Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Titik Pisah di Persimpangan Jalan

29 Maret 2022   22:51 Diperbarui: 30 Maret 2022   10:24 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah persimpangan jalan di dalam komplek perumahan saya, persimpangan yang menghubungkan antar blok.

Persimpangan itu biasa menjadi "titik pisah" saya dengan segala kepenatan yang saya alami dipekerjaan.
Di simpang itu saya biasanya berhenti, membuka HP melihat aplikasi WA dan membacanya, kemudian menarik nafas seraya berusaha melepaskan stress yang bergelantungan sepanjang hari. 

Kebiasaan ini baru-baru saja saya lakukan, kurang lebih 1 mingguan. Mengingat tekanan pekerjaan yang semakin tidak masuk akal, dan sering sekali energi negatif terbawa hingga ke rumah. 

Saya tidak ingin lagi jadi ayah yang menakutkan, masuk ke rumah dengan muka masam.
Saya tidak mau lagi jadi suami yang ketus, cemberut dan malas ngobrol dengan istri, karena merasa beban pekerjaan yang berat.

Saya ingin merubah semua tabiat buruk saya, yang mungkin menyakitkan orang-orang yang saya sayangi.

Apakah berhasil?
Sejauh yang saya rasakan, cara ini cukup ampuh meredam dan mengontrol emosi diri. Di persimpangan itu biasanya saya lakukan ritual, menarik napas panjang, lalu membuangnya dari mulut. Lalu membaca Al Fatiha dan berniat untuk melupakan sejenak tugas, deadline atupun request bos. Saya tekadkan tidak lagi terlalu larut dan abis-abisan untuk menyelesaikan tugas dalam semalam, saya mulai pisahkan, waktu bekerja dengan waktu di rumah. 

Saat bekerja, saya totalitas. Ketika di kantor, saya loyal, meskipun kondisi kantor cenderung toxic. Saya lakukan apapun yang kantor ingin saya lakukan. Tapi ketika saya di rumah, mohon maaf saya batasi diri.

Memang tugas kita dan tanggung jawab kita menyelesaikan pekerjaan kita, tapi bukan berarti menghabiskan seluruh waktu untuk bekerja. Ada lho hak anak dan istri kita atas waktu yang kita miliki. Mereka tidak ingin kita sakit, lalu membuat mereka menjadi sulit.

Memang kewajiban kita untuk mencari rezeki untuk orang-orang terkasih. Tetapi, rezeki yang kita bawa itu apakah menjadi nikmat ketika kita datang dengan wajah lusuh, pikiran berkecamuk, dan hati yang tidak puas? 

Buat teman-teman yang mengalami hal serupa, sepertinya kita harus luruskan kembali niat kita dalam bekerja. Apakah bekerja itu berarti membuat anda menjadi asing di rumah? Niat kita adalah memberikan kehidupan dan masa depan bagi keluarga, dengan cara apa? dengan cara memberikan kontribusi yang kita bisa untuk perusahaan. Kontribusi, bukan waktu sepanjang hari.

Perusahaan mengeluarkan jutaan rupiah untuk membangun brand images, tetapi hanya mengeluarkan beberapa rupiah untuk membeli kehidupan kita sepanjang hari.

Persimpangan ini menjadi titik pisah yang paling ideal bagi saya.
Sejenak saya ucapkan selamat tinggal pada kepenatan, frustasi dan kejengkelan.

DW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun