Riuh rendah nyanyian sang penyambut Mentari. Tanda alam, mengusik rasa yang menyelinap di hati dan membuka mata. Cahaya fajar menerobos celah bilik bambu  rumah beratap rumbia. Menghangatkan asa untuk segera menghadap Sang Pencipta. Beralas dipan tanpa kasur busa yang empuk, seorang anak manusia terlena nyayian alam dalam buaian mimpi-mimpi kehidupan. Suara kokok ayam menjadi alarm dalam metebolisme tubuhnya untuk segera bangkit dan membersihkan diri demi menghadap sang Ilahi. Rutinitas paginya sudah di mulai saat subuh menjelang, jarak rumah ke sekolahlah yang mengharuskan anak kelas 5 SD ini  harus bangun lebih pagi dibanding teman sekolahnya.
"Nek hari ini aku pulang sekolah agak terlambat ya.' katanya sambil memasukkan buku-buku dalam tas lusuhnya, "jadi hari ini gak bisa ngambil kayu bakar ke hutan sebelah nek" sesalnya sambil menunduk.
"Memang kenapa Mentari?, apa kamu berbuat kesalahan dan dihukum  untuk pulang lebih lambat." Selidik neneknya cemas dan berhenti mengaduk  adonan rempeyek.
"Tidak nek, aku hanya harus latihan menaikkan bendera bersama teman-teman, hari ini adalah hari terakhir latihan, besok kan tanggal 17 Agustus jadi di sekolah akan ada upacara  untuk memperingati hari kemerdekaan," jawabnya dengan riang, "aku pergi  ya nek". Pamitnya sambil menyalami tangan keriput neneknya.
Nenek Siti menarik nafas panjang, sambil melihat cucu kesayangannya yang telah ditinggal kedua orang tuanya. Anak dan menantu Nek Siti telah meninggal  saat terjadi kerusuhan di kota, mereka sedang bekerja di sebuah mall sebagai petugas kebersihan saat mall itu terbakar. Mereka  meninggalkan seorang bayi lucu yang di beri nama Mentari Dinara Putra yang dititipkan pada tetangganya. Kemudian Mentari diserahkan pada neneknya.  Mentari tumbuh dalam asuhan neneknya yang terkenal sabar dan baik hati dilingkungan kampungnya. Ia tidak pernah mengeluh akan kehidupannya. Ia selalu bersyukur atas apa yang menjadi ketetapan sang pemberi rizky. Nek Siti hanya hidup berdua dengan cucunya Mentari. walau kekurangan mereka tidak pernah mengemis pada belas kasih orang lain. Mereka bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari dengan berjualan rempeyek.  Mentarilah yang mengambil kayu bakar untuk kepentingan pembuatan rempeyek neneknya.
Mentari berjalan di keremangan fajar, ditemani suara khas binatang hutan yang menandakan akan segera hadirnya sang surya di ufuk timur. Bergegas menapaki jalan setapak, berkubang tanah beraspal air. Melewati jembatan berbatang bambu tanpa penyangga besi ataupun berkaki beton. Miris, ketika melewati jembatan Little Indian Jones. Jembatan hasil swadaya masyarakat setempat yang menghubungkan warga kampung Pasalakan desa Sirnagalih dengan desa-desa disekitarnya sudah sering putus dan terbawa hanyut akibat luapan air sungai Cisadea, kecamatan Sindangbarang kabupaten Cianjur. Mentari selalu berjalan tergesa karena waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolahnya hampir 2 jam berjalan kaki. Jangan dibayangkan kalau Cianjur itu dekat dengan ibu kota, namun bayangkan ada sebuah dusun dibalik pegunungan yang menghiasi indah  dan dinginnya kawasan Puncak.
Sekolah Dasar Negeri di tengah desa terpencil dengan fasilitas minim tanpa alat bantu apalagi internet. Hanya guru yang berdedikasilah yang mampu bertahan dan mengajar ditempat seperti ini. Berbekal keikhlasan dan panggilan hati, bu Ika mendedikasikan ilmunya di tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan. Senyum manis bu Ika menyambut kedatangan anak-anak meluluhkan debu dan peluh mereka  yang bebagian besar berbaju lusuh dan bersepatu butut. Kecerian dan semangat anak-anak yang haus  ilmu  membuat bu Ika tetap bertahan di sekolah ini.
"Anak-anak hari ini kita Latihan upacara bendera  yang terakhir ya, karena besok adalah tanggal 17 Agustus dan kita  akan memperingatinya bersama, semua siap?" tanya bu Ika dengan dengan tegas sambil melihat semua petugas upacara.
"Siap bu," jawab anak-anak antusias dan langsung membuat formasi barisan untuk menaikkan sang saka merah putih. Mentari mendapat kesempatan yang memegang bendera dan berada pada posisi di tengah. Hampir 3 jam mereka Latihan dan persiapan untuk besok sudah sempurna. Anak-anak semua Kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Begitupun dengan Mentari, dia sudah bersiap-siap dan  bergegas pulang ke rumah neneknya, karena Mentarilah yang paling jauh tempat tinggalnya dari sekolah.
 "Mentari, jangan lupa besok pergi lebih pagi ya nak," kata bu Ika sambil memberikan sekotak kue yang tadi dibawanya dari rumah. "makanlah, semoga bisa mengganjal perut kosongmu sebelum sampai rumah ya,"sapanya dengan lembut. " Iya bu terimakasih," cicit Mentari sambil mencium tangan bu Ika dan pamit untuk segera pulang.
Musim saat ini kadang tidak menentu, saat musim kemarau tiba-tiba ada hujan besar, begitupun saat musim hujan, kadang matahari sangat terik membakar bumi. Kala Mentari sedang berjalan menyusuri jalan pulang, tiba-tiba langit redup terhalang awan. Suara kilat dan guruh bersahut-sahutan membuat Mentari mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah. Mentari berlari dan berpapasan dengan para petani yang pulang terburu-buru dari ladang. Mereka berpacu dengan alam. Jika mereka beruntung hujan akan turun saat mereka sampai di tujuan. Saat ini Mentari sedang beruntung, sesaat sampai dirumah hujan turun dengan derasnya, seperti air yang ditumpahkan dari langit. Mentari termenung sambil matanya menerawang menatap hujan, dia teringat acara yang akan di adakan esok pagi. Dia berharap dan berdoa agar hujan kali ini tidak terlalu lama.