Landry Haryo Subianto menjelaskan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia antara tahun 1960-1990-an setidaknya meliputi 3 tema utama:
- Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara di wilayah tertentu, dengan alasan keamanan, ada pula kekerasan berdasar tuduhan subversive. Pemerintah seringkali menggunakan tuduhan merongrong wibawa pemerintah terhadap mereka yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah;
- Pelanggaran yang terjadi sebagai ekses dari kolusi antara pemerintah dengan kalangan bisnis, umumnya terjadi pada sektor pertambangan, kehutanan, dan industry, penggusuran tanah secara paksa  untuk dijadikan lahan industri baru, penangkapan buruh karena dianggap menghasut, pengesampingan hak-hak lokal, hak masyarakat adat seperti yang terjadi di wilayah sumatera dan Kalimantan;
- Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu/kelompok massa lainnya, misalnya konflik horizontal yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Adanya catatan merah pelanggaran HAM Indonesia di PBB membuktikan bahwa memang penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih jauh untuk dikatakan baik, sesuai dengan konstitusi. Berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sampai saat ini belum diselesaikan, seperti Kasus Tanjung Priuk, DOM di Aceh, Pembunuhan Udin (wartawan Bernas), penculikan mahasiswa, dan juga kasus Marsinah.
Indonesia dengan setumpuk PR pelanggaran HAM yang membutuhkan penyelesaian dengan segera, bukan sekedar membutuhkan ratifikasi instrument internasional tentang HAM, bukan hanya membutuhkan penetapan berbagai PUU tentang HAM. Tapi ada hal yang lebih penting lagi yakni, bagaimana pemulianaan ham dilakukan oleh penyelenggara negara. Supaya setiap individu dapat menikmati manisnya buah pembangunan. Positivisme yang sesungguhnya, terjadi ketika aturan itu menjelma, melindungi masyarakat.
Mengenal sosol Marsinah
Nama Marsinah memang terus digaungkan ketika membicarakan tentang nasib buruh. Perempuan kelahiran Nglundo, Nganjuk, Â Jawa Timur 10 April 1969, seorang buruh sekaligus aktivis pada zaman orde baru. Ia bekerja pada PT Catur Putra Setia (PT. CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kekritisannya terhadap aturan pengupahan di pabrik tempatnya bekerja, menghasilkan kekejian yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang sampai saat ini masih tidak diungkap, yang mengakibatkan kematiannya di usia muda, 24 tahun. Jenasahnya ditemukan pada tanggal 8 Mei 1993, setelah ia menghilang selama 3 hari. Sebelumnya, Marsinah memimpin aksi pemogokan buruh PT CPS, karena pemimpin aksi ditangkap dan dibawa ke kantor koramil 0816/04 Porong. Aksi pemogokan ini bermula dari upah buruh PT CPS yang tidak sesuai dengan UMR. Buruh PT CPS digaji RP. 1.700, padahal dalam Kepmen 50/1992 ditetapkan UMR sebesar Rp. 2.250. Gubernur Jatim pun mengeluarkan Surat Edaran No. 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaij buruh sebesar 20%.
Hak atas Ketenagakerjaan sebagai bagian dari Hak EkosobÂ
HAM bukan hanya tentang hak sipil dan politik, seperti hak hidup, hak politik, berserikat, hak perpendapat. Namun ada juga hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, atas suatu kebudayaan. Hak Ekosob dan Hak Sipol sebagaimana dijelaskan pada penjelasan UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak Ekosob, Pasal 1 ayat (1) dijelaskaan bahwa kovenan hak sipol dan kovenan hak ekosob merupakan dua instrument yang saling tergantung dan terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130 tanggal 16 Desember 1977), bahwa semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi dan saling ternatung (interdependen). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Disamping itu, pelaksanaan, pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak  ekonomi, sosial dan budaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak sipil dan politik.
Berkaitan dengan penegakan dan perlindungan HAM, terdapat prinsip-prinsip yang terdapat dalam kedua kovenan tentang HAM yaitu:
- Prinsip universalitas, maksudnya pengakuan dan penghormatan HAM bersifat umum, menyeluruh kepada siapapun dan dimanapun;
- Prinsip human dignity, yakni penghormatan terhadap martabat manusia;
- Prinsip equality atau persamaan;
- Prinsip non diskriminasi, prinsip ini merupakan bagian dari prinsip persamaan, yakni dengan memperlakukan manusia secara sama tanpa pembedaan apapun seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal usul kebangsaan, sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya ;
- Â Prinsip invisibility, suatu hak tidak bisa dipisahkan antara satu hak dengan hak lainnya;
- Prinsip inalienability, tidak dapat dicabut, tidak dapat dipindahkan, atau dirampas;
- Prinsip interdependency: saling ketergantungan, suatu hak tergantung pada hak lainnya dalam pemenuhannya;
- Prinsip responsibility: pertanggungjawaban, maksudnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM diperlukan langkah dan tindakan tertentu. Prinsip ini juga menegaskan kewajiban-kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya.
Selain pengaturan dalam kovenan hak ekosob, tentang ketenagakerjaan juga diatur dalam berbagai instrument hukum lainnya, misalnya dalam instrument yang dikenal dengan 8 konvensi dasar dan 7 konvensi umum ILO (International Labour Organization). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 kelompok yaitu:
- Kebebasan berserikat dan berunding bersama (konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
- Larangan diskriminasi (konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
- Larangan kerja paksa (konvensi ILO Nomor  29 dan Nomor 105);
- Larangan mempekerjakan anak (konvensi ILO Nomor 136 dan Nomor 182)
Indonesia juga telah memiliki dasar aturan yang jelas mengenai hak dasar pekerja. Yaitu UU No. 13 Tahun 2003 yang disertai dengan perbagai peraturan lainnya. Bahkan konstitusi kita pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan ini mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia. Krzystof Drzewicki menyatakan bahwa, "The rights to work and rights in work constitute a core of not only socio-economic rights, but also fundamental rights". Selain hak atas pekerjaan juga terdapat hak dalam bekerja, yakni berupa pemenuhan hak dalam bekerja secara konkret dengan implementasi pemenuhan hak-hak normative bagi pekerja seperti jadi, fasilitas, keamanan, dan keselamatan kerja. Kedua jenis hak dasar dalam pekerjaan ini wajib dipenuhi oleh negara. Lapangan kerja harus disediakan berikut dengan ruang aktualisasi kehidupan, supaya para buruh mengambil bagian aktif ini tidak sekedar menjadi pelengkap dalam pembangunan.
Kapitalisme dan Pelanggaran HAM
Pembangunan yang dilakukan di suatu negara selayaknya ditujukan untuk memajukan dan membahagiakan manusianya. Memenuhi seluruh kebutuhan individu yang tinggal di negara tersebut. Pembangunan untuk manusia, bukan sebaliknya. Demikian pula di Indonesia, seharusnya pembangunan ditujukan untuk manusia Indonesia seutuhnya. Arif Budiman mengartikan pembangunan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Pembangunan bukan sekedar berbicara angka dalam arti pertumbuhan ekonomi belaka. Tapi harus utuh mewujud dalam diri manusia, memenuhi seluruh kebutuhan manusia Indonesia. Indikator pembangungan haruslah didasarkan pada partisipasi, keadilan sosial, kesempatan kerja untuk semua, dan kemandirian. Ada dua hal yang harus dipenuhi oleh pembangunan, pemuasan kebutuhan dasar manusia dan respek pada kemanusiaan.
Pembangunan yang dirancang founding people kita dalam konstitusi, UUD NRI 1945, adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. sebagaimana tercantum dalam mukadimah UUD 1945 alinea keempat tentang kehendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 23, 27 ayat (2), 33, dan 34 UUD NRI 1945. Sistem ekonomi yang ingin dibangun adalah berdasarkan nilai Pancasila.
Namun yang terjadi, sebagaimana di belahan dunia lain, adalah pembangunan ekonomi yang berorientasi kapitalisme. Pembangunan yang berdasarkan kapitalisme pasti akan selalu membinasakan yang lemah, pihak yang memiliki keterbatasan. Ajaran kapitalisme seperti yang dijelaskan oleh Adam Smith memang didasarkan pada kebebasan. Hal yang sangat berbahaya, karena sifatnya yang sangat individualisme dapat menghasilkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Hal berbahaya lainnya disampaikan Anthony Giddens, bahwa sistem kapitalisme ibarat Jugernath, di tahap awal memang seperti kuda yang menarik kereta. Jadi bisa mempercepat ekonomi dan memberi keuntungan para pemilik modal. Tapi semakin lama semakin cepat, dan akhirnya tidak terkendali, sehingga jugernath itu bisa terbanting dan menghancurkan kereta yang ditariknya itu.
Apa hubungan isu pembanguan dengan judul pembahasan artikel ini? Pembangunan bagaimanapun sangat berhubungan dengan hak asasi manusia. Pembanggunan yang berorientasi pada pasar tentunya sangat ditentukan pasar dalam prosesnya. Pada pembangunan model demikian, maka hak asasi manusia menjadi terabaikan. Hal ini banyak terjadi di negara-negara berkembang, atau negara-negara dunia ketiga. Dimana pembangunan tidak didasarkan perspektif hak asasi manusia. Akhirnya pembangunan yang demikian berdampak pada lapisan masyarakat yang lemah secara ekonomi, rakyat yang miskin. Masalah lain juga muncul berupa krisis sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kultural. Seperti dikatakan oleh Adorno, bahwa kita sekarang berada dalam sebuah dunia administrative, dimana pasar menjadi simbol dominan dalam sistem ekonomi neoliberal. Sistem demikian telah menimbulkan berbagai macam ketidakadilan dalam struktur masyarakat. Perjuangan HAM, suara atas nama kebebasan merupakan sebuah ancaman, gangguan terhadap keamanan dan stabilitas pasar. HAM dan pasar merupakan antithesis yang saling bertentangan, sehingga memang tidak ada satu pihak pun yang dapat mengabdikan kepada pasar sekaligus mengabdikan pada perjuangan HAM.
Negara dibuat bisu, hanya sebagai alat dalam pembangunan. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap hak hak asasi yang mendasar justru dilakukan oleh negara, yang berlindung dibalik program pembangunan. Pada saat tertentu memang negara seakan menampilkan wajah ramah ketika harus berhadapan dengan berbagai tekanan dari rakyat yang menuntut hak dasar mereka. Negara berusaha menampilkan dirinya yang bertugas menjaga dan melindungi HAM. Namun kontradiksi mulai terjadi, ketika secara bersamaan negara menyerahkan penguasaan wilayah yang seharusnya menjadi hak public sebagaimana diatur dalam PUU, bahkan secara tegas diatur dalam konstitusi. Negara akhirnya tidak mampu melakukan intervensi yang efektif dalam hal pelanggaran HAM.
Itulah yang terjadi pada marsinah, pada buruh kita. Â
Marsinah berjuang atas kelayakan upah, sesuatu yang ditakuti pengusaha, karena bisa menggerus keuntungan usaha, selain dianggap mengancam stabilitas produksi pabrik. Teriakan lantangnya memekakan telinga. Namun begitulah seharusnya manusia, harus berani meminta haknya dipenuhi. Menjaga haknya jangan sampai terlanggar.
Perlindungan HAM memang sangar membutuhkan jaminan dari negara. Namun nyatanya, negara juga terikat pada aturan WTO tentang pasar bebas. Akhirnya, pada prakteknya negara mau tidak mau harus tunduk pada kepentingan kekuatan global, bertabrakan dengan konsep HAM PBB. Berbagai kekerasan kemudian muncul baik kekerasan langsung, tidak langsung, represif, maupun kekerasan alienatif. Violence by comission maupun violence by omission.
Pertanyaannya, lantas untuk siapa HAM itu? Â Dia ada untuk melindungi kepentingan siapa? Kenapa sampai saat ini negara seakan tidak mampu mengungkap siapa pelaku pembunuhan yang sedemikian kejam kepada Marsinah? Bagaimana nasib buruh kedepannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI