Mohon tunggu...
DEDE MULYANAH
DEDE MULYANAH Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah kemesraan antara hati dan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Surat Cinta Kadaluarsa

7 Maret 2015   08:46 Diperbarui: 15 September 2015   20:33 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai sahabat baik Azizah sejak kecil aku dapat membaca dengan jelas raut wajah Azizah yang menyembunyikan sesuatu dariku. Tidak seperti biasanya, mungkin masalahnya kali ini sangat pribadi sehingga Azizah tidak bercerita kepadaku. Aku perhatikan dia gelisah namun berkali-kali dia sembunyikan dalam senyumnya. Aku sering kali tak peduli dengan banyak urusan orang lain, tapi kali ini menyangkut Azizah sahabat baikku dari kecil. Suka dan duka bersamanya sudah puluhan tahun, bahkan Azizahlah yang mengurus semua keperluan pernikahanku waktu itu dengan Mas Budi suamiku yang luar biasa sempurnanya bagiku. Walaupun Azizah tak bisa menghadiri resepsi pernikahanku karena harus kembali ke Semarang meneruskan tugas belajarnya. Sejak itu kami tak pernah bertemu lagi terakhir aku ke rumah keluarga Azizah di Bogor, mereka sudah pindah, aku hanya tahu kalau Azizahpun sudah menikah.

Hari ini Mas Budi akan tiba di Indonesia, sengaja aku mengajak Azizah untuk menjemputnya dari bandara. Walaupun awalnya Azizah menolak, tapi aku berhasil membujuknya. Aku sendiri tidak menyangka sahabat baikku yang telah lama menghilang sekarang menjadi tetanggaku. Azizah pindah tugas ke Bogor, kembali ke kampung halamannya sendiri, sungguh senang rasanya bisa dekat dengannya lagi.

Menunggu di bandara terasa menyenangkan ditemani oleh Azizah. Tak bosan-bosannya aku bercerita tentang Mas Budi. Aku memang dijodohkan dengan Mas Budi, awalnya aku ragu tapi ternyata Mas Budi begitu sempurna, dan aku merasa beruntung sekali bisa mendapatkan suami sebaik dan sehebat Mas Budi. Walaupun aku melihat Azizah kadang terlihat gelisah, seperti ada   yang disembunyikan terlebih ketika aku tanyakan kabar suaminya. Aku bahkan belum mengenal suami azizah, begitu juga Azizah belum pernah bertemu Mas Budi suamiku.

“Mas….Mas Budi….. “ panggilku spontan sambil berlari menghampirinya. Kupeluk tubuhnya. Enam bulan aku terpisah dari Mas Budi, sungguh bahagia rasanya hari ini Mas Budi ada di sampingku. Sambil ku gandeng tangannya ku ajak Mas Budi menemui Azizah yang sedang duduk. “Mas, ini Azizah sahabat baikku yang sering aku ceritakan”. “zah , ini Mas Budi Suamiku. Begitu yang aku ucapkan untuk mengenalkan Mas budi dengan Azizah. Mas Budi terlihat agak kaget begitu melihat wajag Azizah. Aku sempat heran . Azizahpun terlihat agak gugup ketika ku kenalkan dengan Mas Budi. “Apa kalian saling mengenal ? “ tanyaku melihat perubahan wajah mereka. Dengan sigap Azizah langsung menjawab “ tentu saja belum Din. Mulut Mas Budi yang terlihat ingin mengucapkan sesuatupun langsung terdiam. “Ayo Din kita langsung pulang saja, aku harus ke kantor masih ada yang ingin ku selesaikan” ucap Azizah sambil berjalan menuju mobil.

Sepanjang perjalanan tak terdengar sepatah katapun yang diucapkan Azizah. Sementara aku memang begitu gembira bisa berada kembali disamping Mas Budi. Setelah mengantarku dengan Mas Budi ke rumah, Azizah langsung pamit untuk ke kantor. Rumahku dengan Azizah hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Terhalang beberapa rumah tetangga.

Pagi ini aku kembali menyiapkan perlengkapan Mas Budi ke kantor dan menemaninya sarapan pagi. Sejak aku menikah dengan Mas Budi aku hanya beraktifitas di rumah saja, ada PAUD yang aku kelola tak jauh dari tempat tinggalku. Seperti biasa kecupan hangat dari Mas Budi ketika pamit hendak ke kantor. Tak lama setelah Mas Budi Pergi aku bergegas ke kamar untuk merapihkan barang-barang Mas Budi yang masih dalam koper. Satu persatu aku keluarkan pakaian serta barang-barang yang ada dalam koper Mas Budi. Ketika ku angkat tumpukan pakaian dan akan ku pindahkan ke dalam lemari, tiba-tiba terjatuh sebuah amplop coklat. Sempat penasaran apa isinya karena amplop ini seperti sengaja diselipkan, tidak disimpan dengan berkas-berkas lain yang ada dalam sebuah map plastik. Ku tepis rasa penasaranku dan kubiarkan amplop itu tergeletak di meja riasku. Terlebih lagi ketika aku dikejutkan oleh teriakan penjual sayur di depan rumah. Kutinggalkan barang-barang Mas Budi yang belum semua rapi dan bergegas ke luar rumah untuk membeli sayuran. Hari ini aku harus menyiapkan makan siang yang istimewa untuk Mas Budi. Sebelum berangkat Mas Budi janji akan pulang di jam makan siang. Mas Budi hanya ke kantor untuk menyampaikan laporan kepulangannya saja, dan akan kembali beraktifitas  rutin di kantor tiga hari ke depan.

Begitu senangnya aku menyiapkan makanan kesukaan Mas Budi, bahkan barang-barang mas Budi yang aku keluarkan dari koperpun belum semuanya aku bereskan. Bagiku hari-hari akan terasa istimewa karena Mas Budi ada kembali di sampingku. Sejak tiga tahun pernikahanku aku sudah beberapa kali ditinggal Mas Budi untuk bertugas ke luar negeri. Aku harus selalu memanfaatkan waktu-waktu bersamanya dengan baik. Kadang terasa sepi, apalagi kami belum juga dianugrahi anak. Tapi aku selalu senantiasa bersabar, Mas Budi dan keluarganya tidak pernah mempermasalahkan hal ini.

“Hmmm….. makanan kesukaan Mas Budi sudah siap semua, Alhamdulillah” gumanku sendiri. Tak lama kudengar suara adzan dzuhur berkumandang. Bergegas aku ke kamar mandi untuk mandi sekaligus mengambil wudhu untuk sholah dzuhur. Terasa cepat rasanya waktu berjalan hari ini. Mungin karena  Ada banyak hal yang kulakukan. Sambil menunggu Mas Budi tiba di rumah, kuteruskan merapihkan barang-barang Mas Budi yang tadi aku biarkan. Satu persatu aku simpan ditempat yang semestinya.

Upps….. amplop coklat itu, masih tergeletak di meja riasku. ku raih amplop itu, niatnya ku simpan ke dalam tumpukan berkas Mas Budi dalam map plastik. Begitu kuangkat ada yang terjatuh dari dalam amplopnya. “Sebuah foto “gumanku penuh rasa penasaran. Kuambil foto itu sungguh kaget aku melihatnya. “Azizah , foto  Azizah ?” . “Kenapa ada dalam koper Mas Budi?” “Apakah mereka saling mengenal ?”. “Ah… mungkin hanya kebetulan saja?” . “Bagaimana bisa foto Azizah ada di dalam koper Mas Budi”. Begitu banyak pertanyaan terlintas dalam benakku setelah melihat foto Azizah yang jatuh dari dalam amplop itu. Sambil duduk ku buka isi amplop coklat itu. Masih ada selembar kertas. Seperti sebuah surat. Ku buka perlahan surat yang terlipat rapih itu, sudah lama dan lusuh kertasnya. Seperti sering kali di baca dan dilihat.

Mas Budi …..

Mohon maaf , sepertinya Taqdir tidak berpihak kepada kita. Ade tahu keluarga Mas Budi tidak merestui hubungan kita, dan Ade juga tahu kalau mas Budi sudah di jodohkan dengan Adinda sahabat Ade sendiri. Ade tak ingin melihat senyum bahagia di bibir Adinda hilang kalau Adinda tahu yang sebenarnya. Tolong sayangi Adinda dengan setulus hati. Mas Budi tak perlu memikirkan Ade lagi. Ade tak ingin Mas Budi menjadi anak yang tak tahu balas budi pada orang tua. Doakan Ade ya… mungkin ini terakhir kalinya Ade menghubungi Mas Budi.

Salam

Ade Azizah

Aku tak bisa berkata-kata lagi, tak terasa mata ini basah oleh buliran air mata. Seperti mendapat pukulan keras yang tiba-tiba. Kenapa dada ini terasa sangat sakit setelah membaca surat ini. Kuraih kunci motor dan bergegas ku pergi. “Azizah, aku harus menemui azizah “ itu yang terpikir dalam ingatanku. Tujuanku adalah menemui Azizah. Tapi aku bahkan tak ingat kalau aku taka tahu harus menemuinya di mana pada jam kantor seperti ini. Aku belum tahu dimana azizah berkantor. Tiba-tiba mataku tertuju pada mobil yang terparkir di depan rumah Azizah. Hapal betul aku, itu mobil Mas Budi. Kuhentikan laju sepeda motorku. Perlahan ku berjalan menuju rumah azizah. Pintu rumahnya tidak tertutup, kudengar suara Mas Budi berbicara. Kudengar pula isak tangis seorang wanita. Itu pasti Azizah gumanku. “Aziah menangis?”      “Ah…. Aku tak tahu lagi bagaimana perasaanku saat ini” . “Assalamu’alaikum…. “Ucapku di depan pintu rumah Azizah yang memang terbuka. Semakin tak karuan perasaanku begitu sampai di depan pintu Azizah terlihat menangis dan bersandar di bahu Mas Budi.Mereka terlihat kaget melihat kedatanganku, dan aku tak mampu lagi berkata-kata. Kepalaku pening dan aku tak ingat apa-apa lagi. Tuhan …. Apa yang sebenarnya terjadi, hanya itu yang teringat dalam benakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun