pendapat Imam Malik yang ditulis oleh murid-muridnya – disebutkan bahwa Sahnun bertanya kepada Abdurrahman bin Qasim, apa pendapatmu jika imam beserta makmumnya belum shalat Jumat hingga datang waktu Ashar? Abdurrahman menjawab, tunaikan saja shalat Jumat meskipun matahari sudah terbenam.

Keluasan waktu ini dimanfaatkan oleh pemerintah Tunisia untuk menerapkan sebuah kebijakan sesuai dengan kebutuhan atau kemaslahatan  masyarakat luas. Waktu pelaksanaan Jumat dibuat fleksibel, supaya aktfitas warga tetap berjalan baik. Warga yang memilih waktu-waktu itu, sesuai dengan kemaslahatan dirinya. Bukankah setiap kebijakan pemerintah itu harus didasarkan atas kemaslahatan (manutatun bil mashlahah)?

***

Di sisi lain, pembagian gelombang Jumat ini menyisakan beberapa persoalan. Di antaranya : pertama, seseorang tidak akan ketauan jika ia memang tidak shalat Jumat. Ketika diajak Jumat jam 13.00 siang, ia bisa saja menjawab, nanti mau ikut gelombang kedua. Maka tak heran jika saat shalat Jumat pertama berlangsung, kafe tetap penuh, pasar tetap rame, jalan raya tetap macet. Apakah mereka tidak shalat Jumat? Belum tentu. Khan nanti ada jumat kedua dan ketiga.

Dengan demikian, jika ada program razia pria Muslim yang tidak Jumatan - sebagaimana diterapkan di beberapa daerah di tanah air- tentu tidak akan berjalan efektif, karena setiap orang bisa berkilah.

Kedua, mungkin soal syiar. Jika Jumat digelar satu waktu alias serentak, terlihat berduyun-duyunnya jemaah menuju Masjid. Silaturahmi pun terbangun lebih optimal, karena hampir semua orang ada di Masjid pada saat yang bersamaan. Sisi ini tidak akan terjadi pada Jumat 3 gelombang seperti di Tunis.

Ketiga, tentang makna ayat, “fas’au ila dzikrillah wa dzarul bai’. Jika adzan Jumat telah berkumandang, maka akad jual beli atau transaksi bisnis lainnya hukumnya haram. Demikian pendapat Jumhur ulama, sebagaimana dipaparkan al Qurthubi dalam tafsir ahkamnya. Jika shalat Jumatnya tiga gelombang, apakah hukum ayat ini juga tetap berlaku? Perlu didiskusikan lebih lanjut oleh para ahli ilmu. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 28 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun