KH. Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta, 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putera keempat dari K.H. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.Â
Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.Â
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). (Noer, 1995: 48).Â
Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Gagasan-Gagasan K.H.Ahmad Dahlan, Tujuh Falsafah Ajaran :
Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan? Dan ulama-ulama itu dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramalpun semuanya dalam kekhawatiran, kecuali mereka yang ikhlas atau bersih.
Artinya : Ilmu tanpa amal melahirkan kebingungan dan keduanya tanpa ke ikhlasan tiada artinya. Kunci kebahagiaan dunia dan akhirat adalah Ilmu, Amal dan Ikhlas.
Kebanyakan diantara manusia berwatak angkuh dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. Merasa egois dan selalu merasa bisa sendiri.
Manusia itu kalau mengerjakan apapun sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai sukar untuk dirubah.Â
Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau itiqad, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membelanya dengan mengorbankan jiwa raga.demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.
Artinya : Kita harus mampu membuka diri, tetap kritis mana tau ada yang lebih baik atau benar karena manusia di tuntun oleh kecendrungan jiwanya yang dibentuk oleh apa yang biasa dikerjakan.