Mohon tunggu...
Dede Kania
Dede Kania Mohon Tunggu... Dosen - humanize

Manusia biasa, ibu biasa, dosen biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Marsinah, Perjuangan Buruh dalam Cengkraman Kapitalisme

17 Mei 2020   13:59 Diperbarui: 17 Mei 2020   14:07 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Landry Haryo Subianto menjelaskan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia antara tahun 1960-1990-an setidaknya meliputi 3 tema utama:

  • Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara di wilayah tertentu, dengan alasan keamanan, ada pula kekerasan berdasar tuduhan subversive. Pemerintah seringkali menggunakan tuduhan merongrong wibawa pemerintah terhadap mereka yang bersebrangan dengan kebijakan pemerintah;
  • Pelanggaran yang terjadi sebagai ekses dari kolusi antara pemerintah dengan kalangan bisnis, umumnya terjadi pada sektor pertambangan, kehutanan, dan industry, penggusuran tanah secara paksa  untuk dijadikan lahan industri baru, penangkapan buruh karena dianggap menghasut, pengesampingan hak-hak lokal, hak masyarakat adat seperti yang terjadi di wilayah sumatera dan Kalimantan;
  • Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu/kelompok massa lainnya, misalnya konflik horizontal yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Adanya catatan merah pelanggaran HAM Indonesia di PBB membuktikan bahwa memang penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih jauh untuk dikatakan baik, sesuai dengan konstitusi. Berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sampai saat ini belum diselesaikan, seperti Kasus Tanjung Priuk, DOM di Aceh, Pembunuhan Udin (wartawan Bernas), penculikan mahasiswa, dan juga kasus Marsinah.

Indonesia dengan setumpuk PR pelanggaran HAM yang membutuhkan penyelesaian dengan segera, bukan sekedar membutuhkan ratifikasi instrument internasional tentang HAM, bukan hanya membutuhkan penetapan berbagai PUU tentang HAM. Tapi ada hal yang lebih penting lagi yakni, bagaimana pemulianaan ham dilakukan oleh penyelenggara negara. Supaya setiap individu dapat menikmati manisnya buah pembangunan. Positivisme yang sesungguhnya, terjadi ketika aturan itu menjelma, melindungi masyarakat.

Mengenal sosol Marsinah

Nama Marsinah memang terus digaungkan ketika membicarakan tentang nasib buruh. Perempuan kelahiran Nglundo, Nganjuk,  Jawa Timur 10 April 1969, seorang buruh sekaligus aktivis pada zaman orde baru. Ia bekerja pada PT Catur Putra Setia (PT. CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kekritisannya terhadap aturan pengupahan di pabrik tempatnya bekerja, menghasilkan kekejian yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang sampai saat ini masih tidak diungkap, yang mengakibatkan kematiannya di usia muda, 24 tahun. Jenasahnya ditemukan pada tanggal 8 Mei 1993, setelah ia menghilang selama 3 hari. Sebelumnya, Marsinah memimpin aksi pemogokan buruh PT CPS, karena pemimpin aksi ditangkap dan dibawa ke kantor koramil 0816/04 Porong. Aksi pemogokan ini bermula dari upah buruh PT CPS yang tidak sesuai dengan UMR. Buruh PT CPS digaji RP. 1.700, padahal dalam Kepmen 50/1992 ditetapkan UMR sebesar Rp. 2.250. Gubernur Jatim pun mengeluarkan Surat Edaran No. 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaij buruh sebesar 20%.

Hak atas Ketenagakerjaan sebagai bagian dari Hak Ekosob 

HAM bukan hanya tentang hak sipil dan politik, seperti hak hidup, hak politik, berserikat, hak perpendapat. Namun ada juga hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, atas suatu kebudayaan. Hak Ekosob dan Hak Sipol sebagaimana dijelaskan pada penjelasan UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak Ekosob, Pasal 1 ayat (1) dijelaskaan bahwa kovenan hak sipol dan kovenan hak ekosob merupakan dua instrument yang saling tergantung dan terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130 tanggal 16 Desember 1977), bahwa semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi dan saling ternatung (interdependen). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Disamping itu, pelaksanaan, pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak  ekonomi, sosial dan budaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak sipil dan politik.

Berkaitan dengan penegakan dan perlindungan HAM, terdapat prinsip-prinsip yang terdapat dalam kedua kovenan tentang HAM yaitu:

  • Prinsip universalitas, maksudnya pengakuan dan penghormatan HAM bersifat umum, menyeluruh kepada siapapun dan dimanapun;
  • Prinsip human dignity, yakni penghormatan terhadap martabat manusia;
  • Prinsip equality atau persamaan;
  • Prinsip non diskriminasi, prinsip ini merupakan bagian dari prinsip persamaan, yakni dengan memperlakukan manusia secara sama tanpa pembedaan apapun seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal usul kebangsaan, sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya ;
  •  Prinsip invisibility, suatu hak tidak bisa dipisahkan antara satu hak dengan hak lainnya;
  • Prinsip inalienability, tidak dapat dicabut, tidak dapat dipindahkan, atau dirampas;
  • Prinsip interdependency: saling ketergantungan, suatu hak tergantung pada hak lainnya dalam pemenuhannya;
  • Prinsip responsibility: pertanggungjawaban, maksudnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM diperlukan langkah dan tindakan tertentu. Prinsip ini juga menegaskan kewajiban-kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya.

Selain pengaturan dalam kovenan hak ekosob, tentang ketenagakerjaan juga diatur dalam berbagai instrument hukum lainnya, misalnya dalam instrument yang dikenal dengan 8 konvensi dasar dan 7 konvensi umum ILO (International Labour Organization). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 kelompok yaitu:

  • Kebebasan berserikat dan berunding bersama (konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
  • Larangan diskriminasi (konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
  • Larangan kerja paksa (konvensi ILO Nomor  29 dan Nomor 105);
  • Larangan mempekerjakan anak (konvensi ILO Nomor 136 dan Nomor 182)

Indonesia juga telah memiliki dasar aturan yang jelas mengenai hak dasar pekerja. Yaitu UU No. 13 Tahun 2003 yang disertai dengan perbagai peraturan lainnya. Bahkan konstitusi kita pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan ini mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia. Krzystof Drzewicki menyatakan bahwa, "The rights to work and rights in work constitute a core of not only socio-economic rights, but also fundamental rights". Selain hak atas pekerjaan juga terdapat hak dalam bekerja, yakni berupa pemenuhan hak dalam bekerja secara konkret dengan implementasi pemenuhan hak-hak normative bagi pekerja seperti jadi, fasilitas, keamanan, dan keselamatan kerja. Kedua jenis hak dasar dalam pekerjaan ini wajib dipenuhi oleh negara. Lapangan kerja harus disediakan berikut dengan ruang aktualisasi kehidupan, supaya para buruh mengambil bagian aktif ini tidak sekedar menjadi pelengkap dalam pembangunan.

Kapitalisme dan Pelanggaran HAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun