Mohon tunggu...
Dedy Helsyanto
Dedy Helsyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

@dedy_helsyanto

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik Cerita Om Pong

31 Juli 2010   16:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salut, kagum, dan bangga atas apa yang dilakukan Om Pong, kenapa saya bilang Om, karena walaupun sudah berumur dia tetap mempunyai semangat layaknya anak muda. Saya sendiri pun kalau ditantang untuk mencoret gedung DPR, akan berpikir seribu kali, karena memperhitungkan maksud, tujuan, dan konsokuensinya kedepan. Satu bentuk keberanian yang patut kita ancungi jempol bersama untuk Om Pong. Hidup Om Pong... (teriak saya)

Mungkin satu saat saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam satu organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan akan melakukan hal yang sama, ya untuk saat ini kami fokus dulu saja terhadap pendidikan anak-anak jalanan dan kurang mampu, tujannya sederhana menanamkan kecerdasan dan kebijakan secara intelektual dan spiritual dalam mengambil keputusan dari masing-masing anak jalanan tersebut, dengan memberikan contoh sekecil apapun, semoga terwujud tujuannya (Amiin).

Perjuangan Om Pong sampai sekarang masih menjadi perbincangan hangat mulai dari warung kopi sampai dengan istana. Saya dan kawan-kawan beberapa orang mencoba mendiskusikan perihal peristiwa heroik yang dilakukan Om Pong. Jujur, adil, tegas, kata yang ditulis dengan pikok merah di atap gedung dewan yang sedang terombang ambing keberadaannya karena sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat.

Tulisan peristiwa Om Pong telah banyak dituliskan oleh teman kompasiana lain yang saya hormati, tapi segelintir orang saja yang punya pandangan berbeda. Tulisan saya ini bukan bentuk provokatif, apalagi mencari sensasi, hanya mencoba mengambil sudut pandang yang berbeda, seperti yang diajarkan oleh guru besar kompasiana bersama, yaitu kang pepih nugraha. Dan karena tulisan ini pun sarat politik, mari kita coba bangun demokrasi dari perbedaan pandangan dalam tulisan.

Saya merupakan orang yang sepakat mendukung Om Pong, dan berkata kalau Si Om melakukan ini karena memang sudah tidak tahan melihat tingkah laku serta kinerja buruk dari sebagian besar anggota dewan. Saya dan kawan-kawan hampir mengikuti seluruh berita yang menyuguhkan peristiwa Om Pong tersebut, mulai dari gedung DPR, wawancara di stasiun TV M... dan satu lagi di stasiun TV O.. kembali saat kami orang pinggiran berdiskusi di warung kopi bersama rakyat biasa, banyak pandangan yang berbeda dan penuh warna serta tak kalah seru seperti acara debat yang diadakan disalah satu stasiun TV swasta.

Pro kontra mewarnai dari dilektika cara berpikir kita masing-masing berdasarkan satu runutan dan hubungan dengan variabel lain dalam menilai peristiwa Om Pong ini. Dari perdebatan yang ada, ada beberapa point yang memang harus kita telaah lebih mendalam. Pertama, alasan Om Pong untuk menulis di atap gedung dewan, sangat sederhana, dan kurang jelas maksud dan tujuan kedepannya. Kedua, klarifikasi Om Pong saat digedung DPR lebih ditekankan pada tingkah laku artis, sedangkan statement yang lain tentang berita yang menghiasi layar kaca hanya terkesan penghias dari statement yang ditekankan. Ketiga, saat diwawancara oleh presenter berita di TV O.., ada pertanyaan dan jawaban yang tidak nyambung, kok tiba-tiba om pong berbicara tentang Wakil Gurbenur, Dede Yusuf. Sampai sang presenter bertanya, lho memang apa hubungannya dengan peristiwa Om Pong?, disini ada sinyal-sinyal maksud Om Pong yang belum terungkap, dan menjadi pertanyaan besar bila dikaitkan dengan tindakan yang dilakukannya. Dan yang lebih menarik lagi, ketika segelintir peserta diskusi warkopditempat kami tinggal, mengaitkan peristiwa ini dengan pemilu, 2014, Jatah, DPR dan yang lainnya. Kalau saya sendiri tetap mengembalikan pada penilaian kita masing-masing dengan kajian dan analisis tertajam yang ada pada diri kita. Dengan semangat kekeluargaan, kami pun saling menghargai perbedaan pandangan dari segelintir orang tersebut, dan diskusi berakhir tanpa dendam. Wass...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun