Mohon tunggu...
Deden Ramadani
Deden Ramadani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peneliti Sosial. Menyukai tiga hal dalam hidup : sinema, teknologi dan penelitian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bioskop Indonesia Sedang Dijajah

16 Juni 2012   12:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340091746369732652

Seminggu yang lalu, saya mampir ke bioskop Mitra Agung di daerah Pasar Senen, Jakarta. Awalnya, saya hanya berada di depan bioskop ini untuk menunggu teman yang akan datang menjemput. Saya dan teman saya sengaja menentukan tempat ini sebagai tempat bertemu karena mudah dijangkau dan terlihat. Karena jenuh menunggu teman saya yang tak kunjung datang, saya memilih untuk melihat-lihat ke dalam bioskop. Siapa tahu ada yang menarik di dalam bioskop ini. Di depan gerbang, saya disambut dengan penjual pecel dan beberapa pria (yang saya duga supir angkutan umum) duduk melingkar sambil menyantap makanan. Pura-pura seakan pengunjung lama, saya dengan santai masuk ke dalam bioskop yang kondisi fisiknya saat ini lebih cocok disebut sebagai tempat parkir mobil. Tak jauh dari pintu masuk, Masih ada tempat game center dengan warna kusam coklat yang beberapa mesinnya sudah tidak berfungsi lagi. Terlihat beberapa anak kecil pengamen sedang bermain disana. Tak lama melihat keseruan mereka, Pandangan saya tertuju kepada loket penjual tiket. Terpampang papan dengan tulisan berwarna merah “Tiket : Rp 5000”. “Gila, sudah 2012 masih ada yang menjual tiket bioskop goceng!” pikir saya spontan waktu itu. Dengan harga tiket sebesar itu, darimana bioskop ini mengambil untung? untuk bioskop seperti ini paling-paling penontonnya paling banyak 15 orang. Jika dihitung-hitung untuk sekali pemutaran (15 x Rp 5000) , bioskop ini hanya mendapat uang Rp 75.000. Itu belum dipotong biaya operasional, mengganti biaya pembelian seluloid (kalau tidak memakai sistem share 50:50 seperti di 21), membayar listrik, dan banyak lagi. Pemikiran saya lantas terpecah oleh siut-siut seorang wanita berdandan menor di sudut dinding. Wanita itu tersenyum centil sambil merokok seakan mengajak saya untuk menonton film. Tentu tidak hanya menonton film, mempraktikan adegan penuh nafsu yang ada di film lebih tepatnya. Saya teringat ucapan teman yang menyebut bioskop ini sebagai “bioskop esek-esek”. Tadinya saya pikir sebutan demikian hanya karena film-film yang diputar adalah film esek-esek. Melihat kondisi ini, sepertinya bukan hanya filmnya yang esek-esek, penontonnya pun melakukan esek-esek. Sempat ada hasrat untuk bertanya berapa tarif yang ditawarkan oleh wanita ini untuk sekali menonton bersama. Tetapi, samar-samar disekeliling wanita sudah berdiri preman-preman yang siap menghantam orang-orang yang hanya survey harga seperti saya. Daripada pulang babak belur, saya hanya tersenyum dan buru-buru keluar dari bioskop tersebut. INVASI KERAJAAN 21 Bioskop-bioskop bernasib serupa rasanya bukan hanya milik Mitra Agung semata. Masih banyak bioskop-bioskop lain yang berada dalam kondisi mati suri seperti ini. Beberapa bertahan dengan mengurangi jam tayang, menjual alat inventaris kantor, bahkan kalau perlu menjual sisa-sisa copy film lama berformat seluloid untuk didaur ulang. Kondisi seperti ini terjadi tentu bukan hanya karena bioskop ini ketinggalan zaman, kuno, atau tidak pandai berbisnis.  Bioskop ini dan bioskop-bioskop lainnya yang kondisinya serupa perlahan-lahan memang sedang dimatikan oleh sebuah raksasa bermodal besar. [caption id="attachment_195752" align="alignnone" width="400" caption="Kondisi Bioskop Permata. Sumber : http://tembi.org"][/caption] Jika kita melihat periodisasi sejarah, Periode perbioskopan sebenarnya dapat dibagi menjadi dua periode besar, yaitu periode bioskop sebagai usaha keluarga dan periode ketika bioskop menjadi bagian dari konglomerasi bisnis yang lebih besar. Pada masa bioskop didominasi sebagai usaha keluarga yaitu rentang tahun 1967, dapat dikatakan bioskop hidup dari tiga arus masuk utama film asing yaitu Amerika, Hongkong, dan India. Bioskop-bioskop pun melakukan pengkelasan masing-masing. Misalnya, untuk bioskop mewah, maka mereka akan menayangkan film-film Amerika. Bioskop kelas dua akan memutar film-film Mandarin dan India. Pada masa inilah ada pengaruh peran yang kuat dari distributor film. Memang, Ketika kita membicarakan bioskop (tempat eksebisi), sebenarnya kita juga membicarakan masalah distribusi film.  Pada masa itu, setiap distributor (ada istilah lain seperti booker dan broker dengan penjelasan kerja mereka yang lebih spesifik) menentukan dan paling mengerti film jenis apa yang seharusnya diputar dan di bioskop mana sesuai dengan pengkelasan tak tertulis. Dengan kepemilikian properti sendiri, permodalan yang tidak besar,membuat pada masa itu jumlah bioskop di Indonesia mencapai 700an (data Departemen Penerangan). Bioskop saat itu tidak perlu menyewa pusat perbelanjaan karena mereka memiliki gedung sendiri. Bandingkan dengan saat ini yang hanya berjumlah 139 gedung bioskop (21 dan Blitz) dimana nyaris keseluruhan bioskop ditempatkan di mall dan pusat perbelanjaan. Perubahan kondisi lokasi ini sebenarnya memiliki dampak terhadap kebiasaan menonton secara umum. Salah satu contohnya adalah mendorong bioskop menjadi bagian dari pola perilaku konsumen (consumer lifestyle) dan selalu berpusat pada kota-kota besar. Menonton bioskop menjadi bagian dari gaya hidup urban yang dikaitkan dengan gengsi dan kelas sosial. Karakter perbioskopan keluarga ini berubah di pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an seiring dengan masuk dan menguatnya pemain besar yaitu PT Subentra ke dalam bisnis bioskop dengan brand mereka yaitu bioskop 21. Secara bertahap, PT Subentra berhasil menguasai banyak bioskop, baik membangun yg baru, membeli bioskop lama, atau bekerja sama dengan pemilik lama. Bisnis Bioskop pun berubah status dari bisnis “keluarga” menjadi bisnis konglomerat.  Macionis, dalam bukunya Sociology mendefinisikan konglomerat sebagai sebuah perusahaan besar yang merupakan gabungan dari banyak perusahaan-perusahaan kecil. Seperti PepsiCO yang menguasai Pepsi-Cola, Frito-lay, dan sebagainya. PT Subentra sendiri merupakan bagian dari usaha konglomerat Sudwikatmono yang memiliki banyak bidang usaha lain termasuk indocement yang merupakan perusahaan semen terbesar di Indonesia di masa itu, pabrik terigu Bogasari dan perusahaan  real estate serta supermarket Golden Truly. Jika melihat lebih jauh, PT Subentra mendominasi bisnis bioskop Indonesia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, adanya dukungan politik dari pemerintah orde baru terhadap PT Subentra. Patut diketahui Sudwikatmono adalah adik ipar Presiden Soeharto. Kedua, penyatuan distribusi dan eksebisi di tangan kelompok usaha PT Subentra melalui perusahaan satu atap PT Suptan. Kelompok ini mendominasi arus masuk film asing. Ketiga, adanya kerjasama dengan studio besar yg tergabung dalam MPAA (waktu itu masih bernama MPEA)  yang memberi posisi tawar luar biasa kepada mereka. ketika MPAA memilih perusahaan-perusahaan yg berada satu atap dengan PT Subentra untuk menjadi mitra distribusi film-film mereka di Indonesia sejak 1991, maka hal ini membuat posisi PT Subentra berada di atas angin, dibandingkan para pesaing dan mitra mereka. Penguasaan terhadap arus masuk film impor ini merupakan alat ampuh bagi PT Subentra untuk melakukan ekspansi distribusi film besar-besaran. Distribusi jalur tunggal ini membuat distributor-distributor kecil yang membawahi bioskop-bioskop sebagai klien setianya mengalami kekurangan pasokan film. Hal ini berdampak pada bioskop-bioskop tersebut terpaksa memutar film-film stok lama, penonton berkurang satu-persatu hingga akhirnya tutup. Beberapa bioskop pun memilih untuk bergabung menjadi bagian dari 21 untuk mempertahankan kehidupan mereka. Meskipun pada akhirnya, terlalu besarnya tekanan membuat mereka menyerah dan menjual bioskop tersebut. Kedudukan 21 pun semakin kuat dan kokoh di kancah perbioskopan Indonesia sekaligus menciptakan "monopoli" dalam dunia perbioskopan Indonesia. Upaya memisahkan antara produksi-distribusi dengan eksebisi sebenarnya sudah ada pada UU no.33 tahun 2009 tentang perfilman. Ketentuan ini mengacu pada model di Amerika Serikat yang sejak tahun 1948 telah menetapkan larangan terjadinya integrasi vertikal antara bioskop (eskebisi) dengan distributor agar tercipta usaha yang sehat.  Masih ingat kah kita tentang peristiwa terhentinya film-film impor di bioskop setahun silam? bukankah masalah akan cepat selesai dengan mengganti distributor yang saat itu terlibat skandal pajak? tentu, masalahnya tidak sesederhana itu. Sulit bagi pemain baru untuk tumbuh dengan sehat mengingat adanya dominasi akibat menyatunya perusahaan distributor dengan perusahaan eksebitor sebagaimana diperlihatkan dalam bagian sebelumnya. Sudah tahu kah bahwa bioskop-bioskop 21 saat ini sedang mengganti seluruh alat putar film dari seluloid menjadi digital? tentu, Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Menurut informasi yang beredar, diperlukan biaya kurang lebih 1 Milyar per studio. Jika di Indonesia ada 600 studio (bukan 600 bioskop seperti pernyataan Jero Wacik setahun silam) milik 21, maka diperlukan biaya sekitar 600 Milyar. Sebuah dana yang tidak sedikit untuk pembelian alat. Lantas, Untuk apa mereka mengganti semua alat tersebut? apakah hanya untuk modernisasi saja? Coba bayangkan, bioskop-bioskop tua yang saat ini masih menggunakan seluloid berusaha bertahan hidup dengan memutar film-film impor dari sisa distributor 21. Ketika 21 mengganti alat putar filmnya dari seluloid menjadi digital, otomatis distributor (yang juga bagian dari kerajaan 21) tidak akan lagi mengimpor film berformat seluloid, melainkan  format digital saja. Kalau begitu darimana bioskop-bioskop seperti Mitra Agung mendapat pasokan film? Jadi, jangan salahkan jika Bioskop-bioskop seperti Mitra Agung akhirnya harus pintar memutar bisnis bioskopnya agar tetap bertahan. Ya salah satunya itu tadi, menjajakan wanita sebagai teman menonton film. Semoga saja 21 tidak menyediakan fasilitas seperti ini nantinya. Kalau mereka menyediakan fasilitas ini, kematian bioskop Mitra Agung tinggal menunggu waktu.

Silakan saja sambil esek-esek, yang penting tetap putar film.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun