Mohon tunggu...
Deden Ramadani
Deden Ramadani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peneliti Sosial. Menyukai tiga hal dalam hidup : sinema, teknologi dan penelitian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ambisi Hegemoni Bersenjata Etnis dan Agama

29 September 2012   12:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:30 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret yang menarik dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang baru saja kita lewati adalah begitu kuatnya isu SARA dalam kampanye hitam yang disebarkan oleh pihak incumbent, Fauzi-Nara. Pihak incumbent secara gencar menyerang salah satu kandidat yang berasal dari kelompok minoritas di Indonesia yaitu Ahok, seorang keturunan cina dan beragama kristen protestan. Dari apa yang pernah saya alami dan kumpulan berita yang saya temukan, incumbent menggunakan cara dengan mempengaruhi para tokoh agama islam (Kyai, Ustadz, Habib) dan juga pemangku kepentingan (seperti Ketua RT, RW, Lurah hingga Kecamatan) untuk menyuarakan agar memilih pemimpin yang berasal dari agama islam berdasarkan ayat Al-quran. Incumbent sebenarnya sedang bermain api ketika memilih menggunakan etnik dan agama untuk memuaskan ambisinya. Pihak incumbent tidak melihat dampak yang meluas dan panjang akibat penggunaan etnik dan agama ini pasca pemilukada, yaitu konflik sosial atas dasar etnik dan agama. Lebih luas lagi, konflik ini akan mengancam proses integrasi sosial. Daniel L Byman dalam buku Keeping the Peace : Lasting Solutions to Ethnic Conflict menjelaskan empat teori tentang penyebab konflik antar etnis, yaitu : Dilema Keamanan Kelompok Etnik Dilema Keamanan Kelompok Etnik adalah segala usaha untuk meningkatkan keamanan yang dilakukan suatu kelompok sehingga menimbulkan reaksi balik dari kelompok lain dan pada akhirnya membuat kelompok tersebut merasa kurang aman. Upaya meningkatkan keamanan ini yang dilakukan kelompok ini disebabkan diantaranya oleh tiga faktor ; Pertama,  situasi perubahan yang mendadak. Kedua, pemerintah pusat menjadi bagian dari konflik. Ketiga, tidak ada otoritas yang dapat menjamin keamanan suatu kelompok.

13489224121392732199
13489224121392732199
Dari apa yang terjadi dalam pemilukada DKI Jakarta kemarin, sebenarnya Incumbent sedang bermain-main diantara 3 faktor tersebut. Pemerintah pusat yang diwakili Incumbent berperan sebagai bagian dari konflik. Mereka menghasut masyarakat bahwa perubahan yang mendadak apabila pihak Jokowi-Ahok menang berdampak pada tidak ada lagi otoritas yang dapat menjamin keamanan kelompok muslim dan betawi, seperti apa yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta saat ini. Pihak Incumbent menghasut seakan-akan etnis cina dan kristen nantinya akan menguasai Jakarta dan masyarakat muslim dan betawi (sebagai mayoritas) akan disingkirkan. Perlindungan Status Perlindungan status terjadi manakala terjadi ketakutan kelompok terhadap dominasi kelompok lain, baik secara material maupun budaya. Sebagai contoh isu yang disebar oleh pihak incumbent bahwa secara material nantinya orang cina akan menguasai Jakarta dan orang betawi akan tersingkirkan apabila Jokowi - Ahok memenangkan Pilkada. Secara budaya, penekanan incumbent bahwa “Hanya orang betawi yang boleh memimpin Jakarta” adalah bentuk kampanye perlindungan status masyarakat betawi. Terlebih Jokowi- Ahok bukan orang betawi. Ambisi Hegemoni Ambisi hegemoni tercermin ketika suatu kelompok yang berkuasa tidak cukup puas dengan bertahannya nilai-nilai budaya dan institusi mereka saja, tetapi ingin menjadi kelompok dominan. Mereka seringkali menuntut perlakuan tertentu dari pemerintah dan penjajahan terhadap kelompok lawan dengan menekannya sehingga bersedia menerima posisi yang lebih rendah dalam hal ekonomi, sosial dan politik.
13489224921461162011
13489224921461162011
Uniknya, Kelompok besar yang berkuasa di DKI Jakarta yaitu etnis muslim dan betawi sebenarnya adalah kelompok yang dapat masuk kategori “Silent Majority” hasil depolititasi politik Orde Baru. Justru kelompok kecil yang mengaku mewakili kelompok besar yang bersuara paling vokal, yaitu FPI. tuntutan FPI jelas-jelas tergambar dari apa yang mereka lakukan. Mereka ingin menjadikan Islam sebagai agama yang dominan dan mengatur segala hal. Mereka juga menganggap orang-orang minoritas diluar agamanya adalah orang yang berada dalam posisi lebih rendah dan harus ditekan baik secara ekonomi, sosial dan politik. Pihak Incumbent justru memanfaatkan FPI sebagai kuda politiknya. Mereka seakan “mendukung” kondisi yang diinginkan FPI dan melihat pihak Jokowi - Ahok sebagai perwakilan kelompok minoritas sebagai pihak yang berada dalam posisi rendah dan harus ditekan baik secara ekonomi, sosial dan politik. Bahkan, kalau perlu dienyahkan. Aspirasi Kaum Elit Aspirasi Kaum Elit adalah adanya ambisi dari elit kelompok etnik tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan isu-isu ketakutan, kebencian dan ambisi kelompok etnik. Isu yang disebarkan misalnya apabila Jokowi - Ahok menang maka Jakarta akan dibangun banyak Gereja. Selain itu, ketakutan-ketakutan dan kebencian masa lalu terhadap etnis cina kembali diangkat dan dimanfaatkan oleh para elit agar mereka mendapat dukungan untuk mempertahankan kekuasaannya.
1348922528902670443
1348922528902670443
Dalam penjabaran singkat tersebut, saya juga ingin mengungkapkan atas apa yang diungkapkan Frans Budi Hardiman dalam buku Kewarganegaraan Mulitikultural tulisan Will Kymlicka : “Suatu politik yang ingin melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justru “menabung” dendam kultural. Elemen-elemen kolektif yang ditekan itu pada giliarannya akan memberontak dan mendekonstruksi tatanan politis dan ideologi bersama” Oleh karena itu, bagi saya dalam melihat hasil quick count Pemilukada DKI Jakarta bukanlah melihat presentase Jokowi - Ahok yang memenangkan suara sebesar 53%, melainkan melihat presentase yang masih memilih Foke-Nara sebesar 47%. Terlepas dari mesin politik dan dukungan partai, bagi saya ini adalah cerminan bahwa masih banyak masyarakat Jakarta yang terpengaruh hasutan etnis dan agama ini. Terlebih dibandingkan suara pada putaran pertama yang dimiliki Foke-Nara sebesar 34%. Tentu, dampak dari kampanye penggunaan etnis dan agama yang tidak dapat diselesaikan dalam semalam menjadi pekerjaan rumah pertama yang harus dihadapi Jokowi - Ahok kedepannya. Jokowi - Ahok harus berupaya mempersatukan kembali masyarakat DKI Jakarta yang multikultur ini dan membuktikan apa yang dihasut oleh pihak incumbent selama ini adalah salah besar. Akan tetapi, bukan berarti Jokowi - Ahok harus selalu berpihak terhadap mayoritas. Jokowi justru harus mendirikan sebuah pemerintahan yang tidak memaksakan pandangan tertentu kepada warganya, sebuah pemerintahan yang memiliki komitmen kebebasan, perdamaian, solusi pantang kekerasan, dan juga penghargaan atas keadilan, kesetaraan, toleransi dan perbedaan. Mampukah? Sumber Bacaan : Byman, Daniel L. Keeping the Peace: Lasting Solution to Ethnic Conflict. Baltimore and London. The John Hopkins University Press, 2002. Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta. UI Press, 2012. http://pilkada.tempo.co/konten-berita/pilkada_dki_serba_serbi/2012/09/20/430806/Quick-Count-Menang-Jokowi-Foke-Ucapkan-Selamat http://megapolitan.kompas.com/read/2012/07/30/09144362 http://www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/07/18/m7cgj8-hentikan-kampanye-sara-dalam-pilgub-dki sumber lain Sumber lain 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun