Mohon tunggu...
Deden Haedar
Deden Haedar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Soft Diplomacy sebagai Solusi dari Ancaman Program Nuklir Korea Utara bagi Perdamaian Dunia

12 September 2024   01:55 Diperbarui: 12 September 2024   02:05 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah perkembangan program nuklir Korea Utara

Perkembangan senjata nuklir di Semenanjung Korea menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Program nuklir Korea Utara, yang dimulai sejak pertengahan abad ke-20, terus memicu kekhawatiran global terkait proliferasi senjata nuklir. Jika dilihat dari kacamata hubungan internasional ancaman ini memiliki dampak besar tidak hanya pada kawasan Asia Timur, tetapi juga stabilitas global. Dalam esai ini, saya akan membahas sejarah ancaman nuklir Korea Utara, dampaknya terhadap stabilitas internasional, serta solusi-solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam ketegangan dan mencegah eskalasi konflik.

Program nuklir Korea Utara dimulai pada tahun 1960-an dengan bantuan teknologi dari Uni Soviet. Awalnya, program ini difokuskan pada riset dan energi, tetapi pada 1980-an, rezim Kim Il-sung mulai mengalihkan program tersebut ke arah pengembangan senjata nuklir. Ambisi ini bertujuan untuk memperkuat kedaulatan Korea Utara di tengah tekanan geopolitik dari negara-negara Barat dan tetangga regionalnya. Lalu pada tahun  2003, Korea Utara secara resmi menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), hal tersebut  menandai eskalasi ketegangan internasional terkait ancaman nuklirnya. Keputusan ini didorong oleh ketegangan antara Korea Utara dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang mengungkap ketidaksesuaian dalam laporan plutonium Pyongyang.

Ketegangan nuklir Korea Utara mencapai puncaknya dengan uji coba nuklir pertama pada 9 Oktober 2006, yang diikuti uji coba lainnya di tahun-tahun berikutnya , terhitung lima kali uji coba dilakukan, terakhir yaitu  pada september 2017. Uji coba ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan Korea Utara, termasuk pengembangan senjata termonuklir (hidrogen) yang diyakini memiliki daya ledak sebesar 140 hingga 250 kiloton. Hal ini tentu memicu kecaman global dan sanksi keras dari PBB, tetapi rezim Kim Jong-un tetap teguh mempertahankan program nuklirnya, ia melihat program nuklir ini kunci untuk kelangsungan rezim dan sarana penting untuk memperkuat posisinya di arena internasional.

Jika dilihat lagi sebenarnya program nuklir ini tidak hanya sebagai bentuk defensif korea utara  dari ancaman luar, tetapi juga sebagai alat politik yang digunakan Korea Utara untuk memperkuat kekuatan negosiasinya di hadapan negara-negara besar. Upaya nyata sebenarnya telah dilakukan dalam bentuk diplomasi antar negara, yaitu   Perundingan Enam Pihak atau lebih dikenal dengan nama six-party talks yang dimulai pada tahun 2003 yang melibatkan beberapa negara besar seperti  Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia, perundingan ini bertujuan untuk menahan ambisi nuklir dengan beberapa kesepakatan. Meskipun beberapa kesepakatan sempat tercapai, perundingan tersebut berakhir pada 2009 tanpa hasil yang signifikan, terutama karena ketidakmampuan pihak-pihak yang terlibat untuk menyepakati verifikasi dan mekanisme pelaksanaannya.

Ancaman dan ketegangan dunia internasional 

Ancaman nuklir Korea Utara menciptakan ketegangan yang serius di kawasan Asia Timur, terutama bagi Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara ini berada dalam jangkauan langsung rudal balistik Korea Utara. Sebenarnya sanksi internasional yang telah ditetapkan oleh PBB dan negara-negara Barat memberi dampak yang cukup berpengaruh, salah satu contohnya yaitu kondisi ekonomi Korea Utara merosot , tetapi sanksi ini tidak cukup kuat dan membuat jera bagi korea utara untuk menghentikan program nuklirnya . Rezim Kim Jong-un terus menggunakan ancaman nuklir sebagai alat negosiasi dengan komunitas internasional, sembari mempropagandakan keadaan bahwa sanksi ekonomi yang dikenakan adalah bentuk agresi dari negara-negara asing,

Korea Utara terus mengembangkan program nuklirnya, termasuk peluncuran rudal balistik antarbenua (ICBM) pada tahun 2017  yang mampu mencapai wilayah Amerika Serikat. Hal ini tentu semakin mendapat kecaman internasional, terutama  Amerika Serikat , pada saat itu melalui presidennya Donald Trump merespon tindakan korea utara ini dengan retorika ancaman yang keras,  Presiden Donald Trump memperingatkan bahwa setiap ancaman terhadap Amerika Serikat akan disambut dengan "api dan kemarahan" yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saling ancam-mengancam melalui retorika publik semakin meningkatkan ketegangan. Presiden Donald Trump juga di beberapa kesempatan menyebut Kim Jong-un sebagai "Little Rocket Man" dalam berbagai pernyataannya, menggambarkan pemimpin Korea Utara sebagai pemimpin yang berbahaya dan tidak rasional. Sebagai respons, Kim Jong-un menyebut Trump sebagai "dotard" (orang tua yang bodoh) dan mengancam akan meluncurkan serangan nuklir ke wilayah AS, termasuk Guam, yang saat itu menjadi fokus ketegangan karena posisinya yang strategis.

Puncak ketegangan ini terjadi pada Sidang Umum PBB 2017, dimana Trump menyatakan bahwa jika AS terpaksa untuk membela diri dan tidak punya pilihan selain sepenuhnya menghancurkan Korea Utara. Ini adalah pernyataan publik paling eksplisit dari Trump yang mengisyaratkan potensi konflik militer besar antara kedua negara sehingga tentunya hal ini menimbulkan ancaman bagi perdamaian dunia . Retorika ini semakin memperburuk kekhawatiran global bahwa konfrontasi antara kedua negara bisa berujung pada perang nuklir. Akan tetapi ketegangan dari kedua negara ini akhirnya mulai mereda setelah kedua pemimpin bertemu dalam KTT bersejarah di Singapura pada tahun 2018  yang menjadi salah satu upaya pertama sejak ketegangan terjadi untuk membangun dialog damai di antara kedua negara, meskipun hasilnya tidak sepenuhnya menyelesaikan isu denuklirisasi korea utara.

Solusi efektif dengan upaya pendekatan baru

Solusi untuk meredakan ancaman nuklir Korea Utara harus mencakup pendekatan diplomatik yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Negosiasi multilateral, seperti yang dilakukan dalam perundingan Six-Party Talks perlu dihidupkan kembali dengan fokus pada jaminan keamanan dan bantuan ekonomi yang komprehensif bagi Korea Utara. Selain itu, melibatkan China dan Rusia sebagai sekutu utama Korea Utara dapat membantu menekan Pyongyang untuk menghentikan program nuklirnya. Pembentukan zona bebas nuklir di Semenanjung Korea juga bisa menjadi solusi efektif untuk menciptakan stabilitas jangka panjang dengan pengawasan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), zona ini bisa mencegah penggunaan dan penyimpanan senjata nuklir di wilayah tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun