Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerikil yang Sama, Sepatu yang Berbeda

8 November 2022   16:15 Diperbarui: 8 November 2022   16:21 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Pandemi kini muncul lah Resesi.
Berita dan nuansa carut marut ekonomi dunia yang diulang-ulang, disajikan dengan musik yang mencekam, plus dihidangkan dari mulut influencer, menambah menu tontonan setiap malam semakin menegangkan.

"Ah sudahlah, yang terjadi biar terjadi.." Gerutu istri ketika menemani saya menonton berita malam tadi.
Buat kami, resesi tidak resesi tidak ada bedanya. Sama-sama susah. 

Ini hanya ekspresi bahwa kami lelah dengan semua pemberitaan mengenai resesi, PHK Massal, dan ancaman membludaknya pengangguran. Lalu apa solusinya? apa persiapan yang mesti kita lakukan? 

Menurut saya ini lebih penting diberitakan daripada pembahasan mengerikannya resesi. 

Bagaimana kami-kami kaum marjinal ini bisa selamat?

"Kencangkan Ikat Pinggang, Efisiensi!" Ucap salah seorang influencer yang memiliki ribuan followers. "Kurang-kurangi gaya hidup konsumerisme".. walaah salah saluran nih, buru-buru saya ganti kanal TV saya. 

Katanya butuh solusi? 
Yaa betul, saya mengharapkan solusi, tetapi yang relevan bagi saya.
Jangan bicara efisiensi jika yang ada saja kurang kemana-mana. Kami bukan termasuk orang yang hedon berbelanja produk branded, semasa pandemi hingga hari ini, kami sibuk bertahan hidup, kami tidak sibuk menumpuk barang-barang konsumerisme.

Susah ngomong sama orang yang gak terima masukan?
Kebalik, menurut saya anda yang tidak paham subtansi yang anda bicarakan.
Anda hanya sibuk mengejar viewer dan rating, seolah formula solusi anda fit untuk semua orang.

Berempatilah ketika Anda bicara mengenai krisis.
Mengapa? karena jalan kerikil di depan kita sama, tetapi sepatu kita berbeda.
Ada orang yang memakai Sneaker Branded, dengan sol yang tebal dan nyaman, sehingga kerikil itu serasa batu refleksi yang memijit-mijit kakinya. Tapi ada orang yang beralaskan sandal jepit usang yang nyaris putus, kerikil kecil pun terasa menusuk. 

Jangan meminta orang lain berlari ketika ia memakai sandal jepit, jangan meminta orang berjalan dengan santai ketika ada kerikil yang menyelip menusuk ke daging kakinya. 

Saya ada dibarisan itu, saya merasakan yang sebagian besar saudara saya rasakan.

Sekali lagi, berempatilah.

DW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun