Sebijaknya kita mengucapkan selamat atas HUT Ke-65 untuk DPR/MPR yang sedang merayakannya. Walau tak bisa dipungkiri, DPR/MPR dengan usia setengah abad lebih, masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Banyak sumpah serapah yang kita ucapkan baik secara langsung atau tidak, sadar atau khilaf ditujukan kepada DPR/MPR, sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja mereka yang belum memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Di hari ulang tahun seseorang atau lembaga seperti DPR/MPR, hendaknya dijadikan sebagai introspeksi bagi kita semua, khususnya untuk yang berulang tahun, introspeksi atas apa yang telah diperbuat selama hidupnya. Introspeksi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas diri, agar dapat berbuat lebih baik kedepan. Dalam introspeksi ini, akan lahir banyak harapan dan cita-cita yang membawa perubahan sebagai bentuk proses pendewasaan.
Harapan dan cita-cita dari yang berulang tahun pun senantiasa diiringi dengan Doa, sebagai syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kualitas diri dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Subtansi dari Doa menjadi lebih baik ketika yang mendoakan dan yang di doakan menjalankan doanya dengan rasa tulus dan ikhlas, agar apa yang dicita-citakan dapat terwujudkan.
Ironisnya, beberapa watu yang lalu, saat sidang paripurna HUT Ke-65 DPR/MPR. Saat sesi pembacaan doa rasa tulus dan ikhlas lagi-lagi terkikiskan dengan kepentingan perseorangan atau golongan yang ada di gedung dewan. Eva Kusuma Sundari dari fraksi PDIP melakukan interupsi kepada ketua DPR (Marzuki Alie) sekaligus pimpinan sidang pada saat itu. Marzuki Alie kembali dinilai tak demokratis, Eva menganggap ini pembunuhan karakter dan politisasi pembacaan doa kepada PDIP. Terkesan PDIP tak bisa melakukannya, padahal waktu itu PDIP sudah menyiapkan kadernya yang akan membacakan doa.
Kalau mengikuti aturan, seharusnya pembacaan doa dilakukan oleh fraksi PDIP, bukan fraksi PKS yang diwakili oleh Iksan Qolba Lubis. Tetapi pimpinan sidang, yang dinilai arogan menyatakan fraksi PKS lah yang melakukan pembacaan doa. Substansi doa yang seharusnya dijalankan dengan tulus dan ikhlas, berubah hanya menjadi sekedar formalitas.
Mungkin kalau pimpinan sidang bersikap lebih bijak dengan memperbolehkan semua fraksi membacakan doa, substansi rasa tulus dan ikhlas dari pembacaan doa tersebut tidak akan hilang. Tapi apa daya, nasi telah menjadi bubur, kini rakyatlah yang tiada henti harus mendoakan DPR/MPR untuk perubahan kedepan, bukankah doa orang yang terdzolimi akan lebih mudah dikabulkan dari pada yang suka mendzolimi. Wass...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H