Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Luaskan Semesta Berpikir Anak-anak

23 September 2021   11:53 Diperbarui: 23 September 2021   12:39 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bangga dengan jawabannya, meskipun masih jauh dari bayangan tapi saya bangga dia punya jawaban atas cita-citanya. Dia mulai memahami bahwa impian itu harus ada Purpose-nya, bukan hanya ingin, tapi ada manfaatnya bagi orang lain.

Kita adalah apa yang kita pikirkan, segala sesuatu tentang kita muncul bersama pikiran kita.
Melaui pikiran, kita menciptakan dunia.

Saya ingat ketika saya kecil, waktu orang tua tanya apa cita-cita saya, saya jawab mau jadi pilot. Begitu ditanya kenapa mau jadi pilot? Supaya bisa bagi-bagi duit, karena dulu di kampung setiap kali ada pesawat lewat pasti kami anak-anak kecil teriak sambil mengulurkan tangan.. "pesawat minta duit dong", gak tau siapa yang memulai, tapi sekeras apapun teriakan tidak pernah tuh ada uang yang jatuh dari langit, tapi kebiasaan itu tertanam dan keluar setiap kali bunyi pesawat melintas.

"Duh le, Mboke gak mampu bayar sekolah jadi pilot, dadi guru wae yo" ungkap Ibu sambil melipat baju di Kasur. "lihat pakde Sarkun itu loh, jadi guru, bisa dapat pit(sepeda) dari sekolah".

Tanpa disadari, ucapan Ibu menjadi plafon tertinggi dalam pikiran saya. Dan ini mempengaruhi pergaulan saya, saya bergaul dengan teman-teman yang sama pikirannya, tidak berani bermimpi tinggi. Kami dibatasi oleh kalimat "sekolahnya mahal", jadi pola pikir kami penuh dengan keterbatasan. Saya pun dikekang oleh lingkungan yang bermental dan berpikir miskin. Seolah miskin itu adalah takdir yang tidak bisa dirubah, dan anak miskin tdilarang bermimpi tinggi.

Ekplorasi dan Ekploitasi Diri

Beruntung anak-anak sekarang memiliki pemahaman baru tentang cita-cita, karena mereka terpapar internet, mereka melihat dari youtube, TV ataupun games-games di HP mereka. Mereka mengutarakan cita-cita sejalan dengan apa yang mereka lihat. Mereka memiliki idola sendiri, misal Arga yang sangat mengidolakan Nussa (figure animasi Nussa).

Dia mau sebebas Nussa dan dia mau sepintar Nussa.

Saya membebaskan anak-anak saya berimajinasi setingginya, saya tidak batasi. Mereka bukan hanya bebas bermimpi besar, mereka juga bebas bermimpi Gila. Bermimpi lakukan hal yang belum pernah ada sebelumnya, tentu saja dengan purpose yang sesuai. Meskipun saya paham betul ada biaya yang tidak sedikit di balik cita-cita mereka. Saya mengaminkan kalimat bahwa pikiran adalah alam semesta, pikiran adalah nasib.
Tugas saya memfasilitasi dan meng-ekplore imajinasi mereka, saya mengajak mereka melihat peluang-peluang baru, jika ingin jadi astronot maka mereka harus lalukan A, B, C dan lain sebagainya. Saya tanamkan minat belajar, minat membaca, yang sejalan dengan cita-citanya, dan yang lebih penting berusaha membuat mereka percaya diri bahwa cita-cita itu mungkin untuk diwujudkan.

Sikap dan perilaku orang tua akan menciptakan semesta berpikir anak-anak, meskipun kami pun dalam keterbatasan, tapi saya tidak ingin anak-anak merasakan plafon yang saya rasakan.

"Tapi kan Nak, astronot itu gak ada yang ngompol" ledek ku
"Bukan arga yang ngompol, itu Ramadhan yah, aku cuma apes aja tidurnya deket Ramadhan jadi kena basahnya" celetuknya emosinya sambil buru-buru nutupin mukanya sama bantal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun