Hari itu, Nina datang ke pemakaman Bagas. Dia berdiri di sana, di depan nisan sederhana yang terukir nama Bagas. Suasana hening, hanya suara angin yang mengalir lembut di antara pepohonan. Nina menundukkan kepala, merasa beban penyesalan begitu berat. Dia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu. Yang tersisa hanyalah rasa sesal yang tak terucapkan.
"Maaf... aku seharusnya lebih tahu," bisik Nina lirih. Matanya yang sembab menatap nisan itu dengan perasaan campur aduk. Dalam keheningan, Nina tahu dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga---sebuah kesempatan untuk mengenal seseorang yang mencintainya dengan begitu dalam, tanpa pamrih.
Di kampus, kehidupan tak lagi sama tanpa kehadiran Bagas. Mereka yang dulu memandang rendah dirinya kini merasa kehilangan. Mereka yang menghormatinya sebagai pemimpin geng mulai merindukan sosok yang tak pernah mereka pahami sepenuhnya. Dalam diam, banyak yang menyadari bahwa Bagas adalah pemuda yang baik hati, meski terjebak dalam dunia yang kelam. Kepergiannya membawa luka yang dalam bagi mereka yang tidak sempat mengenalnya lebih baik.
Nina, di sisinya, akan selalu mengenang Bagas sebagai cinta yang tidak sempat terungkap. Kehilangan Bagas adalah pelajaran pahit yang mengajarinya untuk tidak menilai seseorang hanya dari apa yang tampak di luar. Ada begitu banyak hal yang tak terlihat di balik wajah seseorang---hal-hal yang hanya bisa dipahami jika kita membuka hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H