Pada dasarnya, empat atau lima tahun kuliah seharusnya cukup untuk beberapa hal sekaligus. Dinamika yang ada di kampus merupakan suatu peluang yang sangat menguntungkan bagi siapa saja, terutama mahasiswa untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka dan mempercepat proses pematangan mereka. Kampus ibarat suatu laboratorium pengembangan diri mahasiswa yang sangat kompleks. Suatu labor yang siap untuk mereaksikan potensi-potensi yang ada dengan pereaksi-pereaksi yang sudah tersedia.
Diharapkan dengan membaca "Penyesalan Seorang Sarjana” ini, kita bisa memanfaatkan dinamika yang ada dan waktu yang masih tersisa sebelum berhasil menamatkan perkuliahan. Berikut adalah beberapa penyesalan yang cukup populer disesalkan oleh fresh graduate dari kampus:
1. Menyesal karena IPK < 3,00
Walaupun sejatinya kita kuliah bukan karena mengharapkan IPK, kondisi hari ini masih mendewakan IPK sebagai tolok ukur keberhasilan akademik seseorang dalam perkuliahan. Hal ini sepertinya adalah hal yang wajar, karena memang bukti otentik hasil perkuliahan kita ada di lembaran kertas yang kita sebut “transkrip akademik”. Meskipun demikian, sepertinya kurang fair juga ketika ada kategorisasi IPK di bawah 3 dengan IPK di atas 3, sebab sebenarnya indeks prestasi tersebut sudah punya pengkategorian yang selain mempertimbangkan score, juga mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai score tersebut, yaitu Cum Laude, Sangat Memuaskan, Memuaskan yang dicetak tebal pada lembaran transkrip tersebut.
Misalnya seseorang yang IPK-nya 3,3 ternyata menamatkan kuliahnya lebih dari 6 tahun (nah lho…?), maka ia dikategorikan lulus dengan predikat memuaskan (bukan sangat memuaskan). Namun, saat ini kita harus menyimpulkan bahwa, bagaimanapun, memiliki indeks prestasi yang lebih tinggi adalah lebih baik daripada terus mengkampanyekan bahwa “IPK itu bukan segalanya”.
2. Menyesal karena tidak punya pengalaman organisasi selama kuliah
Sejauh ini, aktivitas berorganisasi masih dinilai sebagai suatu aktivitas yang menjadi tolok ukur dalam beberapa kemampuan pada seorang lulusan perguruan tinggi. Seseorang yang berpengalaman dalam berorganisasi (bahkan beberapa jenis organisasi) biasanya lebih disukai dalam seleksi pekerjaan atau aplikasi lainnya.
Sarjana yang punya pengalaman berorganisasi biasanya adalah sarjana yang dinilai punya kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang relatif lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak berorganisasi. Orang yang berorganisasi juga dinilai mampu memaksimalkan ketersediaan waktu yang sama-sama 24 jam sehari bagi setiap orang dengan kegiatan yang optimal. Dalam hal ini, ada semacam guyonan yang mengkategorikan mahasiswa menjadi 3 kelompok *silahkan didefenisikan sendiri:
* mahasiswa kupu-kupu: kuliah pulang kuliah pulang
* mahasiswa kura-kura: kuliah rapat kuliah rapat
* mahasiswa kunang-kunang: kuliah nangkring kuliah nangkring
3. Menyesal karena tidak punya prestasi selama kuliah
Menjadi seorang mahasiswa berarti berada di antara kumpulan orang-orang pintar dengan daya saing yang bervariasi. Bahkan, sebagian di antara teman-teman kita di kelas sebenarnya adalah siswa berprestasi ketika di SMA, misalnya menjuarai olimpiade bidang studi tingkat kota atau provinsi, juara story telling, lomba pidato, dan lainnya. Ternyata, kampus mempunyai peluang berprestasi yang jauh lebih banyak dengan frekuensi yang lebih tinggi. Bayangkan bahwa dalam setahun saja ada beberapa ajang prestasi yang tersedia di kampus dan siap untuk dicoba, baik tingkat kampus bahkan sampai ke tingkat nasional dan internasional
dan mungkin masih sangat banyak jenis ajang mahasiswa berprestasi. Dari sekian banyak peluang yang ada, rasanya kita perlu sedikit bersedih jika tidak pernah punya kesempatan untuk berkompetisi menguji kemampuan diri dan daya saing. Meskipun menjadi pemenang sepertinya agak sulit dan berliku, menjadi peserta dan kontestan sepertinya sangat mudah dan terbuka peluangnya buat siapa saja.
4. Menyesal karena tidak punya banyak teman selama kuliah
Mempunyai banyak teman dan jaringan boleh jadi adalah salah satu tujuan kuliah. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal ini, karena memang proses berteman adalah suatu hal yang penting dalam memunculkan dinamika hidup sebagai mahasiswa.
Sebagai contoh, dalam hal job seeking, kita bisa mendapatkan informasi yang komprehensif dari teman sewaktu kuliah tentang suatu lowongan kerja yang sebenarnya lebih baik untuk dirahasiakan untuk memperbesar peluang. Atau mungkin boleh jadi juga sedikit “nepoteisme” dari teman sama kuliah yang sudah terlebih dahulu mendapat pekerjaan atau bahkan punya jabatan. Hal ini hanyalah contoh kecil tentang betapa berharganya seorang teman. Bahkan dalam suatu kata mutiara, disebutkan bahwa
Teman adalah seseorang yang bersama dirinya kau bangga menjadi dirimu
Memilih teman berarti memilih masa depan. Maksudnya untuk berteman dan bersahabat, kita memang harus selektif. Namun untuk berkenalan dan ber-relasi, kita seharusnya tidak mengekang diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H