Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Refleksi Diri: Ekspektasi atau Apresiasi

1 Maret 2021   09:46 Diperbarui: 1 Maret 2021   10:09 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Halo sahabat pembaca,

Senang sekali saya diberikan kesempatan menyapa kembali, setelah hampir setahun dari terakhir saya berinteraksi di Kompasiana.

Hari ini saya terpacu untuk kembali aktif menulis, dan berbagi opini dimedia ini., mengapa? karena ini adalah bulan "Anniversary" Jeng Corona bin Covid, yaa bulan maret ini tepat sudah setahun Indonesia dilanda wabah pandemi ini, dan setahun sudah kehidupan kita berubah drastis.

Tapi bukan lagi tentang keganasan wabah ini yang ingin saya bagikan, tetapi lebih kepada bagaimana corona ini menjadi sebuah "games changer" yang merubah semua tatanan kehidupan manusia namun juga menjadi sebuah dorongan kita menjadi pribadi yang baru. Dengan kata lain, ada lho makna positif dari munculnya wabah ini, dan ini patut kita syukuri.

Koq bersyukur sih?

Wait jangan julid dulu, biarkan tulisan ini mengalir dulu dibenak anda.

Maret 2020

Diantara riuhnya pemberitaan mengenai bahayanya Corona yang hilir mudik dilayar gadget baik dari WA Group maupun media social, dimaret 2020 akhirnya "resmi" corona menyerang RI. Dimulai dari konferensi pers mengenai pasien 1 dan 2 yang terindentifikasi positif corona, sampai gossip yang muncul tentang latar belakang korban.

Saat itu, saya mencoba membatasi diri, berusaha tidak terlalu panik dan memberikan pemahaman ke keluarga bahwa kita harus berhati-hati. Mulai menstok komoditas yang belum pernah kami beli sebelumnya, yaitu masker dan handsanitizer.

2 Minggu sejak conferensi pers berlalu, sah sudah, corona menjadi trending topik diantara warga pemukiman kami, mulai diperlakukan pengetatan, warga dilarang berkumpul, masjid dihimbau tidak mengadakan sholat berjamaah dan lain sebagainya.

Jujur diawal-awal corona menyerang, saya lebih mengkhawatirkan keberlangsungan ekonomi keluarga, dimana saat itu porsi cicilan yang cukup besar ditambah kami tidak memiliki tabungan untuk jangka Panjang. Plus anak-anak yang harus belajar dari rumah, artinya kami sebagai orang tua harus menyiapkan gadget khusus untuk mereka bisa belajar. Dan kekwahatiran saya terbukti, perusahaan pun memberlakukan WFH, dan kami tidak punya pilihan.

Dengan status WFH pendapatan kami pun dikurangi, kami hanya menerima 30ri pendapatan normal kami, situasi ini kami pahami karena perusahaan pun tidak beroperasi dan tidak ada pendapatan. Gerah, penat, sumpek, mumet dan teman-temannya silih berganti hinggap dikepala, belum lagi urusan bank, urusan leasing, urusan listrik, koq ya datangnya keroyokan gak satu-satu.

Beruntung, saya menikahi wanita yang tidak malu harus mengambil alih kemudi rumah tangga disaat suaminya bergelut dengan pikiran yang sumpek. Istri saya mulai membuat makanan ringan untuk bisa membuat dapur ngepul. Pelan dan konsisten usaha ini berlanjut, meskipun rumah idaman saya harus licin karena granitnya bolak balik kena minyak gorengan, ataupun kitchen set yang lumayan mehong terkelupas karena kompor yang hampir tidak pernah padam.

Apakah semua itu berjalan mulus? Oh tidak semudah itu ferguso.

Kompor meledak karena kecapean, listrik diputus karena belum bayar, jualan hanya dapat Rp.8000, hutang sembako ke warung ditolak, lebaran hanya makan ayam KFC tidak ada ketupat, opor apalagi rendang.. kami sudah lalui dan rasakan semua itu.

Apakah sedih? Lebih dari sedih, saya merasa gagal sebagai suami, orang tua, sekaligus anak. Saya marah.. "Kapan semua akan kembali normal?!!" "Kapan wabah ini berakhir?!"

Apakah ada manfaatnya kemarahan saya? Nope alias zonk

Saat itu diri saya dikendalikan oleh ekspektasi. Semakin saya berkutat dengan asumsi dan ekspektasi, semakin saya tersiksa.

Ketika malam, saya membayangkan besok akan ada orang yang salah tranfer ke rekening saya, dan saya tiba-tiba memiliki banyak uang, disaat itu sayalah yang menyiksa diri saya, bukan keadaan.

Keadaan adalah statis, ekspektasi kita yang elastis.

Keinginan kita yang ingin cepat selesai dari masalah keuangan, cepat lunas hutang, dan tidak suka dengan keadaan, membuat ekspektasi kita hidup dan bermain liar, dia membangun sebuah gambaran imajinasi, memberikan sedikit rasa nikmat yang palsu diruang imajinasi, bisa datang ke dealer beli cash mobil, bisa datang ke bank sambil bawa uang sekoper buat lunasin KPR, dan lain sebagainya.

Semakin saya berontak akan keadaan semakin ekspektasi membuat saya terbuai.

Itulah bahayanya sebuah ekspektasi, rasa nikmat, kesenangan, dan kegembiraan yang dibangun diruang imajinasi kepala kita membuat pelan tapi pasti kita seolah tidak nyata didunia nyata. "Ah nanti juga dapat uang banyak", "Santai nanti juga ada yang datang bawa duit sekoper".

Gile lo dro..

Hingga titik dimana saya tersadar betapa tersesatnya saya, betapa saya salah berharap pada imajinasi yang jelas-jelas tidak pernah ada.

Dititik inilah saya menemukan diri saya, saya ngobrol dengan diri saya, mau apa, strategi apa, bagaimana mulainya

Saya mulai merubah ketergantungan pada ekspektasi dan buaian imajinasi palsu menjadi apresiasi dan hadir 100%. Yaa saya mencoba memberikan apresiasi atas apa yang saya lakukan, saya mensyukuri nafas yang masih lancar, mensyukuri nasi yang masih bisa saya makan, saya mencoba berdamai dengan imajinasi ngaco saya dan mencoba benar-benar hadir. Saya selesaikan satu demi satu masalah, saya hadapi masalah hutang dengan menerima bahwa memang saya yang bersalah, memang saya yang ngemplang tanpa berusaha mencari-cari pembenaran, dan konsisten menyelesaikannya. Percaya atau tidak, itulah yang membuat saya hidup sampai saat ini.

Setiap kali imajinasi mulai muncul, saya berusaha meredam, saya mencoba berdamai dengan mengajak diri ini diskusi, tanpa membawa harapan-harapan kosong.

Hari ini, 1 Maret 2021 saya menjadi pribadi yang melihat lebih jelas, melihat bahwa corona membawa pelajaran besar bagi saya, yaitu mampu mengelola ekspektasi dan apresiasi.

Saya nyata hadir, saya menikmati setiap moment, menjadi diri sendiri dan berusaha untuk tidak terbawa arus imajinasi yang terkadang muncul. Ternyata mengenali diri sendiri itu nikmat, kita disadarkan ada dimana kita, mau kemana kita dan bagaimana kesana. Perbanyak dialog dengan diri sendiri, jujur deh kapan kita ngobrol dengan diri kita?

Apakah hanya saat memilih baju.. "pantas gak ya? terlalu gendut gak sih?" atau saat memilih menu makanan.. "Duh enak sih tapi mahal.." "Udah beli aja uang gampang dicari"..Dialog-dialog yang selama ini terjadi hanya dialog pembenaran, dialog yang tercipta karena konflik keinginan. Coba deh kali ini bangun dialog dengan kesadaran penuh, ajak diri kita terbuka dan jujur, kita ini orang yang seperti apa sih.. seberapa jauh kita dengan impian kita..

Saya tidak ingin bertindak sebagai master, suhu ataupun guru, Tidak.. saya pun masih fakir ilmu, hanya saja saya ingin berbagi bahwa kehadiran corona yang membuat saya ada dititik terbawah kehidupan telah membuat saya sadar bahwa solusi atas masalah yang saya hadapi ada didalam diri saya, bagaimana saya melepaskan diri dari ekspektasi yang belum pasti, dan berusaha mengapresiasi diri saya dan menikmati setiap momen yang ada.

Saya lebih tenang,

Saya lebih merasa damai, dan

Saya merasa bahagia

Salam,
DW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun