Mohon tunggu...
dede nurjanah
dede nurjanah Mohon Tunggu... Lainnya - Baarokallah

Happy writing

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Catatan Masa

7 Agustus 2024   16:36 Diperbarui: 7 Agustus 2024   16:38 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari masa ke masa, tiap per gantian pemimpin negeri, selalu berubah kebijakan. Hal itu sangatlah wajar, agar ada perubahan.

Dalam menyikapi pemerintahan era sekarang ini, bukanlah sekadar perubahan, tetapi keberlanjutan. Namun untuk kurikulum pendidikan selalu berubah dan berganti-ganti, tidak seperti dulu lagi.

 

Seandainya lebih baik untuk kedepannya mungkin sangatlah tepat. Tetapi bila hanya menimbulkan kisruh dan terbengkalai, maka sangatlah tidak wajar. Zaman kecil saya dulu, dalam hal penyediaan buku paket bisa di  lanjutkan kepada adik kelasnya, dengan sistem estafet. Dengan begitu, meringankan beban guru dan orang tua. Jadi satuan guru pendidikan hanya tinggal mengurusi buku lembar kerja siswa atau yang di sebut LKS. 

Harga buku paket jauh lebih tinggi di bandingkan dengan harga buku LKS. Jadi yang di wajibkan  para siswanya hanya membeli LKS saja. Sedangkan buku paket bisa di dapat dari penyediaan sekolah yang mana selama satu tahun di pinjamkan kepada para pelajar atau siswanya. Dengan syarat di jaga kebersihannya dengan memberikan sampul. Bisa juga dengan mengijinkan siswanya membeli yang bekas atau bisa dari kakak kelasnya. Intinya tidak di wajibkan membeli. 

Banyak sekali manfaatnya dengan menetapkan kurikulum pendidikan yang konsisten.Tidak berubah-ubah.  Begitu pula dalam penyediaan s8888eragam sekolah. Bila sekolah membebaskan atau mempersilahkan membeli baju seragam sekolah di luar  kecuali seragam batik dan olah raga di sekolah itu membuat orang tua senang. Di samping tidak harus menjahitkan bahan baju seragam yang didapat dari sekolah, juga lebih menghemat waktu, tenaga dan keuangan tentunya. 

Semua itu kita kembalikan kepada para pemangku jabatan. Kita hanya belajar dari pengalaman yang sudah- sudah. Bila banyak kebaikan nya maka kita tiru dan aplikasi kan. Namun bila lebih buruk dan cenderung menyalah gunakan, lebih baik di hentikan. Bila perlu di lengserkan. Dalam penyetujuan alat kontrasepsi untuk pelajar  contohnya. Sungguh sangat bertentangan dengan akhlak yang baik sebagai bangsa Indonesia yang memiliki nilai Budi pekerti luhur. 

Masih bisa di kendalikan dengan imtaq. Janganlah hanya mengandalkan  atau mengendalikan  benda asing yang membuat citra buruk kedepannya. Semua elemen masyarakat terutama para pendidik bangsa yang cerdas tangkas perlu turut andil. Demi kemaslahatan umat manusia. 

Semua itu ada saatnya, ada waktunya. Bila belum masanya, janganlah di sodorkan alat kontrasepsi. Jangan pula  memberikan umpan. Berikanlah ilmunya, sarannya, nasihatnya. Jika hanya fokus kepada keuntungan semata, maka pemerintah ini akan tragis kisahnya. Janganlah cari jalan  pintasnya. Demikian informasi ini semoga menjadi catatan di masa depan. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun